Film Dirty Vote jadi Pro-Kontra, Dewan Pers: Bukan Karya Fiksi, Perludem: Bukan untuk Jatuhkan Capres-Cawapres Tertentu

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 13 Februari 2024 13:34 WIB
Dosen FH Universitas Andalas, Feri Amsari (Foto: MI-Aswan/Rerpo YouTube)
Dosen FH Universitas Andalas, Feri Amsari (Foto: MI-Aswan/Rerpo YouTube)

Jakarta, MI - Film Dirty Vote ramai dibicarakan publik sejak pertama kali ditayangkan di Youtube pada 11 Februari lalu. Film berdurasi 117 menit ini menampilkan tiga pakar hukum tata negara yang mengungkap apa yang mereka sebut sebagai kecurangan dalam proses pemilihan presiden tahun 2024. Film ini menjadi pro-kontra di tengah masyarakat menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2024.

Apa kata Dewan Pers dan Perludem?

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu berkata bahwa film Dirty Vote tidak termasuk produk jurnalistik. Namun, kata dia, bukan berarti film itu berisi fiksi atau berita bohong. Alasannya, materi yang disajikan tiga pakar, yaitu Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari, merupakan fakta pengadilan, rekam peristiwa dalam rangkaian Pilpres, dan analisis akademis.

"Terhadap informasi seperti yang ada dalam film dokumenter ini, sebagian orang bisa memberi penilaian penting, meski ada juga yang mengatakan ini tidak penting. Tapi film ini merupakan dokumenter eksplanatori, jadi bukan karya fiksi," ujar Ninik dikutip pada Selasa (13/2).

Ninik mendorong publik untuk mencari sumber informasi lain untuk melengkapi pemahaman mereka terkait isu yang dipaparkan film Dirty Vote. Respons masyarakat untuk terus menggali informasi benar dan akurat, termasuk pasca kemunculan film Dirty Vote, disebut Ninik sebagai proses penting dalam demokrasi Indonesia.

https://monitorindonesia.com/storage/news/image/0b76b97e-b081-4fe3-b4cf-f6e86252f115.jpg
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu (samping kiri Menkominfo Budi Arie Setiadi) di The Ritz-Carlton Jakarta (Foto: MI/Aswan)

"Banyak sumber bisa dijadikan rujukan untuk melengkapi data dan informasi yang disajikan dalam film ini, misalnya melihat putusan pengadilan, klarifikasi kelompok yang membantah, dan bisa juga dari buku atau literatur. Yang terpenting, film ini berbeda dengan karya yang dibuat untuk propaganda dan provokasi. Masyarakat tidak perlu sampai ke perdebatan itu," beber Ninik.

Sementara itu, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Muhammad Ihsan Maulana, menyatakan bahwa dengan memanfaatkan data yang telah beredar di publik, menunjukkan konflik kepentingan yang bisa berujung pada kecurangan dalam rangkaian pemilihan presiden.

Bukan cuma menjadi pengingat terhadap pihak-pihak yang hendak melakukan kecurangan, Ihsan menyebut film Dirty Vote bisa menjadi bagian penting dalam pendidikan politik masyarakat.

"Tentu saja film ini merupakan peringatan kepada siapa saja yang hendak melakukan kecurangan khususnya di tahapan pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi hasil," kata Ihsan.

https://media.licdn.com/dms/image/D5603AQGQIgnyy3nR3Q/profile-displayphoto-shrink_800_800/0/1699798528506?e=2147483647&v=beta&t=Lxvv8lBSQej9anbAqxE7g1b6ArQhXRr_WWJZ8vHxHwA
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Muhammad Ihsan Maulana

Berkaca dari film tersebut, tahapan pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi hasil selalu menjadi tahapan paling rawan. Kata dia, hal ini merupakan tahapan krusial dalam pemilu.

"Jika tidak ada perbaikan dari netralitas penyelenggara negara dan penyelenggara pemilu tidak berbenah dari aspek teknis dan pengawasan pemilu, tentu masalah ini akan berulang," ujarnya.

Ihsan pun menilai film ini tidak tergolong kampanye ataupun upaya menjatuhkan pasangan capres-cawapres tertentu. Dia tidak setuju dengan anggapan bahwa Dirty Vote berisi hoaks atau informasi yang keliru.

Menurutnya, film ini merangkum dan menggambarkan dugaan kecurangan pemilu secara baik dan mudah dicerna oleh pemilih. "Film ini adalah gambaran keresahan publik terhadap tahapan penyelenggaraan pemilu yang diwarnai dengan konflik kepentingan, potensi kecurangan, melawan aturan hukum kepemiluan yang sebetulnya selama ini sudah diadvokasi oleh kelompok masyarakat sipil," kata Ihsan.

"Rasanya terlalu berlebihan jika film ini dituduh sebagai propaganda. Apa yang disampaikan merupakan informasi publik terbuka, hasil dari kerja jurnalistik, dan putusan pengadilan," imbuhnya.

Benang Merah Film Dirty Vote

Adapun benang merah dari film besutan Dandhy Laksono itu mengungkap berbagai instrumen kekuasaan yang digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu dan merusak demokrasi. Ada indikasi ketidaknetralan dan potensi kecurangan dalam pemilu 2024.

Bagian awal film, Zainal Arifin menjelaskan beberapa poin yang menjadi dasar kubu pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres) nomor urut 02 yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mendorong pelaksanaan (Pilpres) 2024 satu putaran. Berbagai survei menunjukan suara Prabowo-Gibran teratas ketimbang 2 pasangan calon lainnya.

https://images.hukumonline.com/frontend/2017/pro%20bono%202019/Film%20Dirty%20Vote.1.jpg
Dirty Vote dokumenter dibintangi oleh tiga ahli hukum tata negara. Mereka adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.

“Kenapa 1 putaran, karena 2 putaran membuat risiko kekalahan bagi pasangan calon yang sedang memimpin (hasil survei,-red),” ujarnya.

Giliran Feri memaparkan aturan main Pilpres 1 putaran sebagaimana mandat Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Yakni mendapat suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Dia menghitung saat ini ada 38 provinsi.

"Nah, setengah lebihnya itu berarti 20 provinsi. Dalam 20 provinsi itu harus menang minimal 20 persen suara di setiap provinsi".

Jadi tak hanya besarnya jumlah suara yang diraih, Feri menjelaskan syarat sebaran wilayah perolehan suara juga harus dipenuhi. "Misal, pulau Jawa punya 115 juta suara pemilih, bila dilihat sebaran hanya memiliki 6 provinsi. Tapi di pulau Sumatera itu menentukan sebaran wilayah, karena memiliki 10 provinsi," ungkapnya.

Kemudian, yang menentukan juga soal sebaran wilayah yakni pulau Papua dimana sekarang dimekarkan dari 2 menjadi total 6 provinsi. Keempat provinsi baru di Papua itu langsung ikut pemilu 2024 berbeda dengan Kalimantan Utara yang ikut pemilu 6 tahun setelah provinsi itu dibentuk.

Berkaca 2 periode pemilu sebelumnya, yakni 2014 dan 2019 Feri mengingatkan data yang menunjukan Jokowi selalu unggul di Papua. Kala itu Tito Karnavian menjabat sebagai Kapolda Papua dan sekarang sebagai Menteri Dalam Negeri. “Sebaran wilayah sangat menentukan,” ujarnya.

Melanjutkan paparannya, Feri menerangkan penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah di berbagai wilayah oleh Presiden Jokowi melalui Menteri Dalam Negeri.

Sejak 2021 setidaknya ada 20 Pj Gubernur di 20 Provinsi yang telah ditunjuk. Selain itu Presiden juga punya pengaruh besar dalam penunjukan Pj Bupati dan Walikota yang jumlahnya mencapai 182.

Sayangnya penunjukan kepala daerah itu tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal MK menentukan proses penunjukan Pj itu harus terbuka dan transparan serta mendengar aspirasi pemerintah dan masyarakat daerah.

Penunjukan Pj yang tidak sesuai mandat konstitusi itu membuat Komisi Informasi Pusat (KIP) dan Ombudsman RI menyebut tindakan penunjukan Pj itu maladministrasi. Patut dicermati seluruh wilayah yang dipimpin Pj itu jumlah daftar pemilih tetap (DPT) 140 juta suara yang setara 50 persen lebih suara pemilih.

Beberapa yang ditunjuk Presiden sebagai Pj misalnya Pj Gubernur Jawa Barat Bey Machmudin yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Biro Kesekretariatan Presiden tahun 2016 dan Deputi Kesekretariatan Presiden tahun 2021. Pj Gubernur Jakarta Heru Budi Hartono sebelumnya menjabat Kepala Kesekertariatan Presiden tahun 2017.

Pj Gubernur Jawa Tengah Nana Sudjana pernah menjadi Kapolresta Surakarta tahun 2010 ketika Jokowi sebagai Walikota Solo. Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki sebelumnya berdinas di TNI kemudian ditarik ke Kementerian Dalam Negeri lalu 3 hari kemudian langsung ditunjuk sebagai Pj Gubernur Aceh. Feri menganalisa penunjukan Pj itu ada relasinya dengan peristiwa ketidaknetralan Pj dan pejabat lain dalam pemilu 2024.

Bantuan sosial

Bivitri Susanti dalam film itu memaparkan, salah satunya tentang tingginya anggaran bantuan sosial (Bansos) jelang perhelatan pemilu termasuk pemilu 2024. Bansos digunakan berlebihan dan melebihi masa pandemi Covid-19. Lalu kebijakan populis lain seperti menaikan gaji PNS, TNI, Polri, dan PPPK tahun 2024 sebesar 8 persen.

Ada juga kenaikan gaji pensiunan PNS tahun 2024 sebesar 12 persen. Tapi kenaikan upah buruh hanya berkisar 3,2 sampai 4,4 persen. Bansos harus dikembalikan, tapi bukan bantuan politik atau dari pejabat. Namun bansos menjadi cara cepat mewujudkan sila kelima Pancasila.

Menurutnya, bila  bansos itu fasilitas negara seharusnya disalurkan melalui struktur negara yakni Kementerian Sosial (Kemensos). Tapi Bivitri mengungkap data Kemensos tidak digunakan untuk membagi-bagi bansos yang dilakukan pemerintah. Tercatat pembagian bansos terbanyak di wilayah Timur Indonesia.

Dia mengungkap strategi politik Gentong Babi (Pork Barrel Politics) yang intinya cara berpolitik menggunakan uang negara untuk digelontorkan ke daerah pemilihan oleh para politisi agar dirinya dipilih kembali. “Tapi tentu saja kali ini Jokowi tidak meminta orang untuk memilih dirinya tapi penerusnya,” imbuhnya.

Di menit akhir Film, para aktor menyimpulkan analisanya. Feri berpendapat semua rencana ini tidak didesain dalam waktu satu malam, dan tidak sendirian.

Sebagian besar rencana kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif untuk mengakali pemilu ini disusun bersama pihak lain. “Mereka ini kekuatan yang selama 10 tahun terakhir berkuasa bersama,” paparnya.

Zainal menyimpulkan persaingan politik ddan perebutan kekuasaan serta desain kecurangan yang sudah disusun secara bersama ini akhirnya jatuh ke tangan satu pihak. “Yakni pihak yang sedang memegang kunci kekuasaan dimana dia bisa menggerakan aparatur dan anggaran,” bebernya.

Sementara Bivitri, berargumen rencana dan disain ini tidak hebat-hebat amat, tapi pernah dilakukan rezim sebelumnya dan di berbagai negara. “Untuk menyusun skenario kotor begini tidak perlu pintar dan cerdas, tapi mental culas dan tahan malu,” tutupnya. (wan)