Jangan "Omon-omon" Saja Soal Nikel, Nih Risiko Ketergantungan Indonesia terhadap Investasi China Versi Ekonom

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 30 Januari 2024 02:39 WIB
Ilustrasi - Pertambangan Nikel (Foto: Ist/Dok Pribadi)
Ilustrasi - Pertambangan Nikel (Foto: Ist/Dok Pribadi)

Jakarta, MI - Direktur eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyatakan, saat ekonomi China terguncang, Indonesia bisa dengan cepat terkena dampaknya. Menurut Faisal, tanda-tandanya mulai terlihat dari realisasi investasi China dan Hong Kong pada 2023, yang turun 21,4% dibanding tahun sebelumnya.

Ini terjadi setelah pertumbuhan ekonomi China melambat ke 3% pada 2022 dari 8,4% pada 2021. Meski angkanya sempat menyentuh 5,2% tahun lalu, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan China bakal berkisar hanya di 4% dalam dua tahun ke depan.

"Saat ada ketergantungan besar, kalau terjadi sesuatu yang mengganggu perekonomian negara asal investasi tersebut, ini akan mengganggu kita juga dengan lebih kuat, lebih cepat," kata Faisal dikutip pada Selasa (30/1).

Apalagi China sedang sibuk menghadapi krisis properti. Karena itu, aktivitas penanaman modal ke luar negeri jadi terhambat.

Sementara itu, ekonom Bhima Yudhistira mengatakan, ketika ekonomi China bermasalah aliran investasi ke Indonesia dan volume perdagangan dua negara itu dapat menurun sehingga neraca dagang, cadangan devisa, dan nilai tukar rupiah bisa tertekan. Proyek-proyek China di Indonesia pun bisa kena imbasnya, termasuk berbagai smelter nikel.

"Kapasitas produksi smelternya bisa diturunkan perlahan. Lalu misalnya sudah sepakat mau ekspansi, mau bangun ini-itu, tiba-tiba enggak jadi," katanya.

Banyak proyek China di Indonesia merupakan bagian dari program BRI yang pertama diluncurkan pada 2013, termasuk Kawasan Industri Morowali, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Sumsel 1, dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Selama 10 tahun berjalannya BRI, China mengklaim telah berinvestasi di sekitar 3.000 proyek dengan nilai lebih dari US$1 triliun di 150 negara.

Per 2021, ada 71 proyek infrastruktur BRI di Indonesia dengan nilai total AS$20,3 miliar, menurut kajian lembaga riset AidData asal Amerika Serikat.

Namun, 31 proyek di antaranya disebut "bermasalah", entah karena memicu kontroversi, merusak lingkungan, adanya dugaan korupsi, atau kinerjanya tak sesuai harapan. Sejumlah pengamat dan pakar internasional pun khawatir soal jeratan utang proyek dari BRI, terutama melihat apa yang terjadi di Sri Lanka.

Konstruksi Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka dimulai pada 2008 dengan bantuan utang US$1,3 miliar berbunga tinggi dari China. Karena kesulitan membayar utang, akhirnya Sri Lanka sepakat menyerahkan 70% saham pelabuhan itu kepada BUMN China dengan masa sewa 99 tahun sejak 2017.

Hasil riset AidData yang dirilis pada 2021 menunjukkan, Indonesia memiliki "utang tersembunyi" kepada China sebesar US$17,28 miliar. Istilah ini merujuk pada utang yang datang dari transaksi bisnis antara perusahaan atau bank milik negara maupun perusahaan patungan dan swasta. Karena itu, ia tidak dicatat atau dikelola sebagai utang pemerintah.

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo pun sempat menjelaskan melalui akun X-nya, "utang tersembunyi" itu memang tidak dikelola pemerintah, tapi jika wanprestasi tetap berisiko "nyerempet pemerintah".

Karena itu, ekonomo Mohammad Faisal mengatakan Indonesia harus cermat mengantisipasi segala risiko sejak awal serta menghindari investasi berkualitas rendah dari China, termasuk yang berpotensi membawa masalah sosial dan lingkungan.

Dua masalah itu, kerap hadir dalam proyek-proyek yang melibatkan investasi China. Namun, kata Bhima, pemerintah seakan tutup mata, meski banyak proyek yang ada tidak efektif menghasilkan efek berganda di perekonomian domestik.

"Karakteristik investasi China itu, karena ingin cepat, dia mengimpor banyak sekali bahan baku besi dan baja dari luar negeri. Makanya, apa korelasinya antara konstruksi smelter yang masif itu dengan BUMN atau perusahaan lokal di sektor besi dan baja? Nggak ada," bebernya.

"Belum lagi, investasi di sektor pengolahan bersifat padat modal, sehingga cenderung membutuhkan banyak tenaga kerja hanya di awal saat masa konstruksi, tapi tidak saat telah beroperasi," tambah Bhima.

Perseteruan Tom Lembong dengan Luhut dan Bahlil untuk Apa?

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengkritisi 'perseteruan' antara co-captain Timnas AMIN Thomas Lembong dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia soal industri nikel.

"Pernyataan Tom dan “serangan balik” Luhut dan Bahlil soal hilirisasi nikel itu menggambarkan tabiat elit politik dan pengurus negara yang lebih sibuk bicara soal kepentingan industri, dari pada rakyatnya sendiri," kata Juru Kampanye, Alfarhat Kasman, lewat keterangannya dikutip pada Selasa (30/1).

Saling serang antara para elit politik tersebut, berawal saat Tom yang merupakan mantan menteri perdagangan dan mantan kepala BKPM, menilai hilirisasi nikel berupa pembangunan smelter yang masif di dalam negeri berpotensi merugikan karena berdampak over supply. Akibatnya, harga nikel jatuh. Hal itu disampaikannya dalam podcast Total Politik.

Tom juga bilang, produsen mobil Tesla di China telah menggunakan LFP (Lithium Ferro Phosphate) 100 persen dan tidak lagi menggunakan nikel. Mendengarnya, Luhut dan Bahlil kompak mengkritisi pernyataan Tom.

Menurut Kasman, Tom maupun Luhut dan Bahlil sama-sama abai dengan realitas praktik hilirisasi nikel yang justru memiskinkan warga dan menguntungkan pelaku industri.

"Hilirisasi itu telah memicu perluasan pembongkaran nikel yang berdampak pada lenyapnya ruang produksi warga, pencemaran sumber air dan perairan laut, perusakan kawasan hutan yang memicu deforestasi, terganggunya kesehatan warga, hingga kekerasan dan kriminalisasi, serta kecelakaan kerja yang berujung pada kematian," ujar Kasman.

Berdasarkan, catatan Jatam, kata Kasman, situasi itu terjadi di hampir seluruh kawasan industri, mulai dari PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, PT Gunbuster Nickel Industry di Morowali Utara, Virtue Dragon Nickel Industry di Konawe, Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah, hingga Kawasan Industri di Pulau Obi yang dikendalikan Harita Group.

"Pengabaian atas realitas pelik itu, berikut saling 'serang' antar elit politik yang sedang mempertahankan dan merebut kekuasaan pada Pemilu 2024, tampak bukan semata-mata membongkar borok proyek hilirisasi andalan Presiden Jokowi yang ugal-ugalan, tetapi juga bisa dibaca sebagai terganggunya kepentingan bisnis Bahlil dan Luhut, serta sejumlah pengusaha dan elit politik yang tersebar di tiga pasangan capres-cawapres Pemilu 2024," beber Kasman.

Bahlil, disebut Jatam, terhubung ke PT Meta Mineral Pradana, perusahaan tambang nikel yang memiliki dua izin tambang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Pemegang saham perusahaan ini dimiliki oleh PT Rifa Capital (10%) dan PT Papua Bersama Unggul (90%), milik Bahlil.

Sedangkan Luhut, relasinya terkait dengan PT Energi Kreasi Bersama (Electrum), perusahaan patungan antara PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo) dan PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA), milik Luhut. 

Catatan Jatam, Electrum berfokus pada pengembangan ekosistem dan industri kendaran listrik secara terintegrasi dari hulu ke hilir, meliputi manufaktur sepeda motor listrik, teknologi pembuatan baterai, infrastruktur penukaran (swap) baterai dan stasiun pengisian daya, hingga pembiayaan.

Melalui GoTo ini juta, kata Kasman, kepentingan bisnis Luhut ketemu dengan Garibaldi Boy Thohir, yang beberapa hari lalu mengklaim sejumlah taipan mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Boy Thohir tercatat sebagai pemegang saham sekaligus menjabat sebagai Komisaris GoTo.

"Sehingga, saling 'serang' antara Tom Vs Luhut dan Bahlil itu, tampak hanya terkait kepentingan mereka sendiri dan kroni serta industri itu sendiri. Parahnya lagi, gaduh nikel itu demi meraup keuntungan politik di Pemilu 2024, tidak dalam kerangka mengatasi penderitaan dan kerusakan lingkungan akibat proyek hilirisasi," kata Kasman.

"Dipakai atau tidak dipakainya nikel Indonesia oleh Tesla, sama sekali tak berdampak pada pengurangan pembongkaran nikel di Kepulauan Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Sebaliknya, pembongkaran terus berlanjut, mengabaikan derita rakyat dan kerusakan lingkungan yang tak pernah terurus," imbuhnya.