Tinggalkan Warisan Kolonial Belanda, DPR dan Pemerintah Sahkan RKUHP jadi Undang-undang

John Oktaveri
John Oktaveri
Diperbarui 6 Desember 2022 14:11 WIB
Jakarta, MI - Indonesia bersiap meninggalkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan warisan kolonialisme Belanda setelah DPR dan pemerintah akhirnya mengesahkan Rancangan KUHP menjadi undang-undang dalam rapat Paripurna yang digelar di kompleks parlemen, Selasa (6/12). "Kami menanyakan kembali kepada seluruh peserta sidang apakah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-undang? ," ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad selaku pimpinan rapat Paripurna hari ini yang dijawab setuju para peserta rapat. Lalu, Sufmi Dasco mengetukkan palu sebagai tanda sahnya RKUHP jadi undang-undang. Selanjutnya, KUHP terbaru itu diserahkan ke pemerintah untuk diteken Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan diberi nomor untuk masuk ke dalam lembaran negara. Sebelumnya, rapat paripurna untuk pengesahan produk legislasi itu terus tertunda sejak mendekati akhir masa bakti DPR periode 2014-2019 karena gelombang aksi protes. Banyak kalangan menilai beleid itu dipaksakan meskipun masih banyak pasal yang dinilai publik bermasalah atau kontroversial. Jadwal pengesahan RKUHP pada paripurna hari ini berlangsung sepekan setelah keputusan tingkat I diambil bersama pemerintah dalam rapat di Komisi I DPR pada 24 November lalu. Durasi waktu itu hanya hitungan hari sejak draf resminya disebar ke publik menjelang akhir pekan lalu. Komisi III DPR sebelumnya telah menyetujui RKUHP dibawa ke Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang. Keputusan itu diambil dalam rapat keputusan tingkat I yang digelar bersama pemerintah pada 24 November lalu. Namun, sejumlah kalangan publik dari mulai jurnalis, praktisi hukum, hingga aktivis HAM dan mahasiswa masih melihat materi dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih kacau dan memuat pasal-pasal bermasalah. Berikut beberapa pasal yang dinilai publik bermasalah dan bisa mengarah ke kriminalisasi dalam draf RKUHP terbaru per 30 November 2022 termasuk soal penghinaan terhadap presiden. Salah satu bunyi pasalnya adalah bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wapres dipidana dengan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp200 juta. Sedangkan pada pasal lainnya dinyatakan bahwa hal tersebut tidak berlaku jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. Pada bagian lain juga ada soal pasal makar yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah NKRI jatuh kepada kekuasaan asing atau untuk memisahkan diri dari NKRI, dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara maksimal 20 tahun. Sedangkan pasal berikutnya mengatur setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Sementara itu, Pasal 193 ayat (2) menyatakan pemimpin atau pengatur makar dipidana dengan pidana penjara maksimal 15 tahun. Selain kedua pasal itu, ada juga pasal penghinaan Lembaga Negara yang mengatur ancaman pidana bagi penghina lembaga negara seperti DPR hingga Polri. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 349 yang merupakan pasal delik aduan. Ancaman Pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan juga banyak dipertanyakan publik, selain pasal yang mengatur soal berita bohong atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan yang diduga bohong.