Minta TPL Ditutup, Masyarakat Adat Kawasan Danau Toba Kembali Datangi Komnas HAM

Nicolas
Nicolas
Diperbarui 22 November 2021 21:41 WIB
Monitorindonesia.com - Permintaan penutupan TPL (Toba Pulp Lestari) ditutup kini kembali disampaikan perwakilan masyarakat adat dari Kawasan Danau Toba. Masyarakat adat itu terdiri dari 5 Kabupaten/Kota yaitu, Kab. Toba, Kab. Simalungun, Kab. Tapanuli Utara, Kab. Humbang Hasundutan dan Kab. Samosir, mengunjungi Komnas HAM untuk menyampaikan pelanggaran-pelanggaran terkait Hak Asasi Manusia yang dialami oleh masyarakat adat. Konflik yang berkepanjangan antara masyarakat adat dengan PT. TPL sampai hari ini belum mendapat solusi yang berpihak kepada masyarakat adat. Komunitas adat yang selama 30 tahun lebih berjuang mempertahankan wilayah adatnya dari PT. TPL, kerap mengalami kasus kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi, terutama dari pihak kepolisian. Atas dasar kejadian itulah masyarakat adat yang datang dari kawasan Danau Toba, mengadukan persoalan yang sedang dialami masyarakat, sekaligus menindaklanjuti kasus-kasus yang sebelumnya sudah diadukan oleh perwakilan Masyarakat Adat ke Komnas HAM. Pertemuan ini di terima oleh Ahmad Taufan Damanik selaku Ketua Komnas HAM dan Sandra Moniaga Komisioner Komnas HAM beserta jajarannya. Diawal oleh Roganda Simanjuntak mewakili Aliansi Gerak Tutup TPL, menjelaskan persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat adat seperti persoalan limbah, intimidasi, kekerasan, kriminalisasi, penyerobotan dan pengrusakan wilayah adat, serta konflik yang dialami oleh masyarakat adat hampir di semua kabupaten di kawasan Danau Toba sejak kedatangan PT. Inti Indorayon Utama (IIU) sampai berganti nama menjadi PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Selain itu, lambatnya proses hukum yang diadukan oleh masyarakat adat kepada pihak kepolisian. Mewakili komunitas Lamtoras Sihaporas, menyampaikan kejahatan PT. TPL yang terjadi di Sihaporas seperti, pencemaran sumber air, perampasan dan pengrusakan wilayah adat, termasuk kasus kriminalisasi yang dialami oleh masyarakat adat Sihaporas. Pencemaran air di wilayah adat Sihaporas seperti adanya limbah yang dibuang secara langsung ke sumber mata air mereka. Mewakili masyarakat adat Ompu Nasomalomarhohos Natinggir, menyampaikan intimidasi yang mereka terima dari perusahaan ketika hendak mendirikan rumah di tanah wilayat adat mereka sendiri oleh PT TPL. Selain pelarangan mendirikan rumah, masyarakat adat Natinggir juga mengalami kehilangan mata pencaharian utama mereka sebagai petani haminjon (kemenyan) sejak kehadiran perusahaan di wilayah adat mereka. Mewakili komunitas adat Ompu Panggal Manalu juga menegaskan kehadiran perusahaan ini sama sekali tidak memberi manfaat kepada masyarakat secara langsung, malah menimbulkan gesekan yang semakin kuat di antara sesama masyarakat. Senada dengan itu, perwakilan komunitas masyarakat adat Huta Napa Godang, menerangkan bahwa kehadiran PT. TPL di kawasan wilayah adat Napa Godang semakin membuat gesekan antar sesama masyarakat yang ada di kawasan Huta Napa semakin tinggi serta penurunan hasil kemenyan secara drastis menurun akibat pembukaan lahan hutan secara besar besaran oleh PT. TPL. Dari komunitas Janji Maria juga menerangkan keterbatasan lahan pertanian yang mereka alami akibat pelarangan yang dilakukan oleh PT TPL untuk masyarakat yang ingin membuka lahannya. Dari komunitas adat Huta Matio juga berkeluh soal kehadiran TPL yang mengakibatkan rusaknya sumber mata air, tanaman masyarakat mengalami penurunan karena keberadaan pohon eucalyptus yang sangat berdekatan dengan lahan masyarakat adat serta perampasan wilayah adat. Tidak luput juga persoalan kekerasan dan intimidasi yang di alami oleh masyarakat adat Natumingka yang masih baru terjadi, disampaikan kepada pihak Komnas HAM agar segera ditindak lanjuti oleh kepolisian. Turut juga hadir masyarakat adat Huta Sigalapang dan Huta Ginjang yang berkonflik dengan klaim Kawasan Hutan Negara agar mendapat perhatian dari Komnas HAM. Dari Komnas HAM merespon kasus pengaduan ini dengan meminta data pendukung untuk melengkapi data yang sudah dimiliki sebelumnya oleh Komnas HAM agar bisa menindak lanjuti laporan terkait dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT. TPL. Terkait pengrusakan lingkungan juga dibenarkan oleh Sandra Moniaga, seperti yang terjadi di Pandumaan Sipituhuta dengan pembukaan hutan secara masif oleh TPL berdampak pada hutan kemenyan milik masyarakat adat. Pihak dari Komnas HAM menjelaskan bahwa Tim-nya sedang melakukan kompilasi data terkait pelanggaran yang dilakukan oleh TPL dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Ahmad Taufan Damanik, menjelaskan bahwa Komnas HAM sedang menyatukan semua laporan dari masyarakat terkait pelanggaran yang dilakukan oleh TPL, dan akan memanggil serta memberikan data kepada instansi terkait, termasuk Kantro Staf Presiden, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga perusahaan TPL.[las]