Mendukung Satgas PKH Tertibkan Sawit Ilegal dengan Langkah Hukum yang Benar

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 27 Maret 2025 23:24 WIB
Iskandar Sitorus, Sekertaris Pendiri Indonesian Audit Watch (Foto: Dok MI)
Iskandar Sitorus, Sekertaris Pendiri Indonesian Audit Watch (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Indonesia menghadapi masalah besar dalam pengelolaan perkebunan sawit ilegal. Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sekitar 2,5 juta hektare lahan sawit beroperasi di kawasan hutan tanpa perizinan yang sah. Ini bukan sekadar masalah lingkungan, tetapi juga ancaman besar bagi keuangan negara. Dalam berbagai laporannya, BPK telah merekomendasikan tindakan tegas terhadap pelaku usaha yang melanggar hukum.

Kini, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 (Perpres 5/2025) memiliki tugas berat untuk menertibkan lahan ilegal yang sudah nyaris 50 tahun dikelola tidak sesuai fungsi sebagai hutan. 

"Namun, agar langkah Satgas PKH efektif dan tidak berujung pada sengketa hukum yang berlarut-larut, pendekatan berbasis hukum yang kuat harus diterapkan. Terlebih Presiden Prabowo Subianto sangat ingin makin mendorong produksi sawit Indonesia menjadi yang terdepan lebi dari kondisi saat ini," kata Iskandar Sitorus Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Kamis (27/3/2025).

Bukti nyata laporan BPK dan temuan lapangan

Dalam beberapa dekade terakhir, BPK telah mengungkap berbagai pelanggaran dalam pengelolaan perkebunan sawit. Itu teelihat tahun 2011 disebut 26 perusahaan tambang dan perkebunan terindikasi melakukan korupsi, dengan potensi kerugian negara sebesar Rp90,6 miliar. 

Lalu tahun 2019 ditemukan semakin banyak perusahaan sawit beroperasi di kawasan hutan tanpa izin yang sah. Dan pada tahun 2023 ditemukan sekitar 2,5 juta hektare lahan sawit ilegal masih beroperasi tanpa izin kehutanan.

BPK telah merekomendasikan agar negara segera mengambil alih lahan-lahan ilegal ini untuk pemulihan fungsi hutan dan keuangan negara. Makna pengambilan alih itu tentu luas seiring regulasi yang berlaku. Karena tanpa pendekatan hukum yang jelas, upaya itu bisa berujung pada gugatan balik dari korporasi atau pihak-pihak yang berkepentingan. Hal itu tentu patut untuk diantisipasi.

Tantangan hukum dalam penertiban sawit ilegal

Dalam berbagai kasus, upaya penertiban lahan sawit ilegal menghadapi tantangan hukum yang kompleks. Jika Satgas PKH bertindak tanpa dasar hukum yang kuat, maka langkah mereka bisa saja dianggap sebagai abuse of power. Oleh karena itu, ada empat aspek hukum yang mungkin harus diperhatikan oleh Satgas:

1. Dari perspektif hukum perdata karena menurut Pasal 584 KUHPerdata disebut hak milik atas tanah hanya bisa beralih melalui mekanisme sah seperti jual beli, hibah, warisan, atau putusan pengadilan. Jika Satgas langsung memasang plang atau menyatakan lahan tertentu sebagai milik negara tanpa putusan pengadilan, ini bisa menjadi masalah hukum. Sehingga solusi yang tepat adalah Satgas harus mengajukan gugatan perdata atau permohonan penetapan pengadilan untuk memastikan bahwa lahan-lahan tersebut bisa sah beralih ke negara.

2. Melihat sisi hukum pidana karena banyak dari lahan sawit ilegal itu merupakan hasil dari tindak pidana, baik korupsi maupun pencucian uang. Menurut Pasal 39 KUHP, aset hasil kejahatan bisa disita dan dirampas melalui putusan pengadilan. Solusinya adalah jika ada indikasi pidana, kasus harus diserahkan ke Kejaksaan atau Polri agar bisa diproses di pengadilan. Satgas tidak bisa menyita atau merampas aset secara sepihak.

3. Hukum tata usaha negara (TUN) terkait keputusan administrasi yang dibuat oleh Satgas harus memiliki dasar hukum yang kuat agar tidak bisa digugat balik di Pengadilan TUN. Maka solusinya Satgas harus meminta penetapan pengadilan untuk melegitimasi setiap tindakan, termasuk pemasangan plang dan pengamanan lahan.

4. Dari sudut pandang hukum administrasi negara (HAN) disebut bahwa menurut UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, tindakan pejabat publik harus transparan, akuntabel, dan proporsional. Maka solusi yang terbaik dilakukan Satgas harus berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait agar setiap keputusannya memiliki dasar hukum yang kuat dan tidak cacat administrasi.

Strategi hukum memperkuat Satgas PKH dengan penetapan Pengadilan

Agar Satgas PKH bisa bertindak dengan aman dan efektif, pendekatan hukum yang tepat harus diterapkan. Beberapa langkah strategis yang bisa diambil:

1. Mengajukan permohonan ke PTUN untuk mendapatkan penetapan bahwa:
- Pemasangan plang dan pengamanan lahan adalah tindakan sah.
- Status lahan tetap dalam pengawasan negara hingga ada putusan hukum yang berkekuatan tetap atau berdasar perintah dari perundang-undangan yang sah.
- Larangan pengalihan hak atau aktivitas lain di atas lahan ilegal. Manfaatnya adalah memperkuat legitimasi tindakan Satgas dan menghindari gugatan balik dari masyarakat atau badan hukum/korporasi.

2. Mengajukan gugatan perdata dan pidana jika lahan hasil sitaan terkait dengan kejahatan, Satgas bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan umum, dengan permintaan: 
1. Penetapan status lahan sebagai barang dalam pengawasan negara.
2. Penyitaan aset sebagai bagian dari pemulihan kerugian negara.
3. Pengelolaan lahan oleh BUMN atau program perhutanan sosial.
4. Penataan persoalan dengan pendekatan yang berkeadilan melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS).

Manfaat hal-hal itu berguna untuk mencegah lahan kembali dikuasai pihak ilegal dan memastikan pemanfaatan lahan untuk kepentingan publik/negara.

3. Win-win solution demi pemulihan ekonomi hijau adalah solusi selain penindakan hukum. Pendekatan win-win solution juga perlu diterapkan agar konflik sosial dapat diminimalkan. 

Terlebih jutaan hektar objek permasalahan tersebut sudah hampir 50 tahun dengan nyaman telah dikelola oleh masyarakat dan atau badan hukum.

Beberapa opsi yang bisa diambil adalah:
1. Metode green settlement agreement (GSA) yaitu perusahaan dan atau masyarakat yang kooperatif bisa membayar denda dan berkontribusi pada pemulihan ekologi. Tentu tetap merujuk pada UU Cipta Kerja.
2. Model perhutanan sosial terpadu yakni lahan yang telah diamankan tata kelola administrasinya bisa diberikan kepada masyarakat atau korporasj untuk dikelola secara legal. Bisa dengan pengembangan lebih moderat sesuai regulasi yakni HGU di atas HPL Perhutani.
3. Pengelolaan BUMN hijau: Lahan strategis bisa dikelola oleh BUMN berbasis ekonomi hijau untuk memastikan keberlanjutan ekonomi dan lingkungan.

Kesimpulan: Satgas PKH harus bertindak dengan dasar hukum yang benar

Indonesian Audit Watch mendukung penuh langkah Satgas PKH dalam menertibkan perkebunan sawit ilegal. Namun, agar tindakan ini tidak berujung pada sengketa hukum, strategi berbasis regulasi harus diterapkan. 

"Yaitu penetapan pengadilan diperlukan untuk memperkuat legitimasi tindakan Satgas. Lalu koordinasi dengan aparat penegak hukum (Polri/Kejaksaan) harus diperkuat. Solusi pemulihan ekonomi berbasis lingkungan dan keadilan," tutup Iskandar Sitorus.

Topik:

Satgas PKH IAW