Saatnya Evaluasi Konstitusi, Kembalikan Utusan Golongan ke MPR

John Oktaveri
John Oktaveri
Diperbarui 16 November 2022 17:03 WIB
Jakartra, MI - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang juga pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie mengatakan sudah saatnya ide-ide dasar konstitusi Indonesia dikaji kembali dan dievaluasi setelah 24 tahun reformasi untuk disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Hal itu disampaikan Jimly dalam diskusi bertajuk "Urgensi Kehadiran Utusan Golongan di MPR" bersama pakar hukum John Pieris dan politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang juga Wakil Ketua MPR Arsul Sani, Rabu (16/11). Menurut Jimly, konstitusi perlu diperbaiki bukan saja karena sudah 24 tahun reformasi dan amendemen, tapi juga karena banyaknya struktur lembaga yang tidak efisien termasuk di antaranya Komisi Yudisial (KY). Selain itu, juga adanya kebutuhan untuk menghidupkan kembali Utusan Golongan mengingat sejarah dan semangat pendirian negara pada awalnya didasarkan pada semangat dan keberadaan golongan-golongan di Indonesia yang penduduknya sangat beragam. "Jadi perlu evaluasi kembali konstitusi kita setelah 24 tahun reformasi dan begitu juga dengan perlunya mengkaji kembali implementasinya dalam kehidupan berbangsa seperti perlunya keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan seluruh rakyat," ujar Ketua Forum Aspirasi Konstitusi (FAK) MPR tersebut. Jimly mengatakan perwakilan politik di DPR yang merupakan perwujudan dari partai politik dan perwakilan daerah yang diwakili DPD saja tidak cukup untuk mengakomodir keberagaman kehidupan berbangsa. Karena itulah Utusan Golongan diperlukan sebagaimana hasil kajian FAK. Jimly mengusulkan agar Utusan Daerah diakomodir di DPR menjadi fraksi tersendiri. Sedangkan Utusan Golongan cukup dengan status Ad Hoc nantinya. Jimly menegaskan di seluruh dunia memang dikenal tiga sistem perwakilan termasuk Utusan Golongan selain wakil partai politik dan kedaerahan meski sistem yang dipakai bisa saja bersifat bikameral atau dua kamar. Sementara itu, Arsul Sani mengakui pihaknya telah menerima aspirasi dari berbagai kelompok dan elemen masyarakat yang mendorong MPR untuk melakukan kajian dan amendemen kelima UUD NRI 1945. Selain itu, ada juga masyakarat yag meminta penataan sistem presidensial agar lebih baik. Namun demikian, Arsul mengusulkan kalau pada periode sekarang amendemen kelima UUD NRI 1945 tidak bisa dilakukan maka langkah itu bisa dilakukan pada tahun 2024 setelah pemilihan presiden pada bulan Februari. Alasannya, pada masa itu ada tenggat waktu antara Ferbruari hingga September hingga presiden baru dilantik pada Oktober tahun yang sama nantinya. Sependapat dengan Jimly, Arsul dan John Pieris mengakui bahwa peran DPR saat ini sudah terlalu mendominasi sehingga perlu keseimbangan baru dengan kehadiran Utusan Golongan dengan tetap mempertahankan DPD sebagi bagian dari MPR nantinya.