Pernyataan Fundamental Ekonomi Baik: Gubernur BI Pasang Badan untuk Jokowi dan Sri Mulyani

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 26 Juni 2024 12:36 WIB
Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) (Foto: Dok MI/Aswan)
Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Kurs rupiah terpuruk ke tingkat yang memprihatinkan. Rupiah sempat tembus Rp16.500 per dolar AS pada akhir minggu lalu (20/06/24). Nampaknya Kementerian Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia (BI) tidak berdaya menghadapi merosotnya kurs rupiah ini. Tetapi, mereka mencoba membela diri, yang cenderung ngawur.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menuding Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, menjadi penyebab anjloknya rupiah, karena tidak menurunkan suku bunga acuannya (Fed Funds Rate). Tentu saja, pernyataan Sri Mulyani ini sangat ngawur.

Bagaimana mungkin seorang Menteri Keuangan menyalahi Bank Sentral AS atas terpuruknya rupiah? Memprihatinkan. Terlihat jelas Sri Mulyani hanya mencari kambing hitam atas kegagalannya.

Selain Sri Mulyani, Gubernur BI Perry Warjiyo juga memberi pernyataan. Sayangnya, pernyataan Perry Warjiyo malah membuat masyarakat bertambah khawatir atas kondisi moneter saat ini. Pernyataan Perry Warjiyo mencermikan pelemahan rupiah sudah di luar kendali BI.

Perry Warjiyo mengatakan, fundamental ekonomi Indonesia saat ini sangat baik sehingga kurs rupiah seharusnya menguat: Sehingga kurs rupiah seharusnya menguat. “Kalau dilihat dari faktor fundamental, nilai tukar rupiah kita itu seharusnya akan menguat," kata Perry (20/6/2024).” Nampaknya, Gubernur BI bingung dan tidak mengerti, kenapa kurs rupiah malah melemah? Bahaya sekali!

Perry menjelaskan, yang dimaksud fundamental ekonomi cukup baik tercermin dari tingkat inflasi rendah (2,84 persen), pertumbuhan ekonomi Q1/2024 cukup tinggi (5,11 persen), dan pertumbuhan kredit cukup baik (12 persen).

Penjelasan Gubernur BI sangat mengkhawatirkan karena terkesan yang bersangkutan tidak paham (atau pura-pura tidak paham?) tentang keterkaitan fundamental ekonomi dan kurs rupiah.

Pernyataan Perry Warjiyo bahwa “tingkat inflasi Indonesia relatif rendah (dibandingkan AS) maka kurs rupiah seharusnya menguat (terhadap dolar AS)”, secara implisit merujuk teori inflation parity (atau Relative Purchasing Power Parity = RPPP) dalam menentukan nilai tukar.

Yaitu, perbedaaan tingkat inflasi antar dua negara akan terefleksi sepenuhnya pada perubahan kurs mata uang kedua negara tersebut.

Tetapi, faktanya, teori RPPP tidak pernah menjadi dasar penentu nilai tukar mata uang di dunia yang semakin terbuka (open global economy). Kalau teori kurs mata uang rujukan Perry Warjiyo benar, maka kurs rupiah seharusnya sudah menguat sejak Februari 2021, di mana tingkat inflasi AS mulai meningkat tajam, jauh lebih tinggi dari tingkat inflasi Indonesia.

Gubernur BI Pasang Badan untuk Jokowi dan Sri Mulyani

Namun, faktanya kurs rupiah tidak menguat selama periode tersebut. Artinya, teori nilai tukar yang di maksud Perry Warjiyo, bahwa kurs rupiah akan menguat karena inflasi lebih rendah, tidak terbukti. Sebaliknya, kurs rupiah selama periode 18 Februari 2021 sampai akhir Desember 2022 malah merosot 11,1 persen: dari Rp14.010 menjadi Rp15.565 per dolar AS, dan lanjut melemah menjadi Rp16.450 per dolar AS pada 20 Juni 2024.

Apakah karena distorsi pemahaman ini, maka Perry Warjiyo berkali-kali mengatakan “yakin” nilai tukar rupiah akan menguat, tetapi berkali-kali juga hal tersebut tidak terjadi, sehingga membuat kredibilitas BI terpuruk: Pertanyannnya, apakah BI masih dapat mengendalikan kurs rupiah?

BI bahkan sampai menerbitkan tiga jenis surat utang, dalam rupiah (SRBI) maupun valuta asing (SVBI, SUVBI), untuk memperkuat (alias doping) kurs rupiah. Tetapi, gagal total.

Kedua, Perry Warjiyo mengatakan, pertumbuhan ekonomi Q1/2024 cukup tinggi, 5,11 persen, karena itu, kurs rupiah seharusnya menguat. Lagi-lagi, Perry gagal paham tentang fundamental ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan kurs, di mana pertumbuhan ekonomi (Indonesia) relatif tinggi tidak berarti nilai tukar (rupiah) menguat.

Pertumbuhan ekonomi triwulanan Indonesia selama periode Q1/1996 sampai Q3/1997 sangat tinggi, mencapai 10,39 persen pada Q4/1996, 7,2 persen pada Q1/1997 dan 5,22 persen pada Q2 dan Q3/1997. Tetapi kurs rupiah terhadap dolar AS anjlok dari Rp2.432 pada 1 Juli 1997 menjadi Rp5.550 pada 31 Desember 1997, dan sempat tembus Rp6.000 pada 24 Desember 1997.

Gubernur BI Pasang Badan untuk Jokowi dan Sri Mulyani

Artinya, krisis nilai tukar (moneter) tidak ada hubungannya dengan tingkat pertumbuhan ekonomi periode-periode sebelumnya. Artinya, pertumbuhan ekonomi 5,11 persen pada Q1.2024 (meskipun penuh tanda tanya), tidak menjamin kurs rupiah tidak bisa merosot. Artinya, jaminan Perry Warjiyo bahwa rupiah akan menguat hanya jaminan kosong.

Ketiga, Perry juga mengatakan pelemahan kurs rupiah lebih baik dari beberapa negara lainnya, antara lain Jepang. Sekali lagi, pernyataan seperti ini sangat mengecewakan, seolah-olah Perry Warjiyo tidak paham bahwa kondisi ekonomi setiap negara berbeda-beda.

Bagi negara tertentu yang mempunyai surplus neraca transaksi berjalan seperti Jepang, Thailand, Vietnam, Malaysia, Korea, pelemahan nilai tukar mata uangnya akan menguntungkan ekonomi mereka. Karena alasan ini, kebijakan ekonomi Shinzo Abe yang dinamakan Abenomics pada intinya adalah dengan sengaja melemahkan nilai tukar yen terhadap dolar AS, melalui quantitative easing, ekspansi fiskal serta devaluasi yen.

Hasilnya yen terdepresiasi sekitar 25 persen hanya dalam 4 bulan. Selain itu, aset bersih warga Jepang di luar negeri mencatat surplus sangat besar, sehingga devaluasi (pelemahan) yen sangat menguntung ekonomi Jepang.

Tetapi, bagi Indonesia sebaliknya. Pelemahan rupiah akan membuat ekonomi Indonesia terpuruk. Karena Indonesia mempunyai defisit transaksi berjalan dan utang luar negeri yang sangat besar. Karena itu, membandingkan pelemahan rupiah dengan pelemahan yen sangat tidak masuk akal, mencerminkan panik.

Gubernur BI Pasang Badan untuk Jokowi dan Sri Mulyani

Perry Warjiyo patut dikasihani, karena harus pasang badan untuk Jokowi (dan Sri Mulyani). Perry Warjiyo harus mengorbankan kredibilitasnya, dengan memberi pernyataan tidak profesional dan tidak masuk akal.

Perry Warjiyo seharusnya berani mengatakan, masalah moneter dan anjloknya kurs rupiah saat ini akibat tata kelola keuangan negara ugal-ugalan, yang membuat defisit APBN dan utang negara melonjak tajam, serta kegagalan pembangunan ekonomi untuk menciptakan fundamental ekonomi yang baik, yaitu menciptakan surplus transaksi berjalan agar tidak tergantung dari utang luar negeri.

Dalam hal ini, kebijakan moneter BI tidak akan efektif karena tersandera permasalahan ekonomi dan fiskal. Untuk itu, Jokowi harus bertanggung jawab.

[Anthony Budiawan – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)]