Warga Sumberjo Tuntut Pabrik Pupuk Organik Ditutup

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 30 Oktober 2023 23:30 WIB
Aksi unjuk rasa masyarakat dusun Sumberjo, Desa Karangrejo di depan pabrik (Foto: MI/JK)
Aksi unjuk rasa masyarakat dusun Sumberjo, Desa Karangrejo di depan pabrik (Foto: MI/JK)

Blitar, MI - Ratusan warga Dusun Sumberjo, Desa Karangrejo, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, melakukan unjuk rasa di depan pabrik pengolahan pupuk organik, Senin (30/10).

Dalam aksinya ratusan warga juga membawa banner dan pamflet yang bertuliskan penolakan adanya pabrik pengolahan limbah.

Ratusan warga ini menuntut operasional pabrik untuk ditutup sementara. Dikarenakan adanya, bau tidak sedap di sekitar wilayah Sumberjo dan juga dugaan pencemaran air.

Setelah melakukan orasi, perwakilan warga dengan didampingi Kepala Desa Karangrejo Imam Rohadi dan kuasa hukum warga Supriarno ditemui oleh kuasa hukum dari pabrik bersama staf dan juga Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Blitar, untuk melakukan mediasi.

Namun, usai melakukan mediasi dengan pihak pabrik dan warga tidak ada kesepakatan, warga akan melakukan penutupan akses jalan yang menuju pabrik.

Kesempatan itu, Kepala Desa Karangrejo Imam Rohadi menyatakan, operasional pabrik pengolahan ini sudah ada sejak 2017, dan adanya aksi warganya ini dipicu adanya  bau yang tidak sedap sudah sejak lama.

”Aksi ini timbul akibat dari akumulasi kegeraman warga akibat adanya pencemaran, dan dari pabrik sendiri juga tidak bisa melakukan pencegahan penyebaran bau amoniak semenjak pabrik ini berdiri,” ujarnya.

Imam Rohadi  menyatakan, bahwa pemerintah desa sendiri juga telah melakukan upaya dengan mengirimkan surat, dan tidak ada tanggapan. Bahkan untuk tembusan masalah perizinan juga di desa tidak ada.

”Namun upaya ini, tidak pernah ditanggapi serius oleh pihak pabrik. Bahkan untuk dokumen perizinan sendiri desa juga tidak mempunyai untuk memberikan edukasi kepada masyarakat," ungkapnya.

Saat disinggung mengenai bentuk kepedulian sebagai salah satu bentuk sosial atau Company Social Responbility (CSR), pihaknya menyatakan semenjak berdirinya pabrik tidak ada untuk desa. 

”Juga tidak adanya CSR untuk  desa, tapi yang saya tahu untuk satu RW disekitar pabrik mendapatkan sebesar Rp. 2,5 juta dan pemanfaatan juga kurang tahu," lanjutnya.

Sementara itu, kuasa hukum dari warga, Supriarno, menyayangkan sikap dari pemerintah daerah yang terkesan diam adanya pencemaran lingkungan ini, dan juga ditemukan fakta bahwa salah satu konsumen hasil pengolahan adalah pemerintah dan perlu ada pengawasan yang melekat, 

”Saya menyesalkan sikap dari pemerintah yang terkesan diam dan seharusnya berdiri ditengah menanggapi adanya permasalahan ini, tadi juga disampaikan oleh pengawas lingkungan perusahaan wajib untuk melaporkan kepada instansi terkait, namun tidak ada dan baru bicara setelah ada demo ini yang tidak benar," ujarnya.

Pihaknya juga menjelaskan berdirinya sejak tahun 2017, namun perizinannya ada di tahun  2021 dan hal ini seharusnya tidak boleh perizinan semacam menyusul, makanya banyak pengaduan dan ini adalah klimaksnya.

Supriarno juga menyebut, bahwa  pengaduan dari masyarakat yang sudah bertahun-tahun untuk ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Untuk itu pihaknya juga telah melakukan koordinasi dengan pihak aparat untuk melanjutkan prosesnya lebih lanjut.

Menanggapi adanya tindakan warga yang akan melakukan penutupan jalan yang menuju lokasi pabrik, tindakan tersebut melanggar hukum. Dirinya menyampaikan karena status jalan yang digunakan adalah jalan desa dan wewenangnya dari desa, alternatif penutupan jalan bisa diambil. Untuk menjaga kondusifitas dan keamanan secara umum bukan hanya perusahaan .

”Karena status jalan yang digunakan adalah jalan desa dan wewenangnya dari desa, tentu peraturannya tidak seperti di jalan umum atau jalan raya," tandasnya.

Sementara itu, Pramesti dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) menyatakan sudah melakukan pengawasan dan setiap datang ke perusahaan selalu tidak produksi pada waktu itu.

Disinggung tentang adanya limbah cair yang disampaikan oleh masyarakat, pihaknya menyatakan dalam laporan yang disampaikan oleh perusahaan tidak ada limbah cair. Namun kalau masyarakat mengetahui adanya limbah cair akan dilakukan penyelidikan.

”Kalau dokumen yang dilaporkan tidak ada limbah cair, dan dari LH juga sudah menyarankan ke pihak perusahaan, diadakan uji udara dan airnya namun juga belum ada laporan," ujarnya.

Dirinya juga menyebut, mengenai tuntutan masyarakat untuk dilakukan penutupan pabrik, bukan pada ranah DLH. ”Kalau ditemukan pelanggaran dalam pengolahan akan dilaporkan ke PPNS yang punya kewenangan, untuk ditutup tidaknya. Karena bukan ranahnya Dinas Lingkungan Hidup( DLH) hanya membuat berita acaranya," pungkasnya.

Adapun perwakilan dari perusahaan yang diwakili oleh salah satu staf dan kuasa hukumnya, tidak berkenang untuk dilakukan wawancara, namun akan menyampaikan ke pihak direktur. (JK)