Jaksa Azzam Diduga Tak Bermain Sendiri Tilep Barbuk! Biar Jelas, Kejati DKI Periksa Eks Kajari Jakbar Iwan Ginting

Firmansyah Nugroho
Firmansyah Nugroho
Diperbarui 12 Maret 2025 16:07 WIB
Mantan Kajari Jakarta Barat, Iwan Ginting (Foto: Istimewa)
Mantan Kajari Jakarta Barat, Iwan Ginting (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Azam Akhmad Akhsya, telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penggelapan aset korban Robot Trading Fahrenheit. Di balik itu, bahwa saat kasus ini bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Barat saat itu dijabat oleh Iwan Ginting.

Iwan Ginting sendiri meminta agar tidak dikait-kaitkan dalam pusaran kasus tersebut. "Saya sudah pindah perkara itu masih kasasi, jadi tolong jangan dikaitkan dengan saya," kata Iwan kepada Monitorindonesia.com, pada 6 Maret 2025 lalu dikutip Rabu (12/3/2025).

Meski begitu, menurut Direktur Center For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi, sepanjang keterangannya sangat dibutuhkan pihak penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta, maka harus diperiksa sebab dia sebagai atasan Azam Akhmad Akhsya kala itu.

"Pertanyaannya, dia pernah diperiksa anggak dalam kasus ini. Kalau belum yang jadi pertanyaan. Meskipun mantan Kajari kan, tempus delicti atau waktu terjadinya suatu tindak pidana tersebut kan di masa Iwan Ginting menjabat. Biar jelas semuanya harusnya diperiksa," kata Uchok kepada Monitorindonesia.com, Rabu (12/3/2025).

Iwan Ginting diketahui menduduki posisi tersebut pada Agustus 2022. Kala itu Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) dijabat oleh Sunarto.
Sementara rangkaian kasus bermula saat Azam bertugas sebagai JPU dalam perkara investasi bodong robot trading Fahrenheit yang diputus oleh majelis hakim PN Jakarta Barat pada 12 Desember 2022.

Dalam putusannya, aset sitaan dari kasus tersebut berupa uang tunai Rp 89,6 miliar serta 1 unit apartemen dan 2 mobil mewah, dikembalikan kepada 1.449 korban. Ribuan korban investasi bodong ini tergabung dalam Paguyuban SIF yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Akan tetapi, ketika mengeksekusi pengembalian barang bukti sebesar Rp 61,4 miliar, Azam justru bekerja sama dengan dua pengacara korban, BG dan OS, untuk menilep dana tersebut. Mereka memotong Rp 23,2 miliar dari total uang yang seharusnya dikembalikan kepada korban, sehingga korban hanya menerima Rp 38,2 miliar.

Dengan fakta tersebut, Uchok kembali menegaskan bahwa agar lebih terang benderang kasus ini, pejabat Kejari Jakarta Barat kala itu sudah seharusnya dimintai keterangan. Selain agar tidak memunculkan prasangka buruk juga agar kasus terusut sampai tuntas. "Ketegasan Kajati DKI Jakarta Patris Yusrian Jaya sangat diharapkan. Kasus ini harus diusut tuntas tanpa pandang bulu," tutur Uchok.

Sementara itu, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus kasus ini harus dituntaskan dan bila perlu Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK turut tangan.

“Apakah benar Azam bertindak sendiri? Apakah dia tidak melapor kepada atasannya waktu itu? Siapa atasan langsungnya? Ini yang harus dituntaskan, dan KPK perlu turun tangan agar kasus ini benar-benar tuntas,” kata Iskandar Sitorus.

Menurutnya langkah Kejati DKI sebenarnya belum cukup jika hanya menjerat Azam seorang diri. Sebab patut diduga pusaran kasus investasi bodong berpotensi melibatkan pihak lain, termasuk atasan Azam saat itu. "Kajati DKI memang menyebut bahwa dari total suap Rp 23,2 miliar, Azam hanya menerima Rp 6 miliar, sementara Rp 17 miliar lainnya menjadi bagian pengacara korban, BG dan OS,” jelas Iskandar.

“Tapi, saya khawatir itu hanya pengakuan sepihak Azam. Bisa saja nilainya lebih besar dan melibatkan pihak lain. Ini seharusnya disidik lebih mendalam, bukan hanya berdasar pengakuan tersangka,” katanya.

Iskandar menekankan demikian sebab dalam praktik korupsi dan suap, jarang ada pejabat yang bertindak sendirian. Karenanya IAW mendesak Kejati DKI menelusuri kemungkinan keterlibatan atasan Azam dalam kasus ini. “Selalu ada pihak lain yang terlibat. Karena itu, kami meminta Kajati DKI juga melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasi penyidikan, agar kasus ini bisa diungkap hingga ke akar-akarnya,” katanya.

Adapun Kejaksaan Tinggi Jakarta tengah menelusuri praktik suap dan gratifikasi yang melibatkan mantan jaksa penuntut umum itu. Kasus ini berawal dari PN Jakarta Barat memutuskan agar uang Rp 61,4 miliar yang disita dari terpidana Hendry dikembalikan kepada para korban trading yang ditipu Hendry. 

Vonisnya dibacakan pada Deaember 2022, namun eksekusi pengembalian kepada korban baru bisa dilaksankan pada Desember 2023, setelah vonis Peninjauan Kembali. “Tapi BA-20 yang diterima korban dari pengacara cuma Rp 38,2 miliar, padahal sesuai putusan harusnya Rp 61,4 miliar,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati DK Jakarta, Selasa (4/3/2025).

BA-20 adalah berita acara pengembalian barang bukti yang dikeluarkan oleh kejaksaan.  Dalam proses BA-20 tersebut harus ada tandatangan JPU yang  menangani perkara yang ditunjuk oleh Jaksa Bidang Barang Bukti dan tanda tangan korban atau kuasa hukumnya.

Pengacara korban saat itu adalah Oktavianus Setiawan dan Bonivasius Gunung. Adapun jaksa yang membubuhkan tanda tangan di sana adalah Azam dan Oktavianus. 

Berdasarkan BA-20 Kejari Jakbar, nominal yang tertera sesuai dengan putusan yakni Rp 61,4 miliar. Namun BA-20 yang ditunjukkan pengacara kepada korban hanya Rp 38,2 miliar.  “Oktavianus meminta Azam untuk memalsukan BA-20 yang diserahkan, tapi yang di Kejari Jakbar sesuai,” jelasnya.

Mereka menilap Rp 23 miliar dari total yang harus dikembalikan. Dengan pembagian Azam mendapat Rp 11, 5 miliar. Sementara sisanya dibagi untuk kedua pengacara korban. 

Niat itu  muncul, karena pengacara merasa bayaran mereka terlalu kecil, padahal sudah berhasil mengembalikan uang dengan nilai yang besar. Akhirnya dibujuklah Azam dan terjadi sebuah kesepakatan itu. 

Syahron menjelaskan, dari BA-20 yang diterima, korban kemudian merasa curiga. Namun Oktavianus berusaha meyakinkan bahwa uang yang dikembalikan memang hanya senilai Rp 38,2 miliar. 

Belakangan korban melalui ketua paguyuban mereka yakni Davidson Samosir mempertanyakan hal itu kepada Kejari Jakbar, namun mereka menujukkan bahwa di BA-20 uang yang dikembalikan sesuai putusan hakim. 

Dari isu itu, Kejati kemudian memanggil Azam pada 24 Februari 2025 untuk dimintai keterangan. 

Di hari yang sama surat penyidikan dikeluarkan. “Hari itu juga kami tetapkan sebagai tersangka, karena jelas perbuatannya,” katanya.

Menyusul kemudian Oktavianus dan Bonivasius ditetapkan jadi tersangka pada 28 Februari 2025.

Adapaun Azam saat ditetapkan sebagai tersangka, jabatannya adalah Kasi Intel Kejari Landak, ia baru sekitar dua bulan dipindahkan. 

Pasal yang disangkakan terhadap kuasa hukum yaitu Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara oknum jaksa itu disangkakan dengan Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 Huruf e, Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (wan)

Topik:

Kejati DKI Jakarta Kejari Jakarta Barat Iwan Ginting JPU Kejari Jakarta Barat