Menjebol Status Quo Pendidikan

Agustinus Tamtama Putra - Pengamat Kebijakan Publik GMT Institute

Agustinus Tamtama Putra - Pengamat Kebijakan Publik GMT Institute

Diperbarui 25 Juli 2024 1 hari yang lalu
Agustinus Tamtama Putra, Pengamat Kebijakan Publik GMT Institute (Foto: Dok MI)
Agustinus Tamtama Putra, Pengamat Kebijakan Publik GMT Institute (Foto: Dok MI)

APRESIASI bagi Heru Budi Hartono yang hendak mengangkat guru honorer menjadi guru kontrak. Artinya nasib guru tidak terombang ambing, pasti dan lebih terjamin. 

Semoga memang hal itu terlaksana, sebab biar bagaimana pun guru kendati merupakan profesi yg dilirik sebelah mata adalah gerbang pendidikan dan pengetahuan, pembinaan mental dan spiritual generasi depan bangsa. Pengalaman saya sebagai guru menunjukkan bahwa masih "jauh panggang dari api". 

Dengan gaji yang kecil dan tuntutan yang besar, belum lagi direpotkan dengan administrasi yang sebenarnya bukan substansial, guru harus high performance di depan kelas. 

Namun melampaui semua keluh kesah terkait sistem pendidikan, sistem sekolah yang bobrok dan kebijakan yang tidak humanis, guru terus memberikan yang terbaik bagi para siswa. 

Justru hiburan dan kepuasan batin terbesar ialah ketika berdinamika dengan para murid, menyaksikan mereka berkembang dan akhirnya bisa meneruskan cita-cita mereka setelah lulus sekolah. 

Dalam hal ini, guru berpartisipasi dan mengisi satu fase dalam sejarah hidup murid yang tak tergantikan oleh profesi apapun di dunia ini. 

Sistem yang baik

Pendidikan di Indonesia sedang menuju ke arah mana? Pertanyaan ini mungkin sulit dijawab. 

Pendidikan yang baik membentuk bangsa yang baik. Melihat situasi sosial masyarakat, agaknya kita sanksi bahwa bangsa kita merupakan bangsa yang baik. 

Banyak intoleransi, kejahatan di mana-mana, kenakalan remaja dan lain sebagainya. Sekali lagi kualitas bangsa lahir dari pendidikan yang baik, maka sedikit banyak potret bangsa kita saat ini merupakan hasil dari kualitas pendidikan yang kita jalankan. 

Apakah sudah berkualitas? Biarlah ini menjadi pertanyaan retoris-reflektif. 

Pendidikan yang baik lahir dari sistem kurikulum yang baik dan manajemen sekolah yang baik. 

Guru sebagai ujung tombak pendidikan seharusnya diutamakan melampaui motif-motif profit dari lembaga. 

Bila tidak ada guru, bagaimana pendidikan? Bila guru berbeban berat, apakah dapat dipastikan pendidikan berkualitas prima? 

Bila guru lelah oleh administrasi sementara yang utama yaitu proses belajar mengajar terabaikan, apakah bisa dipastikan pendidikan yang baik? 

Belum lagi gaji yang kecil di tengah biaya hidup yang besar, misalnya guru harus indekos dan ngontrak di metropolitan Jakarta. 

Sudahkah masuk dalam pertimbangan bahwa kesejahteraan guru lahir dan batin merupakan faktor penting lancar dan berkualitasnya pendidikan? Sayangnya, hanya sedikit lembaga memperhitungkan hal ini.  

Quo Vadis guru-guru menjadi pokok yang seharusnya menyeruak jika bicara tentang pendidikan. Meski rasanya profesi ini saban hari dan tahun kian dimarjinalkan. 

Sebuah refleksi.