Sri Mulyani Saksi Kunci Korupsi DID Tabanan, KP3I: KPK Kehilangan Nyali

Nicolas
Nicolas
Diperbarui 26 Oktober 2022 08:39 WIB
Jakarta, MI - Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3-I) Tom Pasaribu menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bernyali untuk memeriksa pegawai BPK RI Sri Mulyani. Sebab, KPK hingga saat ini tak kunjung memeriksa Sri Mulyani padahal terduga koruptor Dana Insentif Desa (DID) Tabanan, Bali itu kini bertugas di gedung BPK RI Jl Gatot Subroto, Jakarta. "Sampai saat ini KPK tidak memiliki nyali untuk memeriksa Sri Mulyani. Dengan sengaja KPK melayangkan surat ke alamat Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), agar KPK memiliki alasan tidak mengetahui keberadaan Sri Mulyani sebagai saksi kunci keterlibatan oknum di BPK di kasus Tabanan Bali," tegas Tom Pasaribu kepada Monitor Indonesia di Jakarta, Rabu (26/10). Tom bahkan menyatakan, dirinya sudah secara sukarela memberitahukan keberadaan Sri Mulyani yang sudah pindah ke kantor Pusat BPK RI tanpa menuntut imbalan apapun. Namun sampai saat ini KPK tidak menindaklanjuti kasus tersebut. Anehnya dalam penuntasan dugaan kasus korupsi Gubernur Papua Lukas Enembe segala cara bisa dilakukan KPK. Bahkan, foto Enembe yang sedang dimeja judi pun dapat diumbar KPK ke publik. "Kenapa dalam penuntasan kasus korupsi DID Bali melempem sementara dalam menuntaskan kasus dugaan korupsi Enembe KPK bersemangat? Apa karena uang anggaran DID sudah habis, atau takut terhadap oknum di BPK. Sementara dugaan kasus korupsi gubernur Papua uangnya belum tersentuh, atau kasus tersebut karena interpensi politik, atau pengalihan opini?" tanya dia. Hingga kini, KPK masih bungkam terkait perkembangan kasus dugaan korupsi pengurusan DID Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan, Bali yang diduga melibatkan pegawai BPK. Tak hanya itu, lembaga antirasuah itu juga dinilai seolah-olah tidak berani memanggil Sri Mulyani yang saat ini berstatus sebagai pegawai BPK RI. Padahal dalam persidangan, Bupati Tabanan pernah menyebutkan bahwa dalam kasus itu ada dugaan keterlibatan pegawai BPK RI itu. Atas hal inilah, publik meragukan keberanian KPK untuk melanjutkan kasus ini dan memanggil Sri Mulyani karena hingga saat ini KPK terbukti belum pernah memanggil pegawai BPK RI itu. Salah Panggil Saksi? Sebelumnya, KPK melayangkan surat pemanggilan terhadap saksi Sri Mulyani pada Selasa (17/5/2022), namun dia tidak memenuhi panggilan tersebut. KPK mengklaim bahwa ternyata ada kekeliruan dalam surat tersebut dan salah memanggil saksi, sehingga akan mencari keterangan dari pihak lain. Dalam surat itu KPK menyatakan panggilan atas nama Sri Mulyani bukan berprofesi ASN di IPDN. “Yang bersangkutan tidak hadir dan informasi yang kami terima, terdapat kekeliruan, yaitu nama saksi yang dibutuhkan penyidikan dimaksud bukan berprofesi ASN pada IPDN,” kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (18/5/2022). Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan mantan Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti sebagai tersangka. Selain Eka Wiryastuti, mantan staf ahli Bupati Tabanan Dewa Nyoman Wiratmaja dan mantan Kepala Seksi Dana Alokasi Khusus Fisik II Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Rifa Surya ikut dijadikan tersangka. Ni Putu Eka Wiryastuti dan I Dewa Nyoman Wiratmaja merupakan pemberi suap, sedangkan penerima suap adalah Rifa Surya. Eka Wiryastuti yang menjabat Bupati Tabanan dua periode dalam melaksanakan tugasnya mengangkat tersangka I Dewa Nyoman Wiratmaja sebagai staf khusus bidang ekonomi dan pembangunan. Sekitar Agustus 2017, mantan Bupati Eka Wiryastuti berinisiatif mengajukan permohonan DID dari Pemerintah Pusat senilai Rp 65 miliar. Untuk merealisasikan keinginan tersebut, Eka Wiryastuti memerintahkan I Dewa Nyoman Wiratmaja untuk menyiapkan seluruh kelengkapan administrasi permohonan pengajuan dana DID dimaksud. Selain itu, I Dewa Nyoman Wiratmaja juga diperintahkan untuk menemui dan berkomunikasi dengan beberapa pihak yang dapat memuluskan realisasi usulan tersebut. Pihak-pihak yang ditemui I Dewa Nyoman Wiratmaja itu adalah Yaya Purnomo dan tersangka Rifa Surya yang diduga berwenang mengawal usulan DID untuk Kabupaten Tabanan pada 2018. KPK menduga, Yaya Purnomo dan Rifa mengajukan syarat khusus untuk mengawal usulan dana DID pada I Dewa Nyoman Wiratmaja dengan meminta sejumlah uang sebagai fee dengan istilah ‘dana adat istiadat’. Permintaan tersebut lalu diteruskan I Dewa Nyoman kepada Ni Putu Eka Wiryastuti sehingga diperoleh persetujuan. KPK menduga nilai fee yang ditentukan oleh Yaya Purnomo dan Rifa Surya sebesar 2,5 persen dari alokasi DID yang nantinya akan didapat Kabupaten Tabanan Tahun Anggaran 2018. Sekitar Agustus-Desember 2017, KPK menduga terjadi penyerahan uang fee berkisar sebesar Rp 600 juta dan 55.300 dolar AS (setara Rp 809 juta), yang dilakukan secara bertahap dari I Dewa Nyoman kepada Yaya Purnomo dan Rifa Surya di salah satu hotel di Jakarta. Atas perbuatannya, Ni Putu Eka Wiryastuti dan I Dewa Nyoman Wiratmaja sebagai pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Sedangkan Rifa Surya sebagai pihak penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.[Lin]