Kampus Merdeka Mahasiswa Merana! Mendikbudristek Nadiem 'Anteng Wae'?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 27 Mei 2024 13:17 WIB
Mahasiswa membentangkan spanduk 'Kampus Merdeka Mahasiswa Merana' (Foto: Istimewa)
Mahasiswa membentangkan spanduk 'Kampus Merdeka Mahasiswa Merana' (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) tahun ini memberatkan mahasiswa baru. Katanya Kampus Merdeka, kok Mahasiswa Merana?

Tanggung jawab pemerintah pun dipertanyakan di tengah anggaran pendidikan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah terus berupaya menjalankan amanat konstitusi, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan memenuhi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Hal yang mendasarinya adalah bahwa pendidikan menjadi kunci yang menentukan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa.

Pemerintah telah menetapkan pagu anggaran untuk sektor pendidikan tahun ini sebesar Rp665,02 triliun. Tercatat, anggaran tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah, seiring dengan anggaran belanja negara yang terus mengalami kenaikan.

Alokasi belanja pendidikan pada 2024 tersebut meningkat sebesar 30,4% jika dibandingkan dengan alokasi yang ditetapkan pada 2023. Pada 2023, alokasi belanja pendidikan dalam APBN adalah sebesar Rp612,2 triliun, juga meningkat sebesar 27,5% dari realisasi 2022.

Dari total alokasi anggaran pendidikan pada 2024 yang sebesar Rp665,02 triliun, Kemendikbudristek hanya mengelola Rp98,98 atau 15% dari alokasi tersebut dan sisa dikelola oleh lembaga negara Lainnya.

Lalu alokasi anggaran sebesar Rp 98,9 triliun di Kemendibudristek paling banyak dialokasikan untuk pendidikan tinggi. 

Direktur Center For Budget Analisis (CBA) Ucok Sky Khadafi begitu disapa Monitorindonesia.com, Senin (27/5/2024) menegaskan bahwa tingginya alokasi tersebut sebaiknya tidak perlu naik biaya UKT, atau seharusnya terjangkau buat mahasiswa yang kurang mampu.

Tetapi, oleh karena Mendikbudristek Nadiem Makarim adalah anak orang kaya atau anak yang tidak pernah hidup miskin. Makanya, kata Uchok sapaannya, tidak pernah susah untuk membayar SPP alias uang kuliah. 

"Sehingga tidak mungkin punya rasa empati terhadap penderitaan mahasiswa miskin, yang amat susah untuk bayar uang kuliah. Yang namanya Nadiem Makarim itu lahir dari orang kaya," kata Uchok.

"Dia hidup di luar negeri, dan sekolah dan kuliah di luar negeri. Lalu pulang ke Indonesia langsung membikin usaha dan kaya. Tak pernah bergelut dengan kegiatan sosial yang consen membangun masyarakat miskin," tambah Uchok.

Karikatur - Ilustrasi - Orang Miskin Dilarang Kuliah
Karikatur - Ilustrasi - Orang Miskin Dilarang Kuliah (Monitorindonesia.com)

Sehingga, lanjut Uchok, harus dimaklumin, kebijakan Nadiem Makarim untuk UKT naik berlipat ganda dalam rangka untuk membuat perguruan tinggi menjadi sebuah bisnis, yang menguntungkan. 

Atau membuat lembaga pendidikan menjadi ajang komersialisasi untuk mengumpulkan duit sebanyak – banyaknya. "Sehingga yang miskin atau tidak punya duit, harus disingkirkan lantaran tidak boleh kuliah di perguruan tinggi,” ungkap Uchok.

Di sisi lain, Uchok mengungkapkan bahwa bukan hanya Perguruan Tinggi negeri, yang mau dijadikan lembaga bisnis. "Coba lihat yang namanya program atau proyek di kemendikbud Ristek sangat mahal dan saling tumpang tindih. Hal ini,berarti ada kecenderungan ada dugaan penyimpangan, dan program-program mereka dijadikan bisnis," bebernya.

Adapun program-program bisnis di Kemendikbud Ristek yang ditemukan oleh CBA yakni double budget dan double program Kemendikbud Ristek.

Pertama, Biro Umum dan Pengadaan Barang dan Jasa melakukan Kegiatan Dukungan Perumusan Kebijakan Mendikbudristek Bidang Hubungan Kelembagaan dan Masyarakat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan anggaran sebesar Rp.153.000.000.

Uchok Sky Khadafi Direktur CBA
Uchok Sky Khadafi (Foto: Dok MI/Pribadi)

Kemudian ada lagi program yang sama oleh Biro Umum dan Pengadaan Barang dan Jasa dengan anggaran sebesar Rp.368.124.000 untuk Dukungan Transportasi dan Akomodasi Kegiatan Perumusan Kebijakan Mendikbudristek Bidang Hubungan Kelembagaan dan Masyarakat

Jadi, taka dia, program hanya Perumusan Kebijakan Mendikbudristek Bidang Hubungan Kelembagaan dan Masyarakat, sudah menghabiskan anggaran lebih dari setengah milyaran atau sebesar Rp.521.214.000.

Maka untuk itu, tegas dia, anggaran sebesar Rp.521 juta terlalu mahal kalau hanya untuk kegiatan Perumusan Kebijakan Mendikbudristek saja.  "Ini patut untuk ditelesik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK,” demikian Ucok.

Janji Nadiem omong-kosong?
Janji Mendikbudristek, Nadiem Makarim, yang bakal menghentikan kenaikan UKT disebut hanya 'omong kosong' selama Pemendikbudristek nomor 2 tahun 2024 tidak dicabut, kata Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji.

Kenaikan UKT sudah terasa dampaknya. Sejumlah calon mahasiswa baru (camaba) di beberapa universitas negeri mengundurkan diri seperti yang terjadi pada Naffa Zahra Muthmainnah di Sumatra Utara.

Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia, Prof. Ganefri, mengaku menyayangkan. Karenanya dalam waktu dekat seluruh pimpinan perguruan tinggi akan bertemu dengan pejabat Kemendikbudristek untuk membicarakan kenaikan UKT.

Adapun Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Abdul Haris, berkata soal mahasiswa baru yang merasa keberatan dengan penempatan UKT maka perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi negeri badan hukum harus mewadahi peninjauan ulang kelompok UKT bagi mahasiswa yang mengajukan.

Menurut Ubaid, selama aturan tersebut dipelihara oleh Kemendikbudristek maka akan makin banyak camaba yang berguguran.

Sayangnya, kata dia, dalam rapat kerja (raker) antara Komisi X dengan Mendikbudristek Nadiem Makarim pada Selasa (21/5/2024) kemarin tidak disinggung desakan para mahasiswa yang menginginkan aturan itu dicabut.

Orang Miskin Dilarang Kuliah
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim (tengah) bersama Sekretaris Jenderal Kemendikbud Ristek Suharti (kiri) dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Diktiristek) Kemendikbud Ristek Abdul Haris (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/5/2024)

 

"Yang membuat UKT mahal kan Permendikbudristek 2 tahun 2024, tapi enggak ada yang mengulas aturan itu dan akhirnya tidak ada keinginan dicabut. Pernyataan Menteri Nadiem bahwa Permendikbudristek berkeadilan cuma omong kosong, karena nyatanya masih jauh dari rasa keadilan dalam penentuan UKT," jelasnya.

Karena itulah dia mempertanyakan janji Menteri Nadiem Makarim yang bakal menghentikan kenaikan UKT yang nilainya disebut fantastis atau tidak wajar.

Sebab dalam menetapkan tarif UKT, perguruan tinggi berkonsultasi dan mendapatkan persetujuan dari kementerian. Kemudian penetapan kategori UKT pun merujuk pada Keputusan Mendikbudristek nomor 54 tahun 2024.

Itu artinya, Kemendikbudristek tahu betul besaran tarif UKT yang ditetapkan oleh kampus. "Plafon angka yang dijadikan rujukan kampus ya Permendikbudristek itu, kalau dibilang akan dihentikan gimana caranya kalau aturannya masih ada?" kata Ubaid geram.

"Ibaratnya kampus bilang, 'kamu yang bikin aturan, saya rujuk kok malah saya disalahkan'. Oke lah menghentikan sementara, tapi di kemudian hari akan menghadapi masalah yang sama kan? Jadi daripada menunda masalah, mending dicabut masalahnya," timpalnya.

Tak transparan
Masalah lain, kampus tidak transparan dalam menetapkan UKT. Meskipun dalam Permendikbudristek disebutkan bahwa besaran UKT tidak boleh lebih tinggi dari biaya kuliah tunggal (BKT) di masing-masing program studi, namun cara menghitungnya tidak jelas.

Kenaikan UKT sampai 100% seperti yang diberlakukan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) dianggap sangat tidak masuk akal. "Itu hitungnya bagaimana? Harga barang juga tidak secepat itu melonjaknya. Jadi menghitung UKT tidak ada rumus yang baku". 

"Tapi yang harus jadi rujukan dari penetapan UKT mestinya harus menyesuaikan kemampuan bayar mahasiswa. Ketika mahasiswa tidak mampu di angka yang ditetapkan, ya jangan dipaksakan bayar karena melanggar aturan," katanya melanjutkan.

JPPI, kata Ubaid, menawarkan solusi agar Permendikbudristek 2 tahun 2024 segera dicabut saja dan mengembalikan fungsi perguruan tinggi sebagai lembaga non-profit.

Dengan begitu skema bantuan pembiayaan dari pemerintah untuk perguruan tinggi negeri yang tadinya mencapai 80%-90% dapat diterapkan kembali. Pasalnya setelah muncul status perguruan tinggi negeri berbadan hukum, bantuan pembiayaan dari pemerintah tak lebih dari 30% sehingga akibatnya kampus membebankan ongkos operasional kepada mahasiswa dalam bentuk uang kuliah tunggal.

"Kampus murni untuk mencerdaskan bangsa sehinga jelas keberpihakan pemerintah pada sektor pendidikan. Enggak kayak sekarang keberadaannya jadi pelengkap penderita," jelasnya.

"Kalau Kemendikbudristek masih berpandangan bahwa kuliah itu pilihan, sama saja melukai anak bangsa yang punya mimpi bisa kuliah. Bayangkan, kuliah masih jadi mimpi," katanya.

Apa kata Kemendikbudristek?
Adapun dalam rapat kerja Komisi X DPR, Selasa (21/5/2024) lalu itu, Mendikbud-Ristek, Nadiem Makarim, memastikan bakal menghentikan kenaikan UKT di sejumlah perguruan tinggi negeri. Nadiem menyadari ada "lompatan" UKT yang cukup fantastis.

"Karena tentunya harus ada rekomendasi dari kami untuk memastikan bahwa lompatan-lompatan yang tidak masuk akal atau tidak rasional itu akan kami berhentikan," kata Nadiem.

Untuk itu, pihaknya akan memeriksa sejumlah perguruan tinggi negeri yang mengalami kenaikan UKT fantastis tersebut. Selanjutnya mengevaluasi dan mengkaji kembali.

"Saya ingin meminta semua ketua perguruan tinggi dan prodi untuk memastikan bahwa kalaupun ada peningkatan harus rasional, masuk akal dan tidak terburu-buru."

Sementara Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Abdul Haris, menyebut kenaikan UKT untuk seluruh mahasiswa merupakan "miskonsepsi". Abdul Haris menyatakan tidak ada perubahan UKT untuk mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan.

Apabila pimpinan perguruan tinggi negeri dan PTN-Berbadan Hukum menetapkan UKT baru maka uang kuliah tersebut hanya berlaku bagi mahasiswa baru. Haris menjelaskan berdasarkan data yang dimilikinya, proporsi mahasiswa baru yang masuk ke dalam kelompok UKT tertinggi atau kelompok 8 sampai kelompok 12 hanya 3,7% dari populasi.

Sebaliknya, 29,2% mahasiswa baru masuk ke kelompok UKT rendah yakni tarif UKT kelompok 1 dan 2 serta penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah - sehingga melampau mandat 20% dari UU Pendidikan Tinggi.

Soal kemungkinan mahasiswa baru merasa keberatan terhadap penempatan kelompok UKT, Haris menekankan bahwa PTN dan PTN-BH harus mewadahi peninjauan ulang kelompok UKT bagi mahasiswa yang mengajukan.

"Mahasiswa yang keberatan dengan penempatan UKT-nya, misalnya karena perubahan kemampuan ekonomi atau hasil penetapan tidak sesuai dengan fakta kondisi ekonominya, bisa mengajukan peninjauan ulang sesuai prosedur."

Orang Miskin Dilarang Kuliah
Sejumlah pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi untuk Indonesia Cerdas (AIC) memasang spanduk di gerbang Kantor Gubernur Banten saat berunjuk rasa di Serang, Kamis (2/5/2024).

 

Dia menambahkan jika masih ada keluhan setelah proses peninjauan ulang maka mahasiswa baru bisa menyampaikan laporan melalui situs kemendikbud.lapor.go.id.

Nantinya Ditjen Diktiristek akan menindaklanjuti laporan yang masuk mengenai kebijakan UKT yang tidak sesuai dengan Permendikbudristek nomor 2 tahun 2024.

Sebagai informasi, dalam Permendikbudristek setiap perguruan tinggi negeri wajib memiliki setidaknya dua kelompok uang kuliah tunggal (UKT), yaitu kelompok 1 sebesar Rp500.000 dan kelompok 2 sebesar Rp1 juta.

Dua kelompok ini biasanya menjadi tarif terendah yang diterapkan berbagai perguruan tinggi negeri. Di luar itu, mereka bebas menambah jumlah kelompok UKT dan menentukan besarannya. Makanya, ada perguruan tinggi yang bisa memiliki lima atau lebih kelompok UKT.

Penentuan kelompok UKT yang didapat mahasiswa biasanya berdasarkan pada kondisi ekonomi keluarga atau pihak yang membiayainya. Semakin seorang mahasiswa dianggap mampu, semakin besar pula besaran UKT-nya.

Respons kampus
Setelah mendapat protes dari mahasiswa, beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) mencabut Peraturan Rektor nomor 6 tahun 2024 tentang biaya pendidikan mahasiswa.

Aturan itu sebelumnya memuat kenaikan UKT mencapai 100%. Unsoed kemudian menerbitkan tarif UKT terbaru melalui Surat Keterangan Rektor nomor 847 tahun 2024 tentang tarif UKT program diploma dan program sarjana.

Dengan aturan baru itu, calon mahasiswa baru jalur SNBP diharapkan untuk melakukan registrasi ulang. Pasalnya hingga Senin (20/05) masih ada 2,1% mahasiswa yang belum mendaftar ulang. Jumlah itu disebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 15%.

Aturan anyar tersebut juga menyebutkan rata-rata kenaikan tarif UKT untuk calon mahasiswa baru sebesar 18%. "Rata-rata UKT calon mahasiswa baru tahun 2024 adalah Rp4,5 juta. Tidak terlalu jauh dari rata-rata besaran UKT tahun lalu yaitu Rp3,8 juta," sebut Juru bicara Unsoed, Dr Mite Setiansah dalam rilis resminya.

Sementara itu, Universitas Riau (Unri) juga memutuskan menurunkan tarif UKT menjadi tujuh kelompok dari sebelumnya 12 kelompok untuk calon mahasiswa baru. Namun demikian, program studi kedokteran masih terdiri dari 12 kelompok UKT.

Sebelumnya UKT mahasiswa di setiap program studi terdiri dari 6 kelompok. Kelompok terendah membayar Rp500.000 sedangkan kelompok tertinggi Rp6 juta.

https://img2.beritasatu.com/cache/beritasatu/960x620-3/2024/05/1715680223-1174x672.webp

Tapi, UKT diubah menjadi 12 kelompok. Perubahan itu memengaruhi nominal UKT yang harus dibayar. Kelompok terendah membayar Rp500.000 dan kelompok tertinggi menjadi Rp14 juta.

Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia, Prof. Ganefri, menjelaskan penambahan rentang kelompok UKT sebetulnya ditujukan untuk keterjangkauan dan keberadilan untuk semua pihak.

Dia mencontohkan untuk program studi kedokteran memang dibuat kategori lebih banyak demi memperluas pembiayaan pendidikan bagi masyarakat yang ekonominya mampu.

"Di kedokteran, kalau hanya rentang 1 sampai 5 nanti kampus terlalu banyak mensubsidi. Akan sulit untuk membiayai operasionalnya. Bagi yang tidak mampu tetap di kelompok 1 sampai 5. Tidak ada kenaikan," katanya.

Kendati begitu, dia mengaku tidak setuju jika perguruan tinggi langsung menaikkan UKT hingga 100%. Uang kuliah yang disebutnya tidak wajar itu patut ditinjau ulang.

Baginya UKT yang rasional adalah jika lonjakannya berkisar 5% atau 10%. "Misalnya sebelumnya Rp3,5 juta maka cukup dinaikkan menjadi Rp3,7 juta. Tapi kalau dinaikkan sampai 50% saja itu sudah enggak wajar."

"Karena PTN berbadan hukum seharusnya pikirannya bukan menaikkan UKT tapi menurunkan UKT. Kenapa? Sebab dia diberikan kesempatan mencari pendanaan lain. Makanya rektor diminta kreatif, tidak hanya pandai mengambil UKT," jelasnya.

Kata dia, pada Senin (27/5/2024) seluruh pimpinan perguruan tinggi negeri akan bertemu dengan pejabat Kemendikbudristek untuk membahas kenaikan UKT yang tidak wajar.

Di pertemuan itu, dia menjamin akan memperjuangkan harapan mahasiswa untuk menurunkan atau kalau perlu membatalkan UKT yang fantastis. "Saya sebagai ketua majelis rektor perguruan tinggi akan menjamin," tuturnya.

Negara harus hadir
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai pernyataan Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Tjitjik Sri Tjahjandarie melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah. 

Bahwa pernyataan Tjitjik seakan-akan menyiratkan perguruan tinggi hanya untuk kalangan orang kaya saja. “Perguruan tinggi di mata Ibu Tjitjik dianggap sebagai barang mewah dan tidak untuk semua kalangan".

"Jika pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier, lalu negara lepas tangan soal pembiayaan, bagaimana dengan nasib pendidikan dasar dan menengah, yang merupakan ‘kebutuhan primer'? Apakah pemerintah sudah membiayai?” katanya dikutip pada Senin (27/5/2024).

Ia menekankan, pemerintah harus segera mengambil langkah terkait masalah biaya UKT yang tinggi. Untuk mewujudkan bangsa yang cerdas dan berdaya saing global, katanya, pendidikan hingga SMA saja tak cukup.

“Negara harus hadir dan berpihak kepada semua dalam menjalankan amanah konstitusi dan bertanggung jawab penuh untuk menyediakan layanan pendidikan tinggi,” jelas Ubaid.

“Ini harus dilakukan pemerintah, supaya setiap warga negara mendapat kesempatan sama dan tidak berkompetisi saling mengalahkan dalam mengaksesnya," timpalnya.

Ada beberapa langkah yang harus diambil menyikapi mahalnya biaya pendidikan tinggi. Pertama, ujar Ubaid, Kemendikbud Ristek harus mengembalikan posisi pendidikan tinggi sebagai public good, dan jangan meletakkan perguruan tinggi sebagai kebutuhan tersier. Karena hal itu menyalahi amanah UUD 1945.

Kedua, DPR, Kemendikbud Ristek, dan masyarakat sipil harus melakukan evaluasi total terhadap kebijakan Kampus Merdeka yang mendorong perguruan tinggi negeri menjadi perguruan tinggi negeri-badan hukum (PTN-BH), yang terang berperan besar dalam melambungkan tingginya biaya UKT.

“Karena pemerintah tidak lagi menanggung biaya pendidikan, lalu dialihkan beban tersebut ke mahasiswa melalui skema UKT,” ucap Ubaid.

Ketiga, kata Ubaid, Kemendikbud Ristek harus mencabut Permendikbud Ristek Nomor 2 Tahun 2024 karena dijadikan landasan kampus dalam menentukan tarif besaran UKT. Keempat, pimpinan kampus harus melindungi hak mahasiswa untuk bersuara dan bisa melanjutkan kuliah.

“Pimpinan kampus harus memperbaiki data KIP Kuliah supaya tepat sasaran dan menyusun kembali besaran UKT, disesuaikan dengan kemampuan bayar mahasiswa,” tutur dia.

“Para guru besar di kampus harus bersuara dan mengembalikan marwah kampus sebagai tempat mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sebagai lahan bisnis," imbuhnya.