Jatam Sebut Pengelolaan Nikel Abaikan Penderitaan Rakyat

Zefry Andalas
Zefry Andalas
Diperbarui 29 Januari 2024 06:19 WIB
Bijih Nikel. (Foto: Ist)
Bijih Nikel. (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar menyatakan perdebatan pengolahan tambang nikel (hilirisasi nikel) antara menteri-menteri di kabinet Presiden Joko Widodo dengan calon presiden dan wakil presiden hanya untuk kepentingan pelaku industri. Melki menganggap perdebatan sama sekali tidak menyelesaikan realitas praktik hilirisasi nikel yang justru memiskinkan warga.

"Parahnya lagi, gaduh nikel itu demi meraup keuntungan politik di Pemilu 2024, tidak dalam rangka mengatasi penderitaan dan kerusakan lingkungan akibat proyek hilirisasi," ujar Melky dalam keterangan resminya, Minggu, (28/1).

Jatam, kata Melky, menyayangkan topik hilirisasi yang diperdebatkan tidak membahas realitas praktik hilirisasi nikel yang sebenarnya terjadi. Ia menyebut, hilirisasi nikel telah memicu perluasan pembongkaran nikel yang berdampak pada lenyapnya ruang produksi warga, pencemaran sumber air dan perairan laut, perusakan kawasan hutan yang memicu deforestasi, terganggunya kesehatan warga, hingga kekerasan dan kriminalisasi, serta kecelakaan kerja yang berujung pada kematian.

Situasi itu terjadi di hampir seluruh kawasan industri pengolahan nikel, kata Melky. Mulai dari PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, PT Gunbuster Nickel Industry di Morowali Utara, Virtue Dragon Nickel Industry di Konawe, Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah, hingga Kawasan Industri di Pulau Obi yang dikendalikan Harita Group.

Mengenai perdebatan soal dipakai atau tidaknya nikel Indonesia oleh Tesla, menurut Melky, hal itu sama sekali tak berdampak pada pengurangan pembongkaran nikel di Kepulauan Sulawesi, Maluku, hingga Papua.

"Sebaliknya, pembongkaran terus berlanjut, mengabaikan derita rakyat dan kerusakan lingkungan yang tak pernah terurus," katanya.

Cak Imin sebelumnya menyebut gara-gara pengolahan nikel secara ugal-ugalan, terjadi kerusakan lingkungan, kecelakaan kerja, hingga masalah dominasi tenaga kerja asing. Imin juga menyinggung masalah kemiskinan. Ia sempat menyebut pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah bisa naik 13 persen.

"Tinggi sekali, tetapi rakyatnya tetap miskin dan tidak menikmati," kata Cak Imin.

Kritik tersebut kemudian dibantah Menko Marves Luhut Binsar Pandjaita. Ia menuding Cak Imin berbohong kepada publik.  Luhut kemudian mengklaim angka kemiskinan di Sulawesi Tengah menurun seiring adanya hilirisasi nikel.

Ia mengatakan pada 2015, angka kemiskinan di sana tercatat 14,7 persen. Kemudian, pada 2023, menurun menjadi 12,4 persen.

Sementara itu, kemiskinan di Morowali menurun dari 15,8 persen pada 2015 menjadi 12,3 persen pada 2023. "Jadi, terjadi cukup perbaikan-perbaikan di sana," kata Luhut di Instagram resmi @luhut.pandjaitan, Rabu, (24/1).

Luhut menyatakan keinginannya mengundang Cak Imin untuk melihat langsung hilirisasi di Weda Bay dan Morowali. "Seeing is believing, daripada Anda berbohong kepada publik," ujarnya.

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia juga membantah kritik Cak Imin. Bahlil mengatakan, hilirisasi dan industri tambang saat ini telah wajib dan memenuhi kaidah norma dalam aturan pemerintah. Misalnya, kata dia, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Termasuk perizinan dan masalah lingkungan lainnya.

"Jadi, kalau sudah memenuhi standar, di mananya yang ugal-ugalan?" kata Bahlil kepada wartawan di Kantor Kementerian Investasi, Rabu, (24/1).