Rupiah Melemah dan Bunga Naik, Pemerintah Bisa Apa?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 25 Oktober 2023 22:18 WIB
Ilustrasi Rupiah dan Dolar (Foto: Ist)
Ilustrasi Rupiah dan Dolar (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudistira menyoroti langkah Bank Indonesia (BI) per Oktober 2023 yang menaikan suku bunga menjadi enam persen, salah satunya untuk menstabilkan nilai tukar rupiah yang saat ini terus melemah. Kendati hal ini turut dinilai tidak efektif.

Bhima begitu ia disapa Monitorindonesia.com, Rabu (25/10) menegaskan bahwa semestinya pemerintah melalui Bank Indonesia melakukan mitigasi, menciptakan stabilitas politik dengan mencegah segala praktik kolusi dan nepotisme. Kemudian mengendalikan impor pangan dan meningkatkan jumlah devisa hasil ekspor (DHE) yang masuk ke perbankan domestik.

Selain itu, juga seharusnya mempercepat serapan 40% pengadaan barang pemerintah dari produk lokal, dan mendorong industri mencari bahan baku alternatif dari sumber lokal. Jika itu tidak dilakukan, kata dia, maka mata uang rupiah diprediksi terus melemah menyentuh Rp 16.500 per dolar AS.

Di lain sisi, menurut Bhima, bahwa melemahnya rupiah ini juga dipicu selisih imbal hasil antara surat utang AS dan SBN tenor 10 tahun hanya 3,1%. 

"Sehingga kecil sekali selisihnya dengan aset aman (risk free asset), akibatkan investor keluar dari pasar keuangan," kata Bhima. 

Lanjut Bhima, begitu pula tekanan dari eksternal cukup kuat seperti kekacauan geopolitik ukraina hingga timur tengah dan data ekonomi global yang memburuk terutama proyeksi perlambatan ekonomi China. "Tahun depan China hanya mampu tumbuh 4,7-4,8%, padahal China mitra dagang dan asal wisman yang cukup penting bagi Indonesia," jelas Bhima.

Isu Dinasti Politik

Lebih lanjut, menurut Bhima lemahan rupiah diperkirakan akan berlanjut adanya isu politik dinasti dalam negeri yang akan menambah ketidakpastian tinggi.Seperti diangkatnya Gibran sebagai cawapres Prabowo. "Tentunya isu ini akan menimbulkan friksi di kalangan masyarakat, pelaku pasar membaca sentimen Gibran sebagai sentimen yang negatif," jelasnya.

"Maksudnya, bukan berarti anak presiden mendapat privilleges untuk maju jadi cawapres. Namun ada sentimen yang menimbulkan sikap investor untuk risk off atau menjauhi portfolio di pasar domestik dan ini berakibat keluarnya modal asing dari bursa saham terus-menerus," beber Bhima.

Adapun dampak pelemahan rupiah, tambah Bhima, dapat membuat harga harga barang impor akan naik terutama pangan dan BBM. "Beras kita kan sudah naik tajam bisa makin mahal karena impornya tinggi. Kemudian BBM juga biaya impornya naik dan BBM non subsidi bisa terus naik. Imported inflation akan kita lihat dalam jangka pendek, daya beli masyarakat bakal melemah diakhir tahun," demikian Bhima.

BI Nyerah?

Pengamat ekonomi Prof Anthony Budiawan menilai Bank Indonesia menyerah terkait dengan masalah kurs rupiah. Secara terbuka mengatakan, bahwa Indonesia akan masuk ke rezim suku bunga tinggi untuk jangka waktu panjang: higher for longer, untuk menjaga kurs rupiah agar tidak anjlok terlalu dalam.

Menurut Anthony, negara Rusia, Ukraina, Timur Tengah menjadi kambing hitam. Ini sangat lucu, karena mata uang Vietnam dan Thailand, misalnya, baik-baik saja. 

"Apalagi mata uang Singapore, sangat baik. Tapi, apapun alasannya tidak penting. Faktanya, kurs rupiah sedang tidak baik, terpuruk, dan nampaknya sangat serius," kata Anthony kepada Monitorindonesia.com, Selasa (24/10).

Sebelumnya Bank Indonesia menegaskan bahwa selama ini menjaga kurs rupiah dengan intervensi pasar. Tetapi upaya ini, menurut Anthony, rupanya tidak berhasil. "Kurs rupiah masih merosot. Kenaikan suku bunga acuan beberapa hari yang lalu menjadi 6 persen juga tidak efektif," beber Anthony.

Kondisi ini pun membuat Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Muyani harus menghadap presiden Jokowi, hari Senin (23/10) kemarin.

Tentu saja, kata Anthony, ini bukan untuk hal biasa-biasa saja. Pasti ada masalah sangat serius, kurs rupiah sedang menghadapi tekanan serius.

"Bank Indonesia menyerah, masuk rezim suku bunga tinggi. Untuk jangka waktu lama. Ekonomi akan tertekan. Harga pangan, BBM dan tarif listrik akan terkerek naik. Inflasi meningkat. Dan jumlah rakyat miskin juga akan meningkat," cetus Anthony.

"Sedangkan orang kaya akan semakin kaya. Mendapat ‘durian runtuh’ kenaikan kurs dolar AS. Semoga masyarakat siap mengatasi kesulitan ini. Siap menjadi semakin miskin. Apakah siap?" imbuh Anthony.

Suku Bunga Naik

Sebelumnya, BI memutuskan pada 19 Oktober 2023 untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi enam persen. BI juga menaikkan suku bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen dan suku bunga lending facility juga naik menjadi 6,75 persen. 

BI mengungkapkan saat ini dolar AS terus menguat. Kuatnya dolar AS menyebabkan tekanan pelemahan berbagai mata uang negara lain, termasuk nilai tukar rupiah.

"Dibandingkan akhir 2022, indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) pada 18 Oktober 2023 tercatat tinggi pada level 106,21 atau menguat 2,60 persen secara year to date," kata Perry dalam konferensi pers RDG Bulanan BI Oktober 2023, Kamis (19/10/2023).

Perry menjelaskan, kuatnya dolar AS tersebut memberikan tekanan depresiasi mata uang hampir seluruh mata uang dunia. Perry menyebut Yen Jepang, Dolar Australia, dan Euro yang melemah masing-masing 12,44 persen, 6,61 persen, dan 1,40 persen secara year to date.

Perry menambahkan depresiasi mata uang kawasan juga terjadi seperti Ringgit Malaysia, Baht Thailand, dan Peso Filipina masing-masing 7,23 persen, 4,64 persen, dan 1,73 persen secara year to date. Dalam periode yang sama, dengan langkah-langkah stabilisasi yang ditempuh Bank Indonesia, Perry mengatakan nilai tukar rupiah terdepresiasi 1,03 persen.

"Ini relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara di kawasan dan global tersebut," ucap Perry.

Sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, Perry memastikan Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah. Hal tersebut dilakukan agar sejalan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian imported inflation.

Di samping intervensi di pasar valuta asing, Perry menuturkan, Bank Indonesia mempercepat upaya pendalaman pasar uang rupiah dan pasar valuta asing. Selain itu juga termasuk optimalisasi SRBI dan penerbitan instrumen-instrumen lain untuk meningkatkan mekanisme pasar baik dalam meningkatkan manajemen likuiditas institusi keuangan domestik dan menarik masuknya aliran portofolio asing dari luar negeri.

"Koordinasi dengan Pemerintah, perbankan, dan dunia usaha terus ditingkatkan dan diperluas untuk implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023," kata Perry. (An)