Bagaimana Hubungan Stres dan Covid-19?

Nicolas
Nicolas
Diperbarui 8 Januari 2022 19:35 WIB
Jakarta, Monitorindonesia.com - Bagaimana hubungan stres dengan pandemi Covid-19? Dalam dua tahun terakhir, stres tidak bisa lepas dari kehidupan manusia, termasuk salah satunya akibat wabah Covid-19. Stres akibat keluarga yang sakit parah, tingginya biaya perawatan penyakit hingga kekhawatiran tentang kehilangan pendapatan dan frustrasi akibat terputusnya hubungan silturahmi, merupakan contoh nyata. Belum lagi stres akibat munculnya varian baru Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda akan hilang. Sebuah survei di Amerika Serikat (AS) baru-baru ini melaporkan, bahwa 55 persen populasi umumnya merasakan peningkatan stres selama pandemi. Sedangkan, di kalangan mahasiswa terjadi peningkatan depresi dan kecemasan terkait pandemi. Pada sisi lain, banyak yang mengakui terjadinya penurunan kesehatan mental sejak awal 2020. Hal yang sebagian besar tidak diungkapkan adalah bagaimana perasaan stres tersebut dikaitkan dengan kemungkinan Anda mengalami sakit. Bagaimana hubungan stres dan Anda sakit? Mungkin Anda pernah mendengar sebelumnya bahwa stres itu buruk, tetapi mungkin Anda tidak mengerti persis bagaimana stres itu memengaruhi kesehatan. Merusak Para peneliti telah mempelajari mekanisme bagaimana hal itu bekerja selama beberapa dekade. Kumpulan bukti menunjukkan bahwa stres dapat menyebabkan perubahan yang merusak pada sistem kekebalan tubuh, baik pada manusia maupun hewan. Salah satu faktor terpenting yang memprediksi siapa yang sakit, dan siapa yang tetap sehat adalah stres kejiwaan yang berkepanjangan. Psikolog Sheldon Cohen dan rekan-rekannya telah melakukan penelitian pada sejumlah orang seperti dikutip ChannelNewsAsia.com, Sabtu (8/1/2021). Cohen meneliti beberapa orang sehat yang kemudian diberi tetesan virus ke hidung mereka. Peserta kemudian dikarantina di hotel dan dipantau secara ketat untuk menentukan siapa yang sakit dan siapa yang tidak. Salah satu faktor terpenting yang memprediksi siapa yang sakit, dan siapa yang tetap sehat adalah stres kejiwaan yang berkepanjangan. Individu dengan stresor (fakfor penyebab stres) yang bertahan selama enam bulan hingga dua tahun atau hampir sepanjang masa pandemi sejauh ini, menunjukkan hampir tiga kali lebih mungkin menjadi sakit akibat infeksi dibandingkan mereka yang tidak stres. Fenomena ini secara khusus didorong oleh stresor yang umum saat ini, termasuk pengangguran dan persoalan rumit dalam waktu panjang dengan keluarga atau teman. Tapi, jangan terlalu berkecil hati. Satu fakta penting yang sering terlewatkan dalam penelitian adalah bahwa, sekalipun virus dimasukkan ke dalam hidung, Anda belum tentu sakit. Faktanya, sebanyak sepertiga dari peserta tahan terhadap virus yang diketahui membuat kita sakit parah termasuk virus flu, bahkan Virus Corona. Siapa sajakah orang-orang yang cenderung tidak sakit ini?  Dalam artikel baru-baru ini, Cohen menjelaskan bahwa, meskipun virus Corona belum dipelajari sebanyak gangguan kesehatan pilek dan flu, ada alasan untuk percaya bahwa beberapa faktor pelindung yang sama akan relevan untuk tingkat keparahan infeksi virus Corona atau resistensi terhadapnya. Pelindung Terbesar Faktor pelindung terbesar adalah termasuk merasa memiliki hubungan sosial dan dapat dukungan dari orang dekat, selain mendapatkan setidaknya tujuh jam tidur setiap malam. Penelitian selama bertahun-tahun juga menunjukkan berulang kali bahwa faktor-faktor seperti stres yang lebih rendah dan tingkat emosi positif yang lebih tinggi juga merupakan kunci untuk terlindung dari penyakit. Bagaimana stres atau pengalaman hidup yang penuh tekanan mempengaruhi kita untuk mengubah kemungkinan kita jatuh sakit? Salah satu faktor utamanya ternyata adalah peradangan. Peradangan berfungsi memindahkan sel-sel kekebalan tubuh yang penting dalam tubuh, sehingga sel-sel yang tepat hadir di lokasi yang tepat pada waktu yang tepat dan pada tingkat yang tepat. Ketika stres tinggi dan berlangsung lama, hormon dalam tubuh menjadi tidak seimbang, mengarah ke tingkat peradangan yang lebih tinggi dari biasanya dan merugikan kesehatan. Banyak kondisi terkait gejala Covid-19 yang parah hingga mejalani rawat inap dikaitkan dengan tingkat stres dan peradangan yang lebih tinggi sebagaimana penyakit jantung, diabetes, dan obesitas. Bahkan Covid-19 mengaktifkan peradangan dengan cara yang sama seperti stres kronis dan menghasilkan "badai sitokin". Ini mungkin sebagian karena aktivitas hormon stres seperti kortisol, yang dinyatakan tinggi pada kasus Covid-19 paling parah, termasuk meningkatkan risiko kematian. Stres dan ketenangan perlu diperhatikan, terutama selama masa pemulihan tingkat infeksi Covid-19 dan varian baru di seluruh dunia. Memiliki sistem kekebalan yang berfungsi optimal tidak begitu penting. Bahkan jika Anda cukup beruntung tinggal di suatu tempat dengan tingkat Covid-19 rendah atau jika telah divaksinasi, ternyata stres, kesepian, dan fenomena terkait peradangan juga kunci penentu sebaik apa tubuh merespons vaksinasi. Begitu juga dengan seberapa banyak antibodi pelindung yang Anda hasilkan sebagai respons terhadap vaksin. Hal ini memberi kita alasan lain untuk fokus pada kesehatan, termasuk kesehatan mental. Tetaplah berhubungan sosial, meskipun harus secara virtual. Fokus pada apa yang bisa Anda kendalikan daripada apa yang tidak bisa dikendalikan. Luangkan waktu setiap hari untuk melakukan sesuatu yang membuat bahagia. Istirahat dan jangan lupa prioritaskan tidur dan olahraga. Ingat pikiran Anda mempengaruhi tubuh terutama terkait Covid-19. Pada akhirnya, disimpulkan bahwa menjaga kesehatan dengan memperhatikan tingkat stres menjadi sangat penting.[MI/HS]