Kerajaan Arab Saudi Resmi Cabut Aturan Covid-19, Bagaimana dengan Indonesia?

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 6 Maret 2022 16:26 WIB
Monitorindonesia.com - Kerajaan Arab Saudi secara resmi telah mengeluarkan keputusan dengan mencabut hampir semua pembatasan berkenaan Covid-19. Adapun aturan yang dihapus Kerajaan Arab Saudi antara lain menjaga jarak, memakai masker sampai karantina bagi pendatang dihapus. Keputusan itu diumumkan oleh sumber resmi dari Kementerian Dalam Negeri dan mulai berlaku mulai Sabtu (5/3/2022) waktu Arab Saudi atau Minggu (6/3/2022) WIB. Dengan keputusan Kerajaan Arab Saudi tersebut, apakah Pemerintah Indonesia juga bisa mengambil langkah perubahan seperti Arab Saudi? Menanggapi hal itu, Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia Rahmad Handoyo menilai pemerintah Indonesia sampai saat ini belum bisa mencontoh Kerajaan Arab Saudi yang hampir semua aturan berkenann dengan Covid-19 secara resmi telah dicabut. Menurut Politikus PDIP ini, keputusan Kerajaan Arab Saudi tentu berdasarkan dengan data fakta dan keilmuan. Arab Saudi, kata Handoyo, tingkat vaksinasi Covid-19 sudah cukup tinggi sedangkan di Indonesia untuk Vaksinasi dosis pertama masih 90% sementara untuk Vaksinasi dosis kedua baru menuju pada 70%. Hal tersebut, kata Handoyo, dapat menyebabkan pemerintah Indonesia belum siap untuk melakukan suatu perubahan sebagaimana dilakukan oleh Kerajaan Arab Saudi. "Kita hormati apapun itu, namun demikian kita sebagai bangsa tentu setiap melakukan suatu perubahan strategi, perubahan kebijakan itu pasti berdasarkan data berdasarkan ranah penelitian, berdasarkan ranah keilmuan kan, saya kira kita hormati yang ada di Arab, sedangkan dikita kan vaksinasinya memang yang pertama masih sudah 90% tetapi untuk yang kedua kan baru menuju 70% lah, itu saya kira belum cukup dan terus kita gelorakan, harus kita dorong dan untuk kita tingkatkan," kata Handoyo kepada wartawan, Minggu (6/3/2022). "Nah ketika vaksinasi sudah sedemikian sesuai target dan tinggi termasuk Booster, sedangkan Booster kita kan masih kisaran 9 jutaan masih belum sampai 5%," sambungnya. Handoyo melanjutkan, bahwa hal tersebut tentu menjadi pemikiran pemerintah Indonesia untuk pertimbangkan menentukan langkah dan strategi terhadap aturan pembatasan Covid-19. "Apapun keputusan yang dilakukan oleh Arab Saudi termasuk di Indonesia pasti berdasarkan dari penelitian. Berdasarkan dari strategi angka hasil dari penelitian dari secara keilmuan itu sendiri, ini tidak bisa kita latah mengikuti negara lain, di sana sudah beberapa sudah di hapuskan status Covid-19 namun di sana sudah semuanya di vaksin sedangkan kita kan masih proses belum semuanya, target secara nasional kan belum tercapai untuk yang kedua mau pun yang Booster," jelasnya. Lebih lanjut Handoyo mengatakan, Negara lain bisa melakukan perubahan seperti yang dilakukan oleh Arab Saudi namun juga harus mempunyai strategi tersendiri untuk menentukan Covid-19 dan status pembatas-pembatas yang lainnya sebab setiap Negara mempunyai situasi dan kondisi yang berbeda-beda. Terakhir, Handoyo berharap pada tahun 2022 ini merupakan akhir secara dunia, secara nasional terutama untuk Indonesia bisa menendalikan Covid-19. "Dengan tetap menggunakan protokol kesehatan, Vaksinasi sesuai target apakah itu cukup atau tidak cukup, tetap menggunakan protokol kesehatan karena harian masih 200 orang yang gugur karena Covid-19, suatu hal yang tidak bisa disepelekan masih mengancam saudara kita yang 70% itu karena yang gugur karena belum di vaksin lengkap, ini menjadi perhatian kita bersama, saat ini menjadi pemicu pemerintah daerah untuk mengeluarkan dan membumikan protokol kesehatan," jelas Handoyo. Untuk diketahui, beberapa negara yang telah memenuhi aturan cakupan vaksinasi dosis lengkap yang distandarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mulai melonggarkan aturan pembatasan mereka di tengah peningkatan kasus varian Omicron di Eropa dan Amerika. Beberapa di antaranya adalah Inggris, Prancis, Denmark dan Swedia. Pada awal Februari 2022, Prancis menghapus batas pengunjung di tempat usaha. Di Inggris, siapapun kini tidak lagi terikat persyaratan hukum izin COVID-19 untuk masuk ke area publik seperti klub malam dan tempat-tempat besar lainnya. Saran bekerja dari rumah juga dihapus pemerintah, termasuk panduan masker di ruang kelas. Sejak awal Desember 2021, Pemerintah Inggris telah melakukan langkah-langkah yang disebut 'Plan B', untuk menghentikan penyebaran cepat varian Omicron dan sebagai upaya mengulur waktu agar penduduk bisa penerima suntikan vaksin booster. Denmark pun kini telah kembali hidup normal dengan virus Corona penyebab COVID-19. Bulan lalu, penasihat pemerintah Denmark, Michael Bang Petersen, berkata bisa mencabut prokes karena vaksinasi sudah tinggi, yakni 81 persen. "Warga Denmark memiliki tingkat vaksinasi yang tinggi, dan data kami menunjukkan bahwa mereka punya kepercayaan tinggi pada vaksin. 81 persen dari seluruh populasi telah divaksinasi dan 61% populasi telah mendapatkan vaksin booster. Vaksin tersedia bagi usia 5 tahun ke atas." Ekonom JP Morgan, David Mackie yang selama ini telah melakukan analisis statistik sejak awal pandemi menilai data yang disajikan oleh Denmark menunjukkan bahwa cakupan vaksinasi yang tinggi, termasuk dosis booster, dan penggunaan terapi anti-virus dapat menekan kasus fatalitas (CFR) COVID-19 di bawah CFR influensa. Diketahui, subvarian BA.2 dari Omicron menjadi yang paling dominan di negara tersebut. Subvarian itu disebut-sebut memiliki data tular sangat tinggi, namun tingkat keparahan rendah. Mackie percaya, data yang dimiliki Denmark dapat menawarkan gambaran mendalam akan seperti apa endemi COVID-19 nantinya, seperti dilansir ABC. Meski demikian, pandangan Mackie mendapat beragam respon dari para pakar di Australia. (Aswan)

Topik:

Arab Saudi