Pemborosan Anggaran di Balik Kebijakan Efisiensi Gubernur Malut Sherly Tjoanda


Sofifi, MI – Kebijakan efisiensi yang gencar dipromosikan oleh Pemprov Malut, terutama yang dipelopori oleh Gubernur Malut Sherly Tjoanda, kini mendapat sorotan serius dari akademisi Universitas Khairun Ternate, Mochtar Adam.
Dalam sebuah rilis pers yang disampaikan kepada Monitorindonesia.com pada Rabu (16/4), Mochtar menekankan bahwa meskipun jargon efisiensi sering digunakan oleh kepala daerah di Indonesia, pelaksanaannya seringkali hanya sebatas retorika tanpa dasar hukum yang jelas dan tanpa metrik yang terukur. Sebagai contoh nyata, Mochtar mengkritik kebijakan Pemprov Malut terkait pengalokasian dana untuk biaya transportasi jamaah haji 2025 yang dinilai tidak efisien dan cenderung memboroskan anggaran daerah.
Mochtar mengungkapkan bahwa meskipun efisiensi merupakan bagian dari narasi kebijakan pemerintahan, penerapannya sering kali tidak disertai dengan regulasi atau ketentuan yang jelas, sehingga esensi dari efisiensi itu sendiri menjadi kabur.
“Efisiensi harus diterjemahkan dalam tindakan yang konkret dan terukur, bukan sekadar pernyataan tanpa dasar yang jelas. Dalam banyak kasus, kita sering kali hanya mendengar pernyataan efisiensi tanpa ada kejelasan tentang implementasinya. Ini menimbulkan kebingungannya publik terkait apa yang sesungguhnya dimaksud dengan efisiensi,” ujar Mochtar.
Kritikan ini tertuju pada kebijakan Pemprov Malut terkait biaya transportasi haji 2025. Berdasarkan data dalam APBD 2025, Pemprov Malut mengalokasikan dana sebesar Rp 11 miliar untuk biaya transportasi haji.
Namun, dari jumlah tersebut, sekitar Rp 7,3 miliar dialokasikan untuk kerjasama dengan maskapai Lion Air untuk melayani penerbangan Ternate-Makassar.
Mochtar menilai bahwa kebijakan ini jauh dari prinsip efisiensi, mengingat perbandingan mencolok antara harga tiket reguler yang ditawarkan maskapai dan harga yang dibayar Pemprov Malut melalui kontrak dengan maskapai tersebut.
Menurut Mochtar, data dari platform pemesanan tiket seperti Traveloka menunjukkan harga tiket sekali jalan Ternate-Makassar pada 17 April 2025 sekitar Rp 1.089.100. Bahkan, harga tiket dengan maskapai Garuda pada tanggal yang sama tercatat lebih mahal, yakni sekitar Rp 1.200.200.
Namun, Pemprov Malut justru memilih untuk mengontrak maskapai Lion Air dengan harga Rp 6.841.612 per orang untuk keberangkatan pulang-pergi. Jika dihitung, biaya yang dikeluarkan Pemprov Malut jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga tiket reguler, baik dari maskapai Lion Air maupun Garuda.
“Selisih yang sangat besar ini menunjukkan ketidakefisienan dalam pengelolaan anggaran daerah. Meskipun ada alasan tertentu untuk menggunakan penerbangan charter, tetapi harga yang dibayar Pemprov Malut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tiket reguler yang tersedia di pasar. Ini tidak bisa disebut sebagai kebijakan efisiensi yang baik,” kritik Mochtar.
Lebih lanjut, Mochtar juga mengungkapkan bahwa jika Pemprov Malut memilih untuk menggunakan tiket reguler dengan harga tertinggi, total alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk seluruh 1.067 jamaah haji hanya sekitar Rp 2,5 miliar untuk keberangkatan pulang-pergi. Artinya, dengan memilih maskapai Lion Air untuk penerbangan charter, Pemprov Malut telah memboroskan anggaran lebih dari Rp 4,9 miliar.
“Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan yang jelas antara jumlah anggaran yang dibutuhkan dan biaya yang sebenarnya diperlukan untuk menyediakan layanan yang sama. Bahkan, dengan menggunakan sistem tiket reguler, Pemprov Malut dapat menghemat anggaran yang cukup signifikan,” tegas Mochtar.
Fenomena ini juga menyoroti adanya ketidakkonsistenan dalam kebijakan Pemprov Malut yang mengklaim efisiensi, namun dalam praktiknya justru mengalami pemborosan. Dalam prinsip ekonomi, semakin besar volume pembelian barang atau jasa, harga per unit seharusnya semakin murah. Namun, dalam kasus ini, volume pembelian tiket yang lebih besar justru menghasilkan harga yang jauh lebih mahal.
“Prinsip efisiensi dalam pengelolaan anggaran adalah mendapatkan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal. Tetapi yang terjadi di Pemprov Malut adalah pemborosan anggaran yang justru lebih besar daripada jika menggunakan cara yang lebih murah,” kata Mochtar.
Pertanyaan besar yang muncul kemudian adalah bagaimana Pemprov Malut mendefinisikan dan mengimplementasikan kebijakan efisiensi tersebut. Apakah yang dimaksud dengan efisiensi adalah menggunakan anggaran yang lebih besar untuk mendapatkan layanan yang lebih mewah, ataukah efisiensi seharusnya mengacu pada prinsip penghematan biaya dengan tetap mempertahankan kualitas pelayanan? Mochtar menyarankan agar Pemprov Malut melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan ini dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan efisiensi yang sesungguhnya.
“Efisiensi yang dimaksud dalam kebijakan pemerintah haruslah efisiensi yang nyata dan dapat diukur, bukan hanya retorika yang tidak berdasar. Masyarakat berhak mendapatkan penjelasan yang transparan mengenai pengelolaan anggaran daerah, terutama terkait dengan keputusan-keputusan yang berpotensi merugikan keuangan negara,” tegas Mochtar. (Rais Dero)
Topik:
Gubernur Malut Sherly Tjoanda Pemprov Malut Mochtar Adam