Penyebab Hengkangnya 2 Investor Eropa dari Nikel Sonic Bay Andalan Bahlil Lahadalia

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 26 Juni 2024 12:31 WIB
Megaproyek smelter nikel hidrometalurgi Sonic Bay di Teluk Weda, Maluku Utara, resmi ditinggalkan kedua investornya dari Eropa, yakni BASF SE dan Eramet SA.
Megaproyek smelter nikel hidrometalurgi Sonic Bay di Teluk Weda, Maluku Utara, resmi ditinggalkan kedua investornya dari Eropa, yakni BASF SE dan Eramet SA.

Jakarta, MI - Megaproyek smelter nikel hidrometalurgi Sonic Bay di Teluk Weda, Maluku Utara, resmi ditinggalkan kedua investornya dari Eropa, yakni BASF SE dan Eramet SA. Apa sebabnya?

Kabar tersebut pertama kali terdengar usai BASF mengunggah pernyataan resmi untuk mundur dari proyek senilai US$2,6 miliar (sekitar Rp42,64 triliun asumsi kurs saat ini) itu awal pekan ini.

“Setelah melakukan evaluasi menyeluruh, kami menyimpulkan bahwa kami tidak akan melaksanakan proyek pemurnian nikel-kobalt di Teluk Weda,” tulis BASF SE dalam pernyataannya, dikutip Rabu (26/5/2024).

Selang beberapa waktu, Eramet juga mengumumkan untuk mundur dari proyek penghiliran nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) tersebut. Namun, perusahaan asal Prancis tersebut menyatakan mesih terbuka pada investasi potensial dari rantai nilai baterai nikel di Indonesia.

Dalam pernyataan resminya, BASF —perusahaan kimia terbesar di dunia asal Jerman — mengatakan ketersediaan nikel berkualitas baterai secara global telah meningkat sejak proyek ini dimulai. Dengan demikian, perusahaan tidak lagi melihat perlunya investasi sebesar itu.

Di lain sisi, Eramet dalam pernyataan tertulis ke Bloomberg Technoz mengungkapkan bahwa keputusan hengkangnya setidaknya dilandasi oleh 3 alasan.

Pertama, strategi eksekusi terkait dengan proyek bersama BASF. Eramet menyatakan tidak berhasil mendapatkan skema eksekusi yang memuaskan, termasuk syarat dan ketentuan kontrak.

Kedua, alokasi modal. Dalam hal ini, Eramet ingin berpartisipasi dalam rantai nilai baterai di Indonesia, tetapi juga selektif dengan alokasi modal.

“Pada saat yang sama, Eramet juga sedang mengkaji peluang lain untuk rantai nilai EV, seperti nikel, litium, dan kobalt,” terang perusahaan dalam pernyataan tertulisnya.

Ketiga, pasar. Eramet menilai, pasar nikel global telah berubah selama beberapa tahun terakhir. Dengan demikian, perusahaan juga selektif dalam menambahkan potensi kelebihan kapasitas baru dari nikel kelas baterai.

Sonic Bay sendiri merupakan pabrik pemurnian atau smelter nikel/kobalt berbasis high pressure acid leach (HPAL) yang pada awalnya dirancang untuk memproses sebagian bijih dari tambang Weda Bay Nickel demi menghasilkan produk antara nikel dan kobalt, yakni sekitar 60.000 ton nikel dan 6.000 ton kobalt.

Nikel dan kobalt tersebut terkandung dalam endapan campuran hidroksida yang dikenal sebagai mixed hydroxide precipitates (MHP), sebagai bahan baku baterai EV. Smelter nikel-kobalt untuk bahan baku baterai EV pada awalnya ditargetkan untuk berproduksi pada 2026.

Selain itu, nickel and cobalt salts akan digunakan untuk memproduksi prekursor bahan aktif katoda (PCAM) dan bahan aktif katoda (CAM) untuk baterai litium-ion yang digunakan pada kendaraan listrik.

“Penggunaan bijih berkadar rendah akan memungkinkan eksploitasi bagian baru dari profil geologi lokasi tambang, sehingga mengoptimalkan potensi sumber daya alam,” tulis Eramet dalam situs resmi.

Sayangnya, BASF SE dan Eramet SA selaku investor justru menyatakan hengkang dari proyek, hanya selang setahun setelah digadang-gadang pemerintah.

Kedua investor Eropa itu padahal telah menargetkan bakal membuat keputusan investasi final atau final investment decision (FID) dari proyek Sonic Bay pada semester I-2024.

Dalam pernyataan resmi Eramet, kemitraan dengan BASF sudah dimulai sejak 2020. Kala itu, kedua perusahaan asal Eropa ini menandatangani perjanjian untuk menilai potensi untuk mengembangkan dan membangun pabrik pemurnian nikel-kobalt di Weda Bay Indonesia secara bersama.

Namun, pemerintah secara terang-terangan menyampaikan informasi kemitraan pada medio tahun lalu, yang disampaikan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia.

Saat itu, Bahlil mendampingi Presiden Joko Widodo dalam melakukan pertemuan dengan tiga pemimpin perusahaan Eropa yang salah satunya adalah CEO Badische Anilin- und Soda-Fabrik (BASF) Martin Brudermuller di sela kunjungan kenegaraan ke Hannover, Jerman.

Pertemuan ini untuk menindaklanjuti rencana investasi baterai mobil listrik di Maluku Utara yang akan dilakukan oleh BASF. Saat itu, Bahlil menyampaikan BASF akan bekerja sama dengan perusahaan Eramet asal Prancis dalam mengembangkan proyek senilai US$2,6 miliar tersebut.

“BASF dan Eramet menyampaikan secara langsung minat investasinya kepada Bapak Jokowi untuk melakukan investasi di Maluku Utara dalam rangka pembangunan ekosistem baterai mobil,” jelas Bahlil melalui pernyataan resminya, April tahun lalu.

Bahlil saat itu juga menyebut pembangunan proyek ini akan memperhatikan lingkungan, serta memakai energi hijau.

“Ini adalah sebuah momentum yang tepat untuk menyampaikan kepada dunia bahwa Indonesia terbuka dalam hal menarik investasi tidak hanya di benua Asia tapi juga dari benua Eropa".

"Ini sebagai bentuk investasi yang inklusif dan sekaligus menganulir cara berpikir orang yang mengatakan seolah-olah pengelolaan tambang di Indonesia tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang ada pada standar internasional. Insya Allah ke depan investasi ini akan semakin baik,” ungkap Bahlil.

Awal tahun lalu, Bahlil juga bertemu dengan pihak BASF untuk mendiskusikan rencana investasi ini saat berada di World Economic Forum (WEF) Davos 2023 pada Januari.

Kala itu, BASF memang menyampaikan minatnya memproduksi MHP menjadi prekursor baterai listrik, dengan kapasitas produksi sebesar 67.000 ton nikel/tahun dan 7.500 ton kobalt/tahun.

Bahlil pun optimistis proyek Sonic Bay tersebut akan diselesaikan BASF dan Eramet tepat waktu. Sayangnya, keduanya mengumumkan hengkang dari proyek itu pada Juni 2024.