Jokowi Tinggalkan Rapor Merah di Danau Toba


BAGAIKAN rusa dahaga merindu air. Kira-kira demikianlah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan sikap masyarakat di Kawasan Danau Toba (KDT) terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi). Lihatlah fakta senyatanya.
Mereka sangat mencintai dan mendukung Jokowi. Hasil dua kali pemilu, tahun 2014 dan 2019, buktinya. Perolehan suara Joko Widodo dan pasangannya selalu sangat tinggi.
Pada 2014, di Kabupaten Samosir-lah perolehan suara Jokowi-Jusuf Kalla tertinggi se-Indonesia (94,07%). Bukti nyata berikutnya betapa populernya mantan pebisnis mebel itu di sana adalah hasil pemilu 2019. Sangat mencengangkan, Jokowi yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin meraih 97% suara di Kabupaten Samosir.
Di kabupaten lain di KDT perolehan suara mereka juga sangat tinggi: rata-rata di atas 90%. Tak lupa kacang pada kulitnya. Begitulah Jokowi. Dukungan luar biasa warga KDT disahutinya dengan setimpal. Ia menggalakkan pembangunan infrastruktur secara masif.
Jalan tol menuju KDT, pembangunan jalan lingkar Pulau Samosir, penyediaan kapal feri penyeberangan baru berikut dermaga-dermaga baru, serta yang lain itu prestasi yang sungguh menyenangkan rakyat.
Namun, di balik keberhasilan pembangunan infrastruktur terdapat kegagalan pembangunan di sektor lain. Sektor pariwisata, yang menjadi unggulan KDT, misalnya.
Sebagaimana kita ketahui, Danau Toba menjadi satu dari lima destinasi pariwisata super prioritas di Indonesia. Namun, jumlah wisatawan mancanegara sangat minim di sana hingga kini.
Kerusakan lingkungan gila-gilaan yang mengakibatkan banjir dan longsor berulang terjadi di hampir seluruh kabupaten KDT menjadi pertanda buruknya tata kelola pemerintahan. Buruknya kualitas air Danau Toba, baik oleh karena cemaran keramba jaring apung, maupun limbah domestik sungguh memprihatinkan. Yang memalukan adalah perlu hujan buatan (tahun 2021) untuk menjaga debit air Danau Toba.
Tidak ada kebijakan konkret dari Presiden Jokowi maupun Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) yang putra Batak untuk memperbaiki mutu air Danau Toba. Konflik agraria antara perusahaan dengan pencinta lingkungan hidup dan masyarakat adat
kerap terjadi.
Satu lagi, proyek mercusuar lumbung pangan (food estate) di Kabupaten Humbang Hasundutan juga gagal. Padahal, negara telah menghamburkan ratusan miliar dana.
Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) pun membuat catatan kritis. Intinya, rapor Jokowi di KDT dalam 10 tahun ini merah. Skornya 2,75 (dari interval 1-10).
Uraian selengkapnya berikut ini.
Sejak awal, warga Kawasan Danau Toba (KDT) sangat menyukai Jokowi. Siapa pun tak bisa memungkirinya. Soalnya, itu nyata betul. Lihatlah hasil pemilu tahun 2014. Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla berjaya betul di sana.
Di Kabupaten Samosir-lah perolehan suara mereka tertinggi se-Indonesia (94,07%). Di kabupaten sebelah juga sangat tinggi yakni Tapanuli Utara (91,20%), Toba Samosir (90,67%), Humbang Hasundutan (90,51%), dan Karo (84,96%). Di Pulau Jawa tiada pencapaian mereka yang seperti itu.
Bukti nyata betapa populernya mantan pebisnis mebel itu di sana bisa kita lihat lagi lewat hasil pemilu berikutnya (2019). Sangat mencengangkan, Joko Widodo (Jokowi) yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin meraih 97% suara di Kabupaten Samosir.
Sementara saingannya, Prabowo Subianto—Sandiaga Uno yang bernomor urut 02, cuma 3%. Di seluruh kabupaten di Indonesia, di Samosir-lah Jokowi—Ma’ruf Amin paling berjaya kala itu.
Di Kabupaten Toba Samosir pun perolehan suara mereka pun sangat tinggi di masa itu yaitu 95,78%. Di kabupaten lain di kitaran Danau Toba kemenangan pasangan 01 ini pun begitu meyakinkan. Lebih mengesankan dari pemilu 2014.
Tak lupa kacang pada kulitnya. Begitulah Jokowi. Dukungan luar biasa warga Kawasan Danau Toba terhadap dirinya itu disahutinya dengan setimpal.
Dalam sepanjang sejarah kemerdekaannya (78 tahun lebih), Indonesia telah memiliki 7 presiden. Dari semuanya, tak terbantahkan bahwa sang incumbent, Joko Widodo, yang paling peduli Kawasan Danau Toba.
Kalau kepala negara sebelumnya sangat jarang datang dan kalau pun hadir sekadar mampir belaka saat menjalankan urusan kedinasan, mantan walikota Solo dan gubernur DKI Solo itu lain.
Penjelasan
Sejak 2026 dia berulang-ulang melongok dan bahkan pernah menghabiskan waktu di sana sampai 3 hari bersama istri dan rombongan (tahun 2019). Dan, yang lebih penting dari itu, ia banyak berbuat hal konkrit. Wujudnya adalah pelbagai infrastruktur untuk menjadikan kaldera Toba daerah tujuan wisata berkelas dunia.
Jadi, simbiosa mutualime alias hubungan yang saling menguntungkanlah yang terjalin antara dia dengan konstituennya tersebut. Dekat secara emosional, begitulah Jokowi dengan Kawasan Danau Toba.
Sebabnya? Selain karena dukungan maksimal saat pemilu 2014 dan 2019 tadi, ada sejumlah penatunya. Faktor Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dan Bobby Nasution, antara lain.
Luhut B. Panjaitan merupakan kepercayaan dan andalan Jokowi sejak ayah Gibran dan Kaesang serta suami Iriana itu menjadi orang nomor satu di Indonesia mulai 20 Oktober 2014. Saking berkuasanya, ‘super menteri’, itulah sebutan letnan jenderal pensiunan yang merupakan Kepala Staf Kepresidenan (Desember 2014—September 2015), Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Agustus 2015—Juli 2016), dan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marinves, mulai Juli 2016).
Pemilik kelompok bisnis Toba Bara Sejahtra (TBS) dan Yayasan Del yang berbasis di Laguboti tentulah berperan besar dalam mendekatkan Jokowi dengan Kawasan Danau Toba.
Lantas, putri sematan wayang Jokowi, Kahiyang Ayu, kemudian menikah dengan anak Medan, Bobby Nasution. Pernikahan ini niscaya membuat hubungan emosional tadi lebih kuat lagi. Apalagi sejak pernikahan itu Jokowi telah menjadi marga Siregar. Bobby masih merupakan Walikota Medan.
Super Prioritas
Mengutamakan Kawasan Danau Toba di kancah pariwisata dalam negeri, itulah langkah awal yang diambil pemerintah Jokowi. Dari Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) yang diprioritaskan, statusnya naik menjadi Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Lantas, pada 2022, dinyatakan pula oleh pemerintah sebagai salah satu Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP), bersama Borobudur, Mandalika (NTB), Labuhan Bajo (NTT), dan Likupang (Sulut).
Kehadiran aneka infrastruktur pendukung pariwisata merupakan imbas positif dari 3 kali penaikan status ini. Di tahun 2016 Jokowi 2 kali berkunjung ke Kawasan Danau Toba. Pada 22 Agustustahun itu, di Porsea ia berjanji akan memperbanyak daerah tujuan wisata di kitaran.
Tujuannya? “Agar menjadi obyek wisata yang benar-benar berkelas internasional,” ujarnya. Selain akan membangun sejumlah tempat yang menarik, lanjut dia, Bandara Silangit bakal dibenahi agar bisa disinggahi pesawat berbadan lebar.
Luhut B. Panjaitan yang mendampingi Presiden, waktu itu mengatakan pelbagai fasilitas pendukung wisata akan dihadirkan. Di Kabupaten Toba Samosir akan dibangun hotel, resor, convetion center, lapangan golf, dan bandara. Semuanya harus clear pada 2018. Berbagai lomba berkelas internasional—termasuk marathon dan balap sepeda—akan digelar di sana nanti saban tahun.
"Masalah keramba jaring apung dan TPL [Toba Pulp Lestari] harus tuntas tahun 2017," tegas Luhut saat itu.
Tatkala berada di Kabupaten Humbang Hasundutan, pada 29 Juli 2019 Presiden Joko Widodo menyatakan investasi untuk Kawasan Danau Toba Rp 3,5 triliun dari APBN dan dari luar APBN bisa 3 kali lipat. Alokasinya untuk perbaikan semua hal, termasuk lingkungan. Ada 28 titik di sana, menurut dia, yang akan dijadikan destinasi internasional.
Pelbagai infrastruktur memang hadir kemudian di 7 kabupaten yang ada di kitaran itu (Dairi, Karo, Simalungun, Toba, Samosir, Humbang Hasundutan, dan Tapanuli Utara).
Sebagian besar baru. Sisanya hasil rehabilitasi atau renovasi. Bandara Silangit pun sudah dipermak. Seperti yang berkali-kali dikatakan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, pembangunan infrastruktur pada setiap Destinasi Pariwisata Super Prioritas senantiasa terpadu.
Pekerjaannya termasuk penataan kawasan, jalan, dan jembatan; penyediaan air baku dan air bersih; pengelolaan sampah dan sanitasi; serta perbaikan hunian penduduk. Pada 2020-2022 proyek yang ditangani PUPR di kitaran yang menjadi bagian dari Sumatra Utara itu mencakup: preservasi, rehabilitasi, pembangunan jalan baru, penataan trotoar dan drainase, penggantian jembatan, dan beautifikasi.
Pada Februari 2022 Jokowi akhirnya meresmikan infrastruktur senilai Rp 1,08 triliun di Kawasan Danau Toba. Wujudnya adalah jalan, pelabuhan, ruang terbuka publik, instalasi pengolahan air limbah (IPAL), dan yang lain.
Fasilitas baru itu termasuk jalan Bypass Balige, Pantasi Bebas Parapat dan IPAL Parapat, serta 7 pelabuhan penyeberangan dan 6 kapal motor penumpang (KMP). Pelabuhan baru itu ada di Tigaras, Tongging, Ajibata, Balige, Simanindo, Baktiraja, dan Muara.
Saat itu 6 pelabuhan penyeberangan lainnya sedang dibangun yaitu di Ambarita, Onan Runggu, Sipinggan, Sigapiton, Porsea, dan Silalahi. Huta Siallagan dan Kampung Ulos Huta Raja yang telah dikembalikan menjadi konservasi adat-budaya juga diresmikan Presiden saat itu.
Sejak September 2022 penataan Kawasan Waterfront City Pangururan dan Kawasan Tele dimulai. Nilai proyeknya Rp 161 Miliar. Waterfront inilah yang menjadi ajang Aquabike Jetski World Championship 2023 (November).
Sebelumnya, pembenahan jembatan Tano Ponggol, Pangururan, telah rampung. Proyek terbaru yang diresmikan Jokowi (pada 7 Februari 2024) adalah 2 ruas tol yang merupakan lintasan yang akan menghubungkan Medan dengan Parapat, kota turis yang terletak di bibir Danau Toba.
Lintasan bebas hambatan Tebing Tinggi—Indrapura (20,4 kilometer) berbiaya Rp 3,06 triliun. Sedangkan jalur Indrapura—Limapuluh (5,6 kilometer) Rp 1,67 triliun. Ruas Limapuluh—Pematang Siantar masih dalam pengerjaan.
Minim Wisman
Tak bisa dipungkiri bahwa selama 10 tahun memerintah, Joko Widodo telah menghadirkan banyak infrastruktur di Kawasan Danau Toba. Ketersambungan antar titik merupakan buahnya yang paling nyata. Lewat Bandara Silangit di Siborongborong, orang yang terbang dari Jakarta, misalnya, dengan lekas sudah bisa tiba di Tuktuk atau Pangururan yang terletak di Pulau Samosir. Begitu juga mereka yang mendarat di Bandara Kuala Namu, Deli Serdang.
Fasilitas itu serba bagus. Masalahnya adalah pemeliharaannya kemudian. Seusai dirampungkan oleh PUPR, bangunan itu ada yang kurang terawat karena memang tiada otoritas yang ditugasi menanganinya. Pemda setempat tampaknya ogah untuk mengurusi karena tak dilibatkan sejak awal dalam ‘proyek pusat’ tersebut.
Dermaga yang di depan Hotel Atsari, Parapat, contohnya. Kekusaman lekas mendekapnya Kawasan Pante Marihat, Parapat, pun demikian. Setelah pedagang dibersihkan dari sana, kitaran ini lekas ‘kembali ke leptop’. Pasalnya, tak ada petugas yang menjaganya. Terbuktilah kembali ucapan klasik:
“Membangun itu gampang. Yang sulit adalah merawat.” Seperti yang diharapkan Joko Widodo, Luhut Binsar Panjaitan, dan pembesar pusat lainnya, tujuan penghadiran rupa-rupa infrastruktur ini adalah untuk memikat turis mancanegara sebanyaknya. Lantas, apakah tujuan itu tercapai? Sejauh ini masih jauh panggang dari api.
Mari kita lihat data BPS berikut.
Tahun 2018, sebelum pandemi Covid-19, wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Sumatra Utara yang destinasi utamanya adalah Danau Toba 236.276 orang.
Di tahun 2020 angka tadi menjadi 44.400 orang. Sedang pada 2021 turun drastis: 230 orang. Bayang-bayang maut pandemi memang terus membayang dalam 2 tahun itu. Pandemi reda sudah pada 2022. Jumlah turis asing pun naik menjadi 74,5 ribu orang.
Di tahun 2023 (hingga Juni) telah mendekati 95 ribu orang. Begitupun, masih jauh dari 236.276 orang yang di tahun 2018. Bali tidak dimasukkan pemerintah dalam daftar destinasi wisata super prioritas.
Tampaknya karena sejak dulu statusnya demikian. Kendati tidak apple to apple jika
menkontestasikannya, kita jadikan provinsi di kanan Pulau Jawa ini sebagai tolok ukur agar gambaran besar lebih benderang. Di tahun 2018 jumlah wisman di Bali 6,07 juta orang dan di tahun berikutnya 6,275 juta orang.
Pandemi Covid-19 lantas mengubah segalanya. Pada 2020 turun menjadi 1,06 juta orang. Puncak kemerosotan terjadi di tahun 2021. Hanya 51 orang turis asing yang datang!
Pandemi berakhir. Angka pun menjadi 2,15 juta orang di tahun 2022. Setahun berselang berlipat menjadi 5,23 juta orang. Di tahun 2024 ini diperkirakan jumlahnya sekitar 7 juta orang. Sementara Kawasan Danau Toba, untuk menembus angka 100 ribu orang pun masih saja sulit. Sangat kontras, bukan?
Sekali lagi, pembangunan aneka fasilitas di KDT sejak 2016 belum kunjung berhasil merangsang turis asing untuk datang. Sebagai gambaran, masih lebih banyak orang bule yang bisa kita temukan di Tuktuk—Tomok di tahun 1970-an daripada sekarang.
Adapun pelancong lokal, saat ini memang jauh lebih banyak. Masalahnya, mereka bukan target utama. Sebenarnya pemerintah pusat telah melangsung sejumlah perhelatan internasional untuk memikat wisman. Kejuaraan dunia perahu motor (F1H2O) digelar di Balige pada 24-26 Februari 2023.
Kemudian, pada pada 22-26 November 2023 Aquabike Jetski World Championship dihelat di 4 kabupaten di Danau Toba (Karo, Dairi, Samosir, dan
Toba). PUPR mengeluarkan dana Rp 30 milyar untuk fasilitas (wet paddock, dry paddock, dan akses menuju paddock, dan yang lain) Formula 1 balap perahu di Balige.
Menko Marinves Luhut B. Panjaitan menyatakan perhelatan ini berdampak positif terhadap perekonomian nasional. “Kalau dampak ekonominya dalam beberapa hari terakhir sekitar Rp 300 miliar. Kalau dampak tidak langsung pastinya jauh lebih besar lagi,” ucap dia saat konferensi pers pada 24 Februari 2023.
Tak jelas apakah Rp 300 miliar yang dimaksud termasuk biaya untuk mengurus agar F1 itu bisa berlangsung di Danau Toba. Yang pasti, selama lomba sedikit saja warga asing yang menonton langsung di Balige. Jadi, tipis sekali devisa yang berasal dari mereka. Entah kalau uang bisa didapat dari hak tayang siaran langsung.
SDM Payah
Sibuk membangun infrastruktur tapi lupa membenahi sumber daya manusia (SDM) setempat. Begitulah pemerintah pusat kita selama 10 tahun ini di Kawasan Danau Toba. Sebuah paradoks, tentunya sebab yang hendak diwujudkan adalah sebuah destinasi wisata super prioritas kelas dunia. Jelas, industri hospitality yang diniatkan.
Bisnis yang bertumpu pada layanan prima yang membuat konsumen loyal. Mata rantainya mencakup hotel, restoran, penerbangan, tempat wisata, dan sebagainya. Jangankan layanan yang prima, yang berkriteria ‘baik’ pun sulit didapatkan pengunjung di kitaran Danau Toba sejak dahulu kala.
Keengganan untuk melayani karena merasa dirinya putra atau putri rajalah penyebabnya di samping kecenderungan untuk mengabaikan manner (tata krama). Dampaknya jelas. Bukannya loyal, pengunjung pun menjadi kapok untuk datang dan bertransaksi lagi. Tanpa pengedepanan hospitality akan sangat sulit, kalau bukan musykil, DWSP kelas dunia bisa diwujudkan.
Di mana pun demikian hukum besinya. Entah mengapa pemerintah pusat seperti tidak menyadari hal ini sampai sekarang. Pada sisi lain, keengganan warga setempat untuk menjaga-merawat sarana dan prasarana wisata yang sudah dibangun PUPR—bahkan ada dari mereka yang merusakinya—itu berkait betul dengan kesadaran mereka yang masih rendah tentang pentingnya layanan bermutu.
Pembangunan infrastruktur dan SDM harus sejalan karena laksana 2 sisi dari mata uang yang sama. Nyatanya tidak demikian dalam 10 tahun ini.
Perusak Alam Ironi lainnya adalah pembiaran perusak alam terus berkegiatan di Kawasan Danau Toba. Seperti disebut di atas, saat mendamping Presiden Jokowi di Porsea pada 22 Agustus 2016, Menteri Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, "Masalah keramba jaring apung dan TPL (Toba Pulp Lestari) harus tuntas tahun 2017. "Nyatanya tidak ada yang berubah di sana kecuali kerusakan alam yang bertambah parah.
Para perusak alam masih saja leluasa di sana. Mereka—PT Indorayon yang telah berganti jubah menjadi PT Toba Pulp Lestari; PT Aquafarm Nusantara (milik orang Swiss) yang kini telah mengenakan nama induknya, Regal Springs, tapi ditambah dengan kata ‘Indonesia’ di bagian akhirnya (menjadi Royal Springs Indonesia); PT Suri Tani Pemuka (STP, merupakan anak usaha Japfa Comfeed Indonesia yang menernakkan ikan di Danau Toba; PT Allegrindo Nusantara (perusahaan ternak babi Desa urung Pane, Kecamatan Purba, Simalungun); dan yang lain masih saja berkegiatan seperti sediakala.
Seakan untouchable (tak tersentuh), mereka. Serupa halnya dengan para pelaku illegal logging yang beroperasi di banyak tempat di Sumatra Utara.
Muncul pendapat bahwa kawasan ini telah diuntungkan oleh perusahaan-perusahaan perusak alam, selain oleh infrastruktur yang baru dihadirkan oleh negara.
Yang pertama ini tentu saja mitos belaka. YPDT pernah menghitung bahwa kontribusi PT Aquafarm ke Republik Indonesia cuma sekitar 3% saja dari biaya kerusakan alam yang ditimbulkannya. Indorayon alias Toba Pulp Lestari pun setali tiga uang. Mereka malah pernah menyatakan rugi. Akibatnya, tak perlu membayar pajak ke negara. Sebuah akal-akalan yang luar biasa, bukan?
Pembodohan dan pelanggaran HAM di kitaran kawasan Danau Toba sudah berlangsung puluhan tahun. Korban kesewenang-wenangan yang paling banyak dari pelaku yang sama di kitaran Kawasan Danau Toba adalah warga yang tidak bisa lagi menikmati karunia alam yang tadinya sangat luar biasa.
Jadi, kaum mayoritas. Hutan dan danau di kawasan telah puluhan tahun dihancurkan. Imbasnya ke mana-mana termasuk. Selain flora dan fauna, manusia juga terdampak. Asupan bergizi tinggi yang menyehatkan tubuh dan pikiran semakin sulit saja didapatkan di sana. Jadi, sudah beda betul dibanding dengan keadaan sebelum PT Indorayon/PT Toba Pulp Lestari beroleh izin Menteri Kehutanan pada 1984 untuk menebangi pinus Danau Toba.
Pembiaran terjadi termasuk oleh negara. Bahkan yang terakhir ini terkesan berkompromi kalau bukan berkolusi. Tidak ada bedanya dari zaman Orde Baru yang 32 tahun.
Sebuah ironi besar! Inilah yang sangat merisaukan dan menggalaukan YPDT sekian lama.
BODT Gagal
Pada 1 Juni 2016 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016 tentang Badan Otoritas Pengelola Kawasan Wisata Danau Toba.
Dinyatakan di sana bahwa kebijakan ini merujuk Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan sekitarnya.
Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba yang selanjutnya disebut Otorita Danau Toba, menurut Perpres ini, dibentuk untuk melaksanakan pengembangan kawasan pariwisata Danau Toba sebagai kawasan strategis pariwisata nasional.
Bertanggung jawab kepada presiden, badan ini terdiri dari Dewan Pengarah dan Badan Pelaksana. Artinya, yang pertama menjadi semacam dewan komisaris sedangkan yang kedua dewan direksi.
Dewan Pengarah berunsurkan: Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (ketua merangkap anggota), Menteri Pariwisata (ketua pelaksana harian merangkap anggota), Menteri Dalam Negeri, Menteri Perencanaan Pembangunan/ Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan, Menteri PUPR, Menteri Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Sekretaris Kabinet, dan Gubernur Sumatera Utara.
Dari lapangan yang saling berkait unsur Dewan Pengarah ini. Orang-orangnya pun serba powerfull. Dengan demikian secara teoritis mereka tak akan kesulitan menetapkan kebijakan apa pun dan mengawasi eksekusinya. Sumber dana Otorita Danau Toba adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD), dan yang lain yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Otorita mengurusi seluruh wilayah yang disebut dalam Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan sekitarnya. Termasuk kawasan seluas paling sedikit 500 hektar yang akan diberikan hak pengelolaannya kepada mereka. Yang terakhir ini tak ada dalam draf yang kami susun. Entah dari siapa ide ini.
Dengan kewenangan besar seperti yang digariskan di Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016, Otorita Danau Toba bisa berbuat banyak untuk memajukan kawasan. Nyatanya tidak demikian; jauh panggang dari api. Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) yang dipimpin Dirut Ari Prasetyo dilantik pada November 2016.
Ternyata tak banyak hal yang bisa mereka lakukan kemudian. Kendalanya, seperti yang pernah diungkapkan oleh seorang direkturnya saat curhat,
anggaran mereka seret. Dana APBN, APBD, dan yang lain yang disebutkan dalam Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016 tak mengucur seperti yang diharapkan.
Akibatnya, jangankan untuk membangun infrastruktur, menjalankan fungsi koordinator pun mereka kesulitan. Tak seperti yang digariskan dalam Peraturan Presiden, kenyataannya yang mereka urusi bukan seluruh kawasan Danau Toba (7 kabupaten yang mencakup 28 kecamatan).
Mereka cenderung berkosentrasi pada lahan konsesinya di kitaran Sibisa, Kecamatan Ajibata, yang berluas sekitar 500 hektar. Perubahan cakupan kawasan memang dimungkinkan oleh Peraturan Presiden. Tapi, ada syaratnya yaitu ditetapkan oleh presiden berdasarkan pengajuan Dewan Pengarah BODT.
Mungkinkah dengan maksud tertentu Dewan Pengarah BODT yang diketuai Menko Luhut Binsar Panjaitan telah mengutak-atik peruntukan sehingga tak
lagi mencakup seluruh kawasan Danau Toba? Entahlah.
Konflik Tanah
BODT sedang menghadirkan Toba Caldera Resort di Sibisa. Modelnya seperti yang di Nusa Dua, Bali. Unsurnya termasuk hotel, fasilitas untuk MICE (meetings, incentives,conventions and exhibitions), rumah sakit, dan yang lain. Untuk itu Kementerian AgrariaTata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah menerbitkan sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) seluas 279 hektare untuk BODT.
Sibisa serta-merta menjadi, meminjam istilah anak muda zaman sekarang, hive. Investor datang untuk berburu lahan di sekitarnya. Di antara mereka ada yang telah membeli puluhan hektar kalau bukan ratusan hektar.
Konflik dengan masyarakat kemudian terjadi. Pada Agustus 2020, misalnya, sejumlah warga Desa Pardamean, Sibisa, menolak untuk membongkar bangunannya di lahan yang sekarang telah menjadi bagian dari Zona Otorita Toba. Mereka menganggap tempat itu milik mereka sejak dulu.
Konflik agraria serupa juga terjadi di Motung yang berbataskan Sibisa. Namun, konfrontasi yang jauh lebih keras berlangsung di Desa Sigapiton yang terletak jauh di bawah Sibisa. Warga kampung yang terletak di bibir Danau Toba ini menghadang dan menghalau alat berat yang masuk ke sana pada 12 September 2019.
Dalam aksi unjuk rasa yang melibatkan sekitar 100 orang—kebanyakan perempuan—terjadi bentrokan. Sejumlah ibu-ibu dan nenek-nenek yang telanjang maju menghadapi aparat keamanan. Direkam lewat kamera video, adegan ini disebarluaskan termasuk melalui media sosial. Viral pun terjadi.
Kritik terhadap BPODT pun berpuncak. Banyak kalangan yang menuduh bahwa mereka cenderung jalan sendiri; tak sudi melibatkan warga sekitar
dalam perencanaan dan pewujudan konsep-konsepnya. BPODT yang kini telah dipimpin Jimmy Bernando Panjaitan jelas bermasalah. Mereka cuma berfokus di Sibisa, bukan di seluruh kawasan Danau Toba.

Lagi pula, tanah yang menjadi konsesinya sekarang, sekitar 500 hektar, masih belum clear and clean. Buktinya, penolakan atau gugatan dari masyarakat setempat bermunculan.
Konsesi yang di Sibisa diberikan oleh pemerintah berdasarkan instrumen hukum yang masih bermasalah. Tanah komunal masyarakat (ulayat) telah dikonversi menjadi hutan negara. Itulah yang diserahkan ke BPODT. Padahal aspek legal formalnya belum tuntas. Rakyat setempat pun menolak untuk angkat kaki dari sana. Buntutnya adalah kriminalisasi.
Dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang menuai kontroversi itu penderitaan para korban di masa mendatang sangat mungkin akan semakin bertambah. Jelas, Ini merupakan pelanggaran HAM yang serius. Keadaan Kawasan Danau Toba kian memprihatinkan saja seiring populasinya yang terus bertambah. Petani dan nelayannya pun bertambah termarginalisasi.
Tampaknya itulah antara lain penyebabnya sehingga Geopark Kaldera Danau Toba mendapat kartu kuning dari induknya, UNESCO Global Geopark. Dalam rapatnya di Maroko pada 4-5 September 2023, organisasi PBB itu mengancam akan mengeluarkan anggotanya tersebut kalau saja tak segera berbenah.
Hasil Evaluasi YPDT
Program pembangunan telah banyak dilakukan di kawasan Danau Toba selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, dengan pembantunya, putra Batak, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan. Pesatnya pembangunan infrastruktur, terutama untuk sarana dan prasarana transportasi, patut diapresiasi.
Sayangnya, aneka proyek ini baru sebatas menitikberatkan pembangunan fisik yang manfaatnya dirasakan sebagian orang saja; tidak menyentuh pembangunan sumber daya manusia yang menghadirkan rasa keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran.
Mencermati secara obyektif, faktual dan apa adanya, Yayasan Pencinta Danau Toba memberi catatan kritis terhadap berbagai aspek pembangunan selama sembilan tahun terakhir, sebagai berikut.
1. Infrastruktur Bagus
Konektvitas atau keterhubungan transportasi intra-pulau (dalam pulau) Sumatera maupun antar-pulau semakin bagus pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Manfaat atau faedah pembangunan ruas jalan tol-ruas jalan tol di Sumatera Utara, sebagai bagian Trans-Sumatera, sangat dirasakan masyarakat.
Dibangunnya infrastruktur jalan darat non-hambatan dari Medan ke Kota Tebingtinggi, berlanjut ke Sinaksak Kabupaten Simalungun, dan direncanakan sampai langsung ke titik kawasan Danau Toba, sangat menguntungkan bagi destinasi wisata super prioritas Danau Toba. Selama ini perjalanan Medan—Danau Toba yang berjarak kurang lebih 178 kilometer makan waktu waktu lebih dari 5 jam. Setelah adanya jalan tol, waktu tempuh menjadi
lebih singkat.
Jika jalan tol telah mengoneksikan seluruhnya cukup 2 jam saja. Pembangunan infrastruktur darat lainnya terlihat bagus di kawasan Danau Toba. Antara lain jalan lingkar Pulau Samosir.
Diikuti transportasi danau, melalui kapal penyeberangan dan dermaga dari dan ke Pulau Samosir. Untuk meningkatkan konektivitas antar-destinasi wisata, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melakukan preservasi dan pelebaran jalan lingkar Pulau Samosir sepanjang 145,9 kilometer, luas 7 meter dan bahu jalan 2 meter. Pemerintah juga telah meningkatkan sarana hunian pariwisata di Danau Toba.
Di antaranya pengadaan kapal penyeberangan jenis roll on roll off (RoRo) Kapal Feri KMP Ihan Batak, dermaga baru di Ambarita di Pulau Samosir dan Dermaga Ajibata (Kabupaten Toba).
Untuk pembangunan inftrastruktur jalan tol yang berkelanjutan yang menghubungkan kawasan Danau Toba dunia luar, kami sarankan agar dilaksanakan dengan tata kelola yang baik. Pembebasan lahan yang beririsan dengan tanah adat dan tanah leluhur, umpamanya, diselesaikan dengan solusi memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal.
2. Lingkungan Rusak
Bongkahan batu-batu gunung berukuran besar bertumpuk di depan pintu Gereja Katolik Stasi Santo Mikael Desa Simangulampe, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas). Banjir bandang mengepung gereja batu itu.
Gereja berdiri kokoh. Pemandangan sejenis, bebatuan menerjang bangunan hotel, di desa yang sama. Banjir bandang menerjang Simangulampe, pada 1 Desember 2023, kira-kira pukul 21.30 WBI malam. Saat itu, warga desa sebagian besar pulas tidur. Sebanyak 12 orang menjadi korban, baik meninggal maupun belum ditemukan sampai saat ini, akibat banjir bandang dari hutan yang diduga terjadi akibat penebangan kayu.
Saat pencarian 10 korban hilang masih berlangsung di Simangulampe, bencana tanah longsor terjadi di Simarhompa Kecamatan Sipahutar, Tapanuli Utara, pada Kamis 7 Desember 2023 sore.
Tiga minggu sebelumnya (pada 14 November 2023), warga Kenegerian Sihotang, Kecamatan Bakti Raja, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), juga dilanda banjir.
Empat titik yang terdampak di lembah Bakkara, yaitu Desa Marbun Tonga Dolok (Martodo), Desa Marbun Toruan, Desa Siunong-Unong Julu dan Desa Simamora. Sehari sebelumnya, 13 November 2023, banjir bandang meluluhlantakkan kenegerian Sihotang, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir.
Di tempat lain, bencana tanah longsor melanda Dolok Simarsolpah, Kabupaten Simalungun. Dua warga hilang saat memperbaiki sarana air minum, pada 16 Oktober 2023.
Sepanjang hampir 10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi kerap sekali terjadi bencana alam di seputar Danau Toba. Termasuk banjir yang menggegerkan Parapat pada Mei 2023.
Musibah terbaru terjadi pada (Rabu, 24/1/2024) malam. Banjir bandang menerjang kawasan Desa Tongging, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo. Para pengelola objek wisata di sekitar lokasi yang terdampak memilih tutup sementara waktu.
3. Kualitas Air Memburuk
Danau Toba merupakan bagian dari 5 destinasi pariwisata superprioritas di Indonesia. Beratus atau beribu tahun, keunggulan Danau Toba antara lain adalah keindahan dan kesejukan airnya, serta eksotik panorama lingkungan alam tropisnya.
Kini keindahan itu sirna. Sebenarnya, sudah bertahun-tahun lingkungan dan ekosistem Danau Toba rusak. Permasalahan di hilir, yakni di danau, kita bisa saksikan sendiri: airnya jorok. Penyebabnya limbah domestik maupun limbah keramba jaring apung (KJA) ikan baik milik rakyat maupun kepunyaan perusahaan raksasa multinasional seperti PT. Aquafarm Nusantara, PT Suri Tani Pemuka, dan yang lain.
KJA yang produksi ikannya sempat mencapai 30.000 ton per tahun tentu menjadi sumber cemaran utama. Untuk itu perlu penataan dan penertiban KJA yang berada di 7 kabupaten lingkar danau yaitu Toba, Samosir, Karo, Tapanuli Utara, Simalungun, Humbanghasundutan, dan Dairi.
Adapun di hulu, kita boleh saksikan bencana demi bencana alam banjir dan longsor saat musim hujan. Dan kekeringan saat kemarau. Sungguh mengherankan, hutan tropis mengelilingi Danau Toba ternyata tidak seimbang dan tidak mampu lagi menghasilkan air melimpah. Katakan untuk keperluan memutar turbin PLTA Sigura-gura, debit air kurang saat kemarau tahun 2021, sehingga harus dilakukan hujan buatan melalui rekayasa cuaca atau operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk menambah tinggi muka air (TMA) Danau Toba.
Perusakan hutan baik oleh perusahaan multinasional, seperti PT Toba Pulp Lestari, dan perusahaan penebang kayu lainnya sudah terbukti berkontribusi negatif dan buruk terhadap alam kawasan Danau Toba. Contoh konkrit, ketika PT TPL tidak beroperasi kurang lebih 8 bulan terakhir, dan debit hujan tinggi, maka air permukaan Danau Toba meninggi.
Padahal sudah belasan tahun, permukaan air danau cenderung menyusut sehingga berdampak pada munculnya daratan baru di tepian danau. Mengenai buruknya kualitas air Danau Toba, baik persoalan di hilir dan di hulu, sudah menjadi rahasia umum.
Pemerintah pun sudah tahu. Solusi pun kerap dilontarkan orang. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengakui sendiri bahwa sesuai hasil audit, Danau Toba mengalami kerusakan parah. Air di Danau Toba kotor.
"Ternyata Danau Toba itu kerusakannya sangat parah, jadi hanya 50 meter airnya punya oksigen, di bawahnya tidak oksigen. Tidak sehat sebetulnya itu harus dibersihkan. Keramba itu nggak bisa nggak, harus dibuang.
Kemudian ada peternakan babi, buang limbah ke situ nggak boleh. Terus rumah hotel. Karena kalau nggak, itu danau habis dan tujuan pariwisata tak tercapai," kata Luhut setelah bertemu perwakilan Bank Dunia di kantor di Jakarta, pada Senin 19 November 2018.
Masyarakat seputar Danau Toba pun, yang dimotori Togu Simorangkir, Anita Hutagalung, dan Irwandi Sirait dan ditopang oleh YPDT, telah mengadakan gerakan rakyat dengan berjalan kaki dari kawasan Danau Toba ke Jakarta.
Mereka menjumpai Presiden RI Joko Widodo pada 6 Agustus 2021 untuk mendesak penutupan operasional PT Toba Pulp Lestari. Banyak janji Presiden untuk Tano Batak saat itu, namun tidak ada mewujud sampai saat ini.
4. Proyek Food Estate
Proyek mercusuar lumbung pangan atau food estate Humbang Hasundutan gagal. Megaproyek ini masuk dalam daftar program strategis nasional (PSN) 2020-2024 pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Berlandaskan Peraturan Presiden Nomor 108 Tahun 2022 tentang Rencana Kerja Pemerintah tahun 2023 dan kemudian turun dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 9/2022, food estate ada di 4 provinsi yakni Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Dalam perencanaan awalnya, biaya lumbung pangan sebagai proyek strategis nasional itu memiliki anggaran Rp 1,9 triliun pada 2020-2021. Pada 2022 menjadi Rp 4,1 triliun.
Food estate yang di Kabupaten Humbang Hasundutan terletak di Desa Siria-ria, Kecamatan Pollung. Pembukaan 215 lahan baru mulai pada Agustus 2020. Ditanami sejak 2022, fokusnya adalah bawang merah, bawang putih, kentang, kubis, dan cabai. Pada Juni 2023, total akumulasi luas tanamnya telah mencapai 482,84 hektar.
Dari 215 hektare lahan foot estate yang dibuka, 146 hektar menurut Kementerian Pertanian berhasil ditanami masyarakat. Data Pemerintah Daerah Kabupaten Humbahas menyebut total produksi food estate Kabupaten Humbang Hasundutan berupa 392 ton kentang, 165 ton bawang merah, 294 ton kubis, 271 ton cabai, 93 ton jagung, 26 ton tomat, dan 13 ton bawang putih.
Nyatanya, proyek lumbung pangan di Kabupaten Humbang Hasundutan ini terbengkalai dan ditinggalkan para petani. Menurt pengamatan media massa
Tempo, 30 Januari 2023, separuh lahan ini menjadi terlantar dan menjadi semak belukar.
Irma Suryani Lumban Gaol, seorang petani food estate yang ikut sejak penanaman tahap awal pada 2020 menuturkan, sebagian besar lahan tersebut ditinggalkan para petani lantaran mereka tak sanggup lagi menanam usai gagal panen.
Untuk komoditas kentang, beberapa petani berhasil panen, namun modal yang dibutuhkan mencapai Rp 140 juta per hektar. Dari mana petani kecil dan rakyat biasa memperoleh modal sebesar itu?
Proyek food estate menghamburkan ratusan miliar dana negara. Berdasarkan data hingga 2023, proyek pembangunan sarana dan prasarana terkait food estate Humbang Hasundutan telah menelan biaya ratusan miliar.
Rinciannya? Rp 144,4 miliar untuk pembangunan jaringan perpipaan air baku, Rp 7,5 miliar untuk pembangunan penyediaan air baku Taman Sains Teknologi Herbal dan Hortikultura (TSTH2) Pollung.Pengadaan konektivitas jalan Rp 90,4 miliar melalui APBN TA 2021-2023.
Sangat disayangkan, proyek ambisius ini gagal. Sama halnya dengan food estate di Kalimantan Tengah yang ditangani Kementerian Pertahananan pimpinan Prabowo Subianto. Berbagai pihak, termasuk GreenPeace, Walhi, LBH Kalimantan Tengah, dan Save Our Borneo, menemukan bahwa proyek ini gagal total. Semula ditanami singkong, tiba-tiba menjadi jagung dalam media polybag.
Gagalnya lumbung pangan Humbang Hasundutan diduga akibat tata kelola yang kurang baik. Semula dikelola oleh Kementerian Pertanian (Kementan), kemudian beralih ke Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan.
Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan) Prihasto Setyanto mengatakan, keterlibatan Kementan dalam proyek tersebut dimulai sejak perencanaan disain kawasan, pembukaan lahan, penanaman hingga Musim Tanam (MT) 1, dan peningkatan kapasitas SDM petani yang tengah berlangsung dari September 2020 hingga April 2021.
Kemudian dialihkan ke Kemenko Marves sebagai tim pengelola operasional lapangan dan Bupati Humbahas sebagai penanggung jawab sejak 2021.
Menko Marves menerbitkan surat nomor B-1856/Menko/Marves/AJ.00/IV/2021 per 28 April 2021. Pengelolaan kawasan food estate Humbahas dilaksanakan tim transisi yang dipimpin Bupati Humbahas Dosmar Banjarnahor sebagai Penanggung Jawab Pengembangan. Pengelolaannya di bawah arahan Tenaga Ahli Menko Marves Van Basten Pandjaitan sebagai Manajer Lapangan. Tata kelola tidak baik. Patut diduga, menunjuk staf satu marga, adalah bagian dari praktik nepotisme dan oligarki.
RAPOR MERAH
Sesuai uraian di atas, Yayasan Pencinta Danau Toba memberi rapor merah dengan nilai 2,75 (skor 1 sampai 10) kepada Presiden Jokowi dan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Adapun rincian skor adalah:
1) Aspek Infrastruktur = nilai 8
2) Proyek Food Estate = nilai 0
3) Lingkungan Rusak: Bencana Banjir dan Longsor: Nilai 1
4) Kualitas Air Danau Toba = nilai 2
Catatan ihwal sistem skor
YPDT menggunakan parameter untuk mengukur kinerja pembangunan di kawasan
Danau Toba, dengan interval nilai 1 terendah sampai 10 nilai tertinggi, berdasarkan
beberapa parameter sebagai berikut:
1) Pembangunan berkelanjutan Sustainable Development Goals (SDGs)
Sebagaimana kita ketahui, terdapat 17 indikator terlaksananya tujuan pembangunan berkelanjutan Sustainable Development Goals (SDGs) yakni, tanpa kemiskinan; tanpa kelaparan; kehidupan sehat dan sejahtera; pendidikan berkualitas; kesetaraan gender; air bersih dan sanitasi layak; energi bersih dan terjangkau; pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi; industri inovasi dan infrastruktur; berkurangnya kesenjangan; kota dan permukiman berkelanjutan; konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab; penanganan perubahan iklim; ekosistem laut; ekosistem daratan; perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh; kemitraan mencapai tujuan.
2. Indikator-indikator keberhasilan pembangunan
- Pertumbuhan Ekonomi
- Indeks Gini (gini ratio)
- Indeks kualitas hidup secara fisik (PQLI)
- Pembangunan berkelanjutan
- Indeks kekayaan Inklusif (Wealth Index Inclusive) dengan prasyarat adanya Stabilitas Nasional (tidak terjadi kerusuhan sosial)
3. Tata kelola pemerintahan yang baik
Berdasarkan pengalaman empiris para pengurus, anggota dan simpatisan Yayasan Pencinta Danau Toba, serta informasi dari masyarakat, mengenai tata kelola pemerintahan di Kawasan Danau Toba. Prinsip Good Corporate Governance (GCG)
yakni transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, kemandirian dan adil.
4. Pembangunan yang inklusif Pembangunan seyogianya sebagai proses mendorong perbaikan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas –tidak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari sisi sosial, politik, dan kesehatan.
Dengan demikian pembangunan inklusif dengan prinsip keadilan yang difokuskan dalam mengentaskan kemiskinan. Pembangunan inklusif mewajibkan dan melibatkan seluruh aspek masyarakat berkontribusi dalam proses
pembangunan.
Topik:
Jokowi Joko Widodo Danau Toba Toba Samosir Yayasan Pencinta Danau TobaBerita Sebelumnya
Belajar Sejarah Tambang di Museum Timah Indonesia
Berita Selanjutnya
Jus, Jurnalis Tangguh yang Berhenti Menulis
Berita Terkait

Seruan Terbuka untuk Bupati Simalungun dan Gubernur Sumut soal Banjir di Parapat
12 jam yang lalu

Jokowi Diduga Halangi Audit Forensik Petral Dibawa ke KPK, 6 Tahun Penyidikan Tak Tuntas!
17 Maret 2025 15:14 WIB

Respons Bantahan Jokowi Soal Utusan ke PDIP, Deddy: Bisa Saya Kasih Tahu Sambil Ngopi
16 Maret 2025 11:54 WIB

Setelah TOBA, Bambang Brodjonegoro Mengundurkan Diri dari Komisaris Bukalapak (BUKA)
14 Maret 2025 12:11 WIB