Bergunakah Amicus Curiae Richard Eliezer?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 12 Februari 2023 19:58 WIB
Jakarta, MI - Aliansi Akademisi Indonesia menyampaikan Amicus Curiae ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Senin 6 Februari 2023 lalu yang ditanda tangani 122 orang. Akademisi seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia memberikan Amicus Curiae secara tertulis sebagai Sahabat Pengadilan untuk terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiau (Bharada E/Bhayangkara Dua/Prajurit Dua) Eliezer dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Pada Rabu 8 Februari 2023 Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta juga mengajukan Amicus Curiae. Alasan utama membela terdakwa Richard Elizer adalah: 1. Richard Eliezer Pudihang  Lumiu adalah saksi pelaku (justice collaborator) yaang rela menanggung resiko mengungkap terbongkarnya kasus pembunuhan Brigadir Yosua di Duren Tiga 46 Jakarta Selatan tanggal 8  Juli 2022 dan terdakwa memenuhi syarat sebagai justice collaborator berdasarkan UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan dibawah lindungan negara (yang bertanggung jawab Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/LPSK). 2. Ada relasi kuasa yang timpang dalam hubungan antara Elizer dan atasannya, sehingga perintahnya sukar ditolak dan bila dibantah tentu saja ada sanksinya. Jenderal Bintang Dua perintahkan Prajurit Dua/pangkat terendah yang harus patuh perintah tanpa perlu minta penjelasan dan pertimbangan dalam sistem Komando/Paramiliter. 3. Mendukung Eliezer yang jujur berarti juga terungkapnya keadilan bagi korban dan keluarganya dan membela masyarakat bawah (Aparat Penegak Hukum Tidak Boleh Tajam ke Bawah Tapi Tumpul ke Atas) 4. Pentingnya Reformasi Tubuh Institusi Kepolisian  dan bersih-bersih dalam mencegah penyalahgunaan kekuasaan seorang atasan dalam tatakelola organisasi Polri dan basmi hidup hedonisme sosialitas keluarga anggota Polri. 5. Kejujuran dan keberanian adalah akses keadilan bagi semua dan harus dilindungi. Amicus Curiae bersifat memberikan masukan kepada majelis hakim rasa keadilan masyarakat sedangkan eksaminasi bersifat menguji keputusan hakim salah atau merusak keadilan masyarakat. Hakim bersifat independen dan tidak boleh hanya bersifat normatif saja. Putusan hakim memang tidak bisa diintervensi dan merdeka, tetapi juga putusan Hakim tidak boleh dianggap salah, bila dianggap salah diperbaiki oleh putusan pengadilan yang diatasnya, harus ada upaya hukum, tetapi hakim adalah wakil Tuhan mungkin lebih mulia dari pada pemimpin negara maupun pemimpin umat beragama sekalipun. Jadi tanggung jawab atas segala putusan hakim menjadi tanggung jawab dia kepada masyarakat dan penciptanya. Amicus Curiae merupakan partisipasi masyarakat yang pendapatnya dapat diterima dan dipertimbangkan oleh majelis hakim sebelum putusan sesuai UU No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman, bahwa Peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan UUD Negara RI Tahun 1945 dan Pancasila. Dalam UU hakim harus berkeyakinan memutuskan perkara berdasarkan pembuktian dan nilai-nilai keadilan masyarakat seusi pasal 10 ayat (1) jo pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Amicus Curiae adalah opini bukan perlawanan masyarakat dan pendapat ilmiah para akademisi dan para pakar/spesialis. Amicus Curiae ditunjang Peraturan Mahkamah Konstitusi No.06/PMK/2005 tentang Pedoman beracara terhadap Pengujian pasal 14 ayat (4) jo pasal 5 ayat (1) UU No.48 tahun 2009. Amicus Curiae bukan hal intervensi para pihak diluar pengadilan tetapi peran serta masyarakat dan akademisi membantu para hakim menggali nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan rasa keadilan masyarakat  maupun mengenalkan kebiasaan masyarakat adat setempat kepada majelis hakim dalam perkara yang bersangkutan sesuai pasal 180 ayat (1) KUHAP UU No.8 tahun 1981. Kategori Amicus Curiae adalah: 1.Mengajukan ijin/permohonan untuk menjadi pihak yang berkepentingan dalam persidangan. 2.Memberikan pendapat atas permintaan hakim. 3.Memberikan informasi atau pendapat atas perkara orang lain yang terkait langsung maupun tidak langsung. Jika dilihat dari teori praktek pemeriksaan peradilan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan amicus curiae dalam sisitem hukum Indonesia dalam perkara pidana banyak digunakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO) dalam bidang Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memberikan pembelaan bagi para terdakwa menuntut keadilan mengenai fakta-fakta hukum  berkaitan dalam perkara pidana  yang dimaksud dalam bentuk surat /pernyataan baik secara tertulis (brief) maupun lisan ke Pengadilan. Keberhasilan Amicus Curiae adalah dalam perkara pidana di PN Tangerang Banten No.1269/Pid.B/2009/PN. Tgr dalam kasus terdakwa Prita Mulyasari dalam kasus pencemaran nama baik RS Omni Internasional di Alam Sutera Serpong Tangerang yang diduga melanggar pasal 27 ayat (3) UU No.11 tahun 2008 tentang ITE, pasal 310 KUHP dan pasal 311 KUHP. Saat itu Amicus Curiae diajukan oleh LSM, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum Dan HAM Indonesia (PBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Instute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN) dimana akhirnya terdakwa Dibebaskan oleh Majelis Hakim PN Tangerang yang  terdiri dari Arthur Hangewa, Viktor Pakpahan, dan Perdana Ginting. Dalam menggunakan Amicus Curiae dalam pembuktian perkara pidana di pengadilan hakim dapat menerapkan pembuktian Teori Conviction Rasionee yakni sistem pembuktian atas keyakinan hakim yang bersifat rasional yang dapat diterima oleh akal pikiran sesuai pasal 183 KUHAP UU No.8 Tahun 1981. Amicus Curiae tercatat dalam perkara: 1.Kasus Pengajuan Kembali (PK) Majalah Time vs Soeharto di Mahkamah Agung. 2.Kasus terdakwa Upi Asmardhana di PN Maksassar Sulawesi Selatan. 3.Kasus PK Praperadilan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) terdakwa Bibit Samad Rianto dengan Chandra Hamzah (Wakil Ketua KPK). 4.Kasus terdakwa Prita Mulyasari di PN Tangerang  Banten. 5.Kasus terdakwa Anwar sadat (aktivis Walhi Sumsel) di PN Palembang Sumatra Selatan. 6.Kasus pembunuhan Indra Pelani di PN Jambi September tahun 2015. 7.Kasus kriminalisasi aktivis lingkungan Heri Budiawan (Budi Pego) di PN Banyuwangi Jawa Timur bulan  Januari 2018. 8.Kasus terdakwa Alnody Bahari alias Ngawur Parmana di PN. Pandeglang Banten April 2018. 9.Kasus terdakwa Kennedy Jennifer dalam dugaan penyalahgunaan data pribadi berdampak kekerasan seksual berbasis daring di PN Jakarta Pusat bulan Mei 2019. 10.Kasus terdakwa Saiful Mahdi di PN Banda Aceh tahun 2019. 11.Perkara Internet Shutdown (Pemblokiran Sinyal Provinder Internet Lokal oleh Negara) di Propinsi Papua dan Papua Barat di Perkara Gugatan TUN terhadap Kemeninfo RI dan Presiden  RI di PTUN Jakarta Tahun 2019. Dasar hukum pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman dan pasal 19 UU No.12 Tahun 2005 tetntang Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik serta Ketetapan MPR Tap No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Sedangkan perbedaannya dengan eksaminasi publik atau eksaminasi hukum adalah suatu pengujian dan melakukan penilaian dan kajian terhadap suatu Putusan Pengadilan yang lahir dari lembaga Peradilan karena dianggap tidak memenuhi unsur keadilan dan tidak taat hukum serta mengawasi peradilan membantu upaya lembaga resmi sesuai UU di mana ada lembaga Badan Pengawas Mahkamah Agung, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial & Komisi Ombudsman Nasional. Jadi Amicus Curiae adalah sebelum Putusan Pengadilan dan eksaminasi adalah setelah Putusan Pengadilan. Lantas, apakah amicus curiae berpengaruh pada putusan hakim nanti terhadap terdakwa Richard Eliezer? Menurut kriminolog Universitas Indonesia (UI) sebenarnya hal ini merupakan bentuk dukungan yang sangat positif untuk terdakwa Richard Eliezer yang telah dituntut 12 tahun penjara yang sebentar lagi akan menjalani sidang putusan (vonis) yakni pada hari Rabu (15/2) mendatang. "Mereka ini mendukung berjalannya persidangan sehingga independensi hakim tetap terjaga, agar putusan majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN) benar-benar memberikan rasa keadilan terhadap semua pihak," kata Kurnia saat dihubungi Monitor Indonesia, Minggu (12/2). Kurnia meyakinkan bahwa, Richard Eliezer bakal mendapatkan hukuman yang lebih ringan, jika mungkin saja dibebaskan. "Bisa saja begitu, secara dia juga adalah salah satunya terdakwa yang mendapatkan justice collaborator (JC) dari LPSK, yang seharusnya ini jadi pertimbangan majelis hakim," jelasnya. (La Aswan)