Banyak Pasal Pidana dalam UU Pemilu, Puadi Nilai Jadi Problematik

Akbar Budi Prasetia
Akbar Budi Prasetia
Diperbarui 20 Juni 2023 17:43 WIB
Jakarta, MI - Anggota Bawaslu RI, Puadi menilai banyaknya pasal pidana dalam Undang- Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang bisa multitafsir dan tidak aplikatif, jadi salah satu problematika dalam menangani tindak pidana pemilu. Dia menyampaikan itu kala menjadi narasumber di Forum Koordinasi Sentra Gakkumdu, Selasa (20/6/2023) di Balikpapan, Kalimantan Timur. "Banyaknya norma pidana dalam UU Pemilu, mengindikasikan bahwa pembuat kebijakan lebih mengutamakan penanganan pidana (premium remedium) sebagai cara menanggulangi ketidakberesan dalam penyelenggaraan pemilu, " kata Puadi. Padahal menurutnya, penerapan sanksi administratif dan etik pada kasus-kasus tertentu bisa lebih efektif daripada mengunakan sanksi pidana. Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Data Informasi Bawaslu tersebut mencontohkan, ada PPS (Panitia Pemungutan Suara) yang tidak mengumumkan DPS (daftar pemilih sementara) sesuai Pasal 489 UU Pemilu atau kampanye di luar jadwal yang diatur Pasal 492 UU Pemilu. "Sanksi pidana seharusnya menjadi langkah terakhir (ultimum remedium) apabila sanksi administratif maupun etik sudah diterapkan, namun perbuatan kembali terulang," ungkap dia. Selain itu dia menambahkan, meski banyak pasal pidana dalam UU Pemilu 7/2017, akan tetapi, tren pelanggaran dalam pemilu atau pemilihan (pilkada) selalu berulang. Dirinya mencontohkan pelanggaran tersebut di antaranya politik uang, kepala desa yang tidak netral, atau mencoblos lebih dari sekali. "Hal ini mengindikasikan bahwa pendekatan pidana kurang efektif," tegasnya. Sekadar informasi, acara yang dibuka oleh Menkopolhukam Mahfud MD tersebut diselenggarakan dengan tujuan untuk mengkoordinasikan lembaga penegak hukum dalam penanganan perkara tindak pidana guna mendukung kerja Sentra Gakkumdu baik secara formil maupun materiil.         #Banyak Pasal Pidana dalam UU Pemilu Jadi Problematik