Ekonom Beberkan Cara Gerek Pertumbuhan Ekonomi Jangka Panjang

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 21 Desember 2023 23:34 WIB
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira (Foto: MI/An)
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira (Foto: MI/An)

Jakarta, MI - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira membeberkan sejumlah hal yang mesti dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen pada tahun 2045. 

Salah satu dengan mengoptimalkan berbagai sektor pendorong ekonomi. Menurutnya, pertumbuhan penting tapi pemerataan sama pentingnya.

Ada banyak sumber pertumbuhan ekonomi yang dapat digarap untuk mengerek pertumbuhan yang berkelanjutan dan jangka panjang. Misalnya, kata dia, pengoptimalan ekonomi hijau, ekonomi biru, dan ekonomi digital.

"Pertumbuhan bisa didorong dari motor ekonomi hijau dan ekonomi biru serta ekonomi digital," ujar Bhima kepada wartawan, Kamis (21/12).

Bhima berpandangan, bahwa pertumbuhan ekonomi tidak bisa hanya disandarkan sepenuhnya pada eksploitasi sumber daya alam (SDA). Pasalnya, eksploitasi SDA yang berlebihan malah dapat berdampak pada terganggunya sektor ekonomi yang lain. "Di sisi lain, pemerintah juga harus mulai meluncurkan strategi guna mengoptimalkan bonus demografi," tuakasnya.

Sebelumnya, calon presiden (capres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia naik sebesar 7 persen pada tahun 2045. Target tersebut bukan sesuatu yang mustahil atau ambisius, kata mantan Gubernur Jawa Tengah itu.

Bahkan, Ganjar meyakini, program tersebut sangat mungkin digapai. Ia menyebutkan sudah mengantongi peta jalan (road map) sebagai acuan untuk mencapai target tersebut.

"Banyak yang bilang Ganjar ambisius. Padahal ini sangat mungkin dan saya yakin pasti bisa. Roadmap-nya sudah ada," kata Ganjar dalam dialog dengan Ikatan Nasional Konsultan Indonesia, Kamis (14/12).

Apabila pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak mencapai 7 persen pada 2045, lanjut Ganjar, maka negara ini akan masuk dalam jebakan middle income trap. Jika itu terjadi maka bukan bonus demografi yang terjadi melainkan malapetaka demografi. "Maka kita harus berjuang untuk mewujudkan itu. E effort-nya memang tidak boleh biasa-biasa saja," tandas Ganjar.