Kasus Kabasarnas: Antara Peradilan Militer dan Umum

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 3 Agustus 2023 11:40 WIB
Jakarta, MI - Usulan revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali bergulir setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta maaf dan menyerahkan Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas) Marsdya TNI Henri Alfiandi serta Letkol TNI Afri Budi Cahyanto kepada Puspom TNI pasca operasi tangkap tangan (OTT) kasus dugaan korupsi di Basarnas. Kasus dugaan korupsi yang melibatkan dua oknum anggota TNI ini tentunya menyiratkan banyak persoalan yang harus diperbaiki, mulai dari persoalan penempatan perwira TNI aktif pada jabatan sipil hingga belum dijalankannya revisi UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang dianggap mendorong terjadinya polemik KPK dan Puspom TNI dalam penanganan kasus tersebut. Sikap Puspom TNI mengacu pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang mengatur bahwa pihak yang berwenang mengusut kasus hukum prajurit aktif hanyalah oditur militer, walaupun tindak pidana itu dilakukan di ranah sipil. Tetapi, jika merujuk pada Pasal 47 ayat (3) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) mengatur prajurit aktif yang duduk di beberapa lembaga sipil yang diperbolehkan, termasuk Basarnas, harus tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan itu. Kemudian Pasal 65 ayat (2) UU TNI turut menegaskan bahwa prajurit hanya tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan harus dibawa ke peradilan umum jika melakukan tindak pidana umum. Sementara dalam Pasal 42 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan bahwa KPK adalah pihak yang berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah buka suara soal ini. Menurut Jokowi polemik itu tidak akan muncul jika ada koordinasi di antara dua lembaga tersebut. "Sudah, kalau itu dilakukan (koordinasi), rampung," kata Jokowi usai meresmikan sodetan Sungai Ciliwung-Kanal Banjir Timur di Jakarta Timur, Senin (31/7). Jokowi juga berjanji akan mengevaluasi penempatan perwira tinggi di lembaga sipil buntut kasus di Basarnas tersebut. Jokowi mengatakan, evalusi secara menyeluruh akan dilakukan agar tidak ada lagi praktik penyelewengan dan korupsi di lembaga-lembaga strategis. "Semuanya akan dievaluasi, tidak hanya masalah itu (penempatan perwira tinggi TNI di lembaga sipil)," kata mantan Wali Kota Solo tersebut. Jokowi mengatakan, evalusi secara menyeluruh akan dilakukan agar tidak ada lagi praktik penyelewengan dan korupsi di lembaga-lembaga strategis. "Semuanya (akan dievaluasi), karena kita tidak mau lagi di tempat-tempat yang sangat penting terjadi penyelewengan, terjadi korupsi," ungkapnya. Danpuspom TNI Marsda Agung Handoko mengatakan Henri bakal diadili di peradilan militer. Agung menyebut saat peristiwa terjadi, Henri masih tercatat sebagai perwira aktif TNI. [caption id="attachment_557521" align="alignnone" width="668"] Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri bersama Danpuspom TNI Marsda Agung Handoko menggelar konpers terkait OTT Basarnas, Senin (31/7) (Foto: MI/Aswan)[/caption] "Pertama, saya jawab, bahwa kita melaksanakan proses pemeriksaan ini menganut asas tempus delicti. Jadi waktu kejadian pada saat dilakukan oleh HA ini saat beliau masih aktif menjadi prajurit TNI. Jadi proses hukumnya masuk dalam kompetensi peradilan militer," ujar Agung dalam jumpa pers yang digelar di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (31/7). Supervisi KPK terhambat dalam upaya pemberantasan korupsi bila menghadapi tindak pidana korupsi dilakukan oleh anggota TNI sekalipun itu OTT. “Karenanya sekat batasan regulasi ini perlu direvisi termasuk diperlukan kesepahaman serta koordinasi supervisi antara KPK dan Polisi Militer (POM) TNI yang lebih konkrit dan dapat dioperasionalkan yang semestinya masing-masing lembaga wajib fokus pada tujuan kepentingan nasional, termasuk menjaga tujuan Undang undang tindak pidana korupsi,” kata Azmi kepada Monitorindonesia.com, kemarin. “Serta melihat karakteristik perbuatan pelaku yang dilakukannya nyata menyalahgunakan jabatan dan merugikan keuangan negara sehingga mengesampingkan ego sektoral,” tambah Azmi. Karena ada ketentuan khusus dan limitatif kompetensi payung hukumnya yang melekat bagi prajurit aktif wajib diproses secara militer. Yaitu mekanisme peradilan bagi prajurit ini diatur dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer termasuk Undang undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam regulasi ini diatur soal pejabat yang memiliki wewenang khusus dalam menyelidiki kasus yang melibatkan prajurit adalah ankum (atasan yang berhak menghukum), Polisi Militer, dan/atau Oditur Militer. [caption id="attachment_555707" align="alignnone" width="901"] Pakar Hukum Pidana, Azmi Syahputra (Foto: MI/Aswan)[/caption] “Jadi sepanjang tindak pidana tersebut dilakukan oleh seseorang yang berstatus prajurit anggota TNI tentu tetap diadili di peradilan militer termasuk penyidikannya,” jelas Azmi. Sebab KPK dibatasi hanya dapat menyidik orang-orang yang tunduk dalam peradilan umum. “Dasar hukum inilah dalam tataran operasional jadi hambatan untuk proses pertanggungjawaban pidana bagi anggota militer. UU Peradilan Militer Perlu Direvisi Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai Undang-Undang Peradilan Militer mesti diubah, karena dianggap sudah tidak relevan buat menangani tindak pidana khusus seperti dugaan korupsi yang melibatkan personel TNI. Dia juga menilai kasus dugaan suap Kabasarnas Marsdya Henri Alfiandi, seharusnya ditetapkan sebagai kejahatan lintas profesi yang bisa diusut oleh penegak hukum di luar polisi militer (Puspom TNI). "Aturan tersebut sudah tidak relevan karena tidak kontekstual dan diskriminatif. Aturannya harus diubah," kata Fickar saat dihubungi pada Senin (31/7). Menurut Fickar, persoalan hukum yang menjerat Henri menjadi polemik karena dia ditugaskan di lembaga eksternal atau di luar TNI, tetapi masih menyandang status militer. Sehingga tidak bisa langsung ditindak dan mesti diserahkan kepada Puspom TNI. [caption id="attachment_379317" align="alignnone" width="800"] Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar. (Foto: MI/Wawan)[/caption] "Seharusnya korupsi itu dinyatakan sebagai kejahatan lintas profesi, sehingga KPK bisa menangani korupsi yang dilakukan di lembaga apapun termasuk di militer," ujar Abdul Fickar. Fickar mengatakan, dengan masih berlakunya Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, maka jika seorang anggota TNI melakukan tindak pidana maka yang berhak mengusut sampai menyidangkan perkara adalah Puspom TNI dan Pengadilan Militer. "Memang aturan ini tidak adil. Mestinya hanya berlaku di waktu perang saja dan terbatas pada kejahatan yang bersifat militer, tetapi KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer) dan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) militernya masih mengatur seperti itu. Memang kelihatan tidak adil," ujar Abdul Fickar. Pejabat TNI yang dipekerjakan di instansi lain harus diberhentikan dari satuan. "Ya harus ada peraturan yang menyebutkan setiap anggota TNI yang akan dikaryakan di instansi sipil harus diberhentikan statusnya sebagai anggota militer," katanya. Fickar pun menyebut pejabat TNI yang bekerja di instansi lain sudah menjadi penyelenggara negara. Sehingga, dia harus patuh dengan aturan hukum umum dan tidak berlindung pada Undang-Undang Militer jika melakukan kesalahan. [caption id="attachment_557036" align="alignnone" width="705"] Infografis menanti peradilan militer terhadap Kabasarnas, Henri Alfiandi (Foto: MI/Aswan)[/caption] "Jika ada kasus pidana jelas tunduk pada hukum sipil, termasuk pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan bisa ditangani KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)," beber Abdul Fickar. Selain revisi, Fickar juga berharap pemerintah menegaskan KPK bisa menindak pejabat TNI yang bekerja di instansi lain. Aturan yang ada masih menimbulkan kerancuan.  "(Harus) memperjelas Undang-Undang KPK (yang) berwenang menangani aparatur negara termasuk militer," demikian Abdul Fickar. Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD setuju dengan usulan revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer itu. Menurut Mahfud, revisi UU Peradilan Militer ini perlu dilakukan sesegera mungkin. Saat ini revisi UU TNI sudah masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Kan sudah ada di prolegnas (program legislasi nasional) ya. Di prolegnas jangka panjang. Nanti lah kita bisa bicarakan, kapan prioritas dimasukkan. Saya sependapat itu perlu segera dibahas,” ujar Mahfud, Rabu (2/8). [caption id="attachment_540560" align="alignnone" width="694"] Menko Polhukam Mahfud MD (Foto: MI/AS)[/caption] Menurut Mahfud, dengan adanya ketentuan Undang-undang itu dapat membuat anggota TNI aktif yang mencoba melakukan tindak pidana akan diadili di peradilan militer, termasuk HA dan ABC. “Kalau sekarang yang paling tepat di militer. Kalau sekarang ya. Karena UU Nomor 31 itu masih berlaku sebelum ada UU yang baru,” ungkapnya. Dengan demikian, Mahfud menyerahkan proses hukum tersebut kepada ketentuan hukum pidana militer. Ia meyakini, pengadilan militer akan memproses peradilan keduanya dengan adil. “Saya percaya. Saya percaya. Nyatanya kita koordinasi sehari langsung tersangka,” tuturnya. Peradilan Umum Koalisi organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Amnesty International Indonesia, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, dan AlDP mendesak KPK untuk menyeret kasus ini ke peradilan umum, bukan menyerahkannya ke peradilan militer. Direktur Eksekutif Elsam, Wahyudi Djafar, menilai dugaan kejahatan korupsi yang dilakukan perwira TNI aktif di Basarnas itu harus diproses dengan menekankan prinsip transparan dan akuntabel. Apalagi posisi Kabasarnas merupakan perwira aktif yang ditempatkan di instusi sipil seperti Basarnas. “Untuk memastikan akuntabilitas dan tidak ada impunitas oleh militer maka proses hukumnya tunduk pada peradilan umum,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar koalisi, Minggu (30/7). Wahyudi mengingatkan Nawacita yang diusung Presiden Joko Widodo sejak periode pertama pemerintahan tegas menyebut pentingnya revisi UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, karena selama ini digunakan sebagai instrumen impunitas. Jelang akhir pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua ini diharapkan revisi UU 31/1997 segera dibahas dan dituntaskan. “Tidak ada yang menjadi halangan bagi pemerintah dan DPR untuk segera merevisi UU No.31 Tahun 1997,” ujarnya. Pasal 65 UU 34/2004 ayat (2) menjelaskan prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan UU. Di lain pihak, Kabasarnas Henri Alfiandi dan Afri Budi Cahyanto seharusnya dapat disidang di pengadilan umum. Hal ini dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata merespons soal kemungkinan kasus ini disidangkan di Pengadilan Tipikor atau Pengadilan Umum. "Ya seharusnya, kalau itu dilakukan koneksitas. Kalau koneksitas jelas itu ke pengadilan umum, kalau penanganan perkaranya secara koneksitas. Apalagi ini kan menyangkut bukan tindak pidana militer kan, pengadaan barang dan jasa di suatu instansi lembaga pemerintah yang menimbulkan kerugian negara," ujar Alex kepada wartawan, Senin (31/7). [caption id="attachment_482611" align="alignnone" width="640"] Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Mawarta (Foto: MI/Aan)[/caption] Menurut Alex, tujuan dibentuknya Pengadilan Tipikor, yakni untuk mengadili perkara-perkara korupsi. Para hakimnya, kata dia, sudah mengikuti pendidikan sebagai Hakim Tipikor. Ia menyebut ada hakim ad hoc di Tipikor. "Kalau pengadilan koneksitas saya pikir juga ada hakim dari pihak militer kan. Selain hakim ad hoc Tipikor, ada hakim dari pihak militer," kata Alex. Kendati demikian, Alex menyebut prinsipnya, tidak masalah siapa yang menangani kasus ini. Sepanjang, penanganan itu dilakukan dengan profesional dan transparan. Selain itu, Alex menjelaskan rencana pembentukan tim koneksitas antara KPK dan Puspom TNI masih dibahas. Sebagaimana diketahui, Puspom TNI telah menetapkan status tersangka terhadap Henri dan Afri dalam kasus ini. Pengumuman penetapan tersangka disampaikan langsung Danpuspom TNI Marsdya Agung Handoko dalam jumpa pers di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (31/7). Keduanya juga telah ditahan diInstalasi Tahanan Militer Milik Pusat Polisi Militer Angkatan Udara di Halim Perdanakusuma. (Wan) [caption id="attachment_556841" align="alignnone" width="704"] Infografis kode "dana komando" suap Kabasarnas, Henri Alfiandi.(Foto: MI/La Aswan)[/caption]

Topik:

KPK TNI Basarnas UU TNI Kabasarnas Henri Alfiandi POM UU Peradilan Militer Peradilan Umum Peradilan Militer Polisi Militer