Soroti Tragedi Kanjuruhan, Media Asing Kritik Polisi Indonesia

Rekha Anstarida
Rekha Anstarida
Diperbarui 5 Oktober 2022 09:49 WIB
Jakarta, MI - Kerusuhan terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang pada Sabtu (1/10) malam. Sebanyak 125 orang dilaporkan meninggal dunia, 302 orang mengalami luka ringan dan 21 orang mengalami luka berat. Kericuhan tersebut terjadi saat para suporter menyerbu lapangan, usai tim Arema FC kalah melawan Persebaya dengan skor 2-3. Akibat banyaknya suporter yang menyerbu lapangan sehingga aparat kepolisian merespons dengan cara menghalau dan menembakkan gas air mata. Beberapa kali gas air mata ditembakkan ke arah tribun. Namun tak di sangka tembakan gas air mata tersebut pun membuat para suporter panik, berlarian sehingga terinjak-injak dan tewas. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan orang ini, turut menjadi sorotan media asing. Salah satunya the New York Times. Dikutip dari laman the New York Times, Rabu (5/10), para ahli mengatakan petugas hampir tidak pernah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka. Dan dalam anggaran polisi yang sangat besar, jutaan dihabiskan untuk gas air mata, pentungan, dan perangkat lain yang digunakan selama protes. Polisi anti huru hara Indonesia bentrok dengan pengunjuk rasa di Jakarta setelah hasil pemilihan resmi diumumkan pada Mei 2019. Selama bertahun-tahun, puluhan ribu orang Indonesia telah berhadapan dengan kepolisian yang banyak dikatakan korup, menggunakan kekerasan untuk menekan massa dan tidak bertanggung jawab kepada siapa pun. Di ibu kota, Jakarta, polisi menembak dan membunuh 10 orang saat pengunjuk rasa berkampanye menentang pemilihan kembali Presiden Joko Widodo pada 2019. Tahun berikutnya, petugas memukuli ratusan orang di 15 provinsi dengan tongkat saat mereka memprotes undang-undang baru. Dan di kota utara Ternate pada bulan April, petugas menembakkan gas air mata ke kerumunan demonstran mahasiswa yang damai, membuat tiga balita sakit. Dunia melihat sekilas taktik itu pada hari Sabtu, ketika petugas anti huru hara di kota Malang memukuli penggemar sepak bola dengan tongkat dan perisai dan, tanpa peringatan, menyemprotkan gas air mata ke puluhan ribu penonton yang berkerumun di sebuah stadion. Metode kepolisian memicu penyerbuan yang berujung pada kematian 125 orang — salah satu bencana terburuk dalam sejarah olahraga. Para ahli mengatakan tragedi itu mengungkap masalah sistemik yang dihadapi polisi, banyak di antaranya kurang terlatih dalam pengendalian massa dan sangat militeristik. Dalam hampir semua kasus, para analis mengatakan, mereka tidak pernah harus menjawab kesalahan langkah. “Bagi saya, ini benar-benar fungsi dari kegagalan reformasi kepolisian di Indonesia,” kata Jacqui Baker, ekonom politik di Murdoch University di Perth, Australia, yang mempelajari kepolisian di Indonesia. Selama lebih dari dua dekade, aktivis HAM dan ombudsman pemerintah telah melakukan penyelidikan atas tindakan polisi Indonesia. Laporan-laporan ini, menurut Baker, sering sampai ke kepala polisi, tetapi tidak banyak atau tidak berpengaruh sama sekali. Polisi anti huru hara memukuli penggemar sepak bola dengan tongkat dan perisai, dan menembakkan gas air mata ke puluhan ribu penonton di Stadion Kanjuruhan di Malang, Indonesia, pada hari Sabtu. “Mengapa kita terus dihadapkan dengan impunitas?” dia berkata. “Karena tidak ada kepentingan politik untuk benar-benar mewujudkan kepolisian yang profesional.” Setelah kekerasan pada hari Sabtu, banyak orang Indonesia turun ke Twitter untuk menyerukan agar Kapolri dipecat. Dan, pada Senin malam, hampir 16.000 orang telah menandatangani petisi yang menyerukan polisi untuk berhenti menggunakan gas air mata. Pemerintah bergerak cepat untuk meredam kemarahan publik, menskors kepala polisi di Malang dan berjanji untuk mengumumkan nama-nama tersangka yang bertanggung jawab atas tragedi itu dalam beberapa hari. Polisi di Indonesia tidak pernah sehebat atau sekejam ini. Selama tiga dasawarsa pemerintahan diktator Suharto, militerlah yang dipandang sangat berkuasa. Tetapi setelah kejatuhannya pada tahun 1998, sebagai bagian dari serangkaian reformasi, pemerintah menyerahkan tanggung jawab keamanan internal kepada polisi, memberikan kekuatan yang sangat besar kepada kepolisian. Dalam banyak kasus, petugas polisi memiliki keputusan akhir tentang apakah suatu kasus harus dituntut. Menerima suap adalah hal biasa, kata para analis. Dan setiap tuduhan pelanggaran polisi diserahkan sepenuhnya kepada pejabat tinggi untuk diselidiki. Sebagian besar waktu, kelompok hak asasi mengatakan, mereka tidak melakukannya. Wirya Adiwena, wakil direktur Amnesty International Indonesia, mengatakan “hampir tidak pernah ada” pengadilan atas penggunaan kekuatan polisi yang berlebihan kecuali pada 2019, ketika dua mahasiswa tewas di Pulau Sulawesi selama protes. Kepercayaan masyarakat Indonesia kepada Polri pun terjun bebas. Sebelumnya pada April lalu, tingkat kepercayaan masyarakat kepada Polri sebesar 71,6 persen namun pada Agustus lalu, tingkat kepercayaan itu hanya sebesar 54,2 persen. Kurangnya akuntabilitas polisi bertepatan dengan anggaran yang membengkak. Bahkan tahun ini, Polri memiliki anggaran sebesar Rp 109,7 triliun. Banyak dari uang itu dihabiskan untuk gas air mata, pentung (tongkat) dan masker gas.