DPR Mau Ubah BI Seperti di Orde Baru, Masih Ingat Korupsi BI Era Soeharto?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 3 Desember 2025 18:19 WIB
Bank Indonesia (BI) (Foto: Dok MI/Antara)
Bank Indonesia (BI) (Foto: Dok MI/Antara)

Jakarta, MI - Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama pemerintah berniat mengubah peran Bank Indonesia kembali seperti ketika era Orde Baru. Hal ini akan segera diwujudkan melalui revisi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).

"BI akan menjadi bank sentral yang di zaman Orde Baru dulu. Peran pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja itu nyata," kata Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (3/12/2025).

Dia menjelaskan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berambisi merealisasikan pertumbuhan ekonomi mencapai 8%. Untuk mencapai target tersebut, maka dibutuhkan mesin sumber pertumbuhan ekonomi yang tidak semata hanya dari fiskal, melainkan juga dorongan dari kebijakan di sektor moneter.

"Maka kami memberi penguatan penuh, bagaimana peran bank sentral mendorong pertumbuhan ekonomi. Kami beri penguatan karena bank sentral pilihannya dua, pro-growth dan pro-stability," katanya.

Menurut dia, revisi UU PPSK dilakukan untuk menyempurnakan regulasi di sektor keuangan, termasuk bank sentral. Kendati demikian, dia mengklaim tak akan mengganggu independensi bank sentral. "Tidak ada satu pun independensi dari BI yang kami pengaruhi," tegas dia.

Menurut Misbakhun, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, sebagai Koordinator Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan mempunyai anggota yang masing-masing memiliki pengaruh kuat untuk industri, baik dari sisi regulasi maupun posisi kelembagaan.

Mengingatkan korupsi BI era Soeharto

Pada masa Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Bank Indonesia memainkan peran yang lebih stabil dan terfokus pada kebijakan moneter yang lebih terarah. 

Pada era ini, BI bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, mengendalikan inflasi, dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Tantangan utama pada era ini adalah konsolidasi kebijakan moneter yang sering kali harus disesuaikan dengan program-program pembangunan yang ambisius dari pemerintah. 

Meski begitu, Bank Indonesia berhasil menjaga stabilitas ekonomi Indonesia selama beberapa dekade, yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang pesat pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an.

Namun, tantangan terbesar muncul pada akhir 1990-an ketika krisis ekonomi Asia melanda Indonesia. Krisis ini menyebabkan runtuhnya nilai tukar rupiah, inflasi yang tinggi, dan krisis perbankan yang mengharuskan Bank Indonesia untuk mengambil langkah-langkah drastis, termasuk restrukturisasi perbankan dan penyehatan sistem keuangan.

Kendati demikian, niat DPR RI ingin mengubah BI seperti di era Soeharto memang dinilai bagus, hanya saja publik teringat kasus dugaan rasuah yang sempat menyeret BI di era mantan Presiden RI ke-2 itu, adalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Joko Widodo (Jokowi) saat menjadi Presiden RI ke-7 memang sempat berkomitmen menuntaskan kasus penagihan utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara ratusan triliun rupiah sejak lebih dari dua dekade. 

Keseriusan ini diwujudkan lewat Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 6 Tahun 2021 terkait Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Adapun kasus BLBI bermula pada 1997-1998, ketika Bank Indonesia (BI) memberikan pinjaman kepada bank-bank yang hampir bangkrut akibat diterpa krisis moneter. Saat itu, sejumlah bank mengalami masalah likuiditas yang membuat nilai tukar rupiah terdepresiasi sangat dalam hingga Rp 15 ribu per dolar AS. Kejatuhan rupiah ini membuat utang valuta asing (valas) perbankan membengkak.

Pada Desember 1998, Bank Indonesia kemudian menyalurkan dana bantuan Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Namun, dana BLBI justru banyak diselewengkan oleh para penerimanya. Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Agustus 2000, ditemukan kerugian negara mencapai Rp 138 triliun dari dana yang telah disalurkan.

Selang 2 tahun pada 2002, Presiden Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 tahun 2002. Itu jadi landasan pemerintah mengeluarkan jaminan kepastian hukum kepada para debitur BLBI yang telah melunasi kewajiban, yakni lewat penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang dikeluarkan BPPN, atau menindak secara hukum bagi yang tidak melaksanakan kewajiban.

Vonis perdana bagi terdakwa kasus BLBI terjadi pada 2003, yang menjerat oknum pejabat BI yang bersekongkol dengan para pemilik bank, seperti Hendro Budiyanto, Heru Supratomo, hingga Paul Sutopo Tjokronegoro yang dijebloskan ke penjara.

Sementara dari pihak penerima dana, sederet nama juga mulai diperiksa dan diadili hingga berlanjut menerima vonis bersalah. Salah satunya Sjamsul Nursalim bersama sang istri Itjih Nursalim, pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Keduanya diduga jadi pihak yang diperkaya dalam kasus BLBI, dan terindikasi merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun.

Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sempat menyatakan kesediaannya untuk bantu mengusut kasus BLBI pada 2008, dan memulai proses penyelidikan terhadap proses pemberian SKL kepada para pengutang per 2013.

Hasilnya, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung dijerat dan diadili di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor). 

Tak sampai setahun, Arsyad yang divonis 15 tahun penjara pada September 2018 resmi bebas dari rumah tahanan (rutan) KPK pada 9 Juli 2019, menyusul keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan kasasinya.

Pasca penyelesaian masalah yang tak kunjung tuntas tersebut, pemerintah di bawah Presiden Jokowi menugasi Satgas Penanganan Hak Tagih Negara untuk menuntaskan kasus BLBI. Mengutip catatan BPK, Kementerian Keuangan akan terus mengejar dana BLBI dengan total dana sebesar Rp 110,45 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat itu sempat menyampaikan kepada Satgas, total dana BLBI Rp 110,45 triliun ini terdiri dari obligor 22 pihak dan 12 ribu dokumen debitur.

"Kita akan terus bersama-sama dengan Satgas mengidentifikasi langkah-langkah untuk bisa melakukan pemulihan kembali atau pendapatan kembali dari BLBI tersebut," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa edisi April 2021.

Menkopolhukam Mahfud MD kala itu juga menyebut, pemerintah akan memanggil seluruh debitur dan obligor yang berjumlah 48 orang. Adapun jumlah total utang mereka terhadap negara disebut mencapai Rp 111 triliun. Termasuk Tommy Soeharto, yang berutang kepada negara sekitar Rp 2,6 triliun.

"Di atas itu banyak yang utangnya belasan triliun, Rp 7,-8 triliun yang totalnya itu Rp 111 triliun," kata Mahfud.

Namun, Mahfud belum merinci siapa saja pengutang yang akan dipanggil terkait kasus BLBI ini, dan hanya mengatakan mereka kini berada tersebar di Singapura, Medan, Bali, dan tempat lainnya. 

Dia berharap utang 48 obligor dan debitur BLBI kepada negara bisa lunas sebelum masa tugas Satgas habis pada 2023. "Kalau selesai sebelum itu ya bagus, mungkin nanti akan ada efek pidananya dan sebagainya," ujar Mahfud.

Korupsi yang menyeret BI saat ini

KPK saat ini tengah menyidik kasus dugaan korupsi penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) yang diduga mengalir ke sejumlah anggota DPR melalui yayasan-yayasan terafiliasi.

Kasus ini mengingatkan pada skandal korupsi era Orde Baru di bawah Presiden ke-2 Soeharto, di mana pengelolaan dana dari sejumlah yayasan sosial yang dipimpinnya.

"Saya juga ada trauma nih kata-kata yayasan. Iya, dulu juga jualan Orde Baru kan," kata Hudi Yusuf, pakar hukum pidana dari Universitas Bung Karno pada Januari 2025 silam kepada Monitorindonesia.com.

Sementara Sekretaris Jenderal Organisasi anti korupsi IM 57+ Lakso Anindito berpendapat dana CSR yang disalurkan melalui yayasan rentan penyalahgunaan, termasuk oleh para politikus. "Politisi menggunakan lembaga-lembaga sosial untuk bisa mengalirkan duit kepada dia secara langsung maupun secara tidak langsung," kata Sekretaris Jenderal IM 57+, Lakso Anindito.

Praktik ini, menurutnya, semakin marak di masa menjelang tahun politik, di mana kondisi mendesak politikus mencari dana untuk keperluan logistik kampanye.

"Makanya kita sering dengar dalam konteks pemilu proses baik pada tingkat nasional maupun tingkat regional Itu ada proses pengkonsolidasian melalui lembaga-lembaga atau yayasan-yayasan terafiliasi dengan politisi-politisi," kata Lakso.

Lakso menyebutkan kasus-kasus ini merupakan fenomena yang dikenal tidak hanya di Indonesia, namun juga di negara-negara lain. Bahkan, jika merunut ke masa lalu, menurut Lakso, praktik ini merupakan fenomena yang sudah dikenal.

"Orba [Orde Baru] itu kan di Indonesia digunakan juga untuk menampung uang dan menguasai aset," kata Lakso.

Lakso mengatakan rentannya penyimpangan dana CSR disebabkan kurangnya pengaturan baik dari sisi pemberi dana dan penerima dana. Ia juga mengatakan pengawasan terhadap CSR ini juga masih lemah.

Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira melihat kasus ini mengisyaratkan upaya saling memanfaatkan antara BI sebagai regulator moneter dengan DPR, sebagai pengawas serta pembuat undang-undang. "Jadi celah yang luar biasa untuk jual beli pengaruh ya di regulasi. Misalnya di pemerintahan ataupun di DPR gitu. Jadi karena enggak ada transparansi," kata Bhima.

Sementara Sekretaris Jenderal IM 57+ Lakso Anindito mengatakan perlu adanya pengawasan terhadap yayasan penerima dana CSR tersebut. Pengawasan pada yayasan-yayasan tersebut diperlukan agar dana CSR tidak mengalir ke pihak yang punya konflik kepentingan.

"Jadi kuncinya adalah transparansi dan akuntabilitas penerima manfaat atau beneficial owner," kata Lakso.

Lakso mengatakan sebenarnya sudah ada aturan mengenai transparansi penerima manfaat baik korporasi termasuk yayasan. Yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Namun, menurutnya pengawasan perlu ditingkatkan. "Seharusnya perlu diperkuat sistem tersebut dalam penerapannya melalui bisa jadi berupa pengungkapan dana CSR secara berkala, analisis potensial konflik kepentingan dalam pengalokasian CSR, maupun pada sisi lain transparansi siapa pemilik manfaat dari yayasan atau lembaga sosial penerima CSR," kata Lakso.

Pun, Bhima Yudhistira mengatakan dana sosial pada BI ini sebaiknya dihapuskan karena di luar kompetensi dasar sebagai regulator.

"Dana sosial ini bukan core kompetensi Bank Indonesia. Kalaupun ada keuntungan lebih dari operasi moneter, sisa anggaran lebih gitu ya. Itu dikumpulkan aja menjadi PNBP, membantu APBN," katanya.

Modus korupsi CSR BI
KPK telah menetapkan anggota DPR RI Satori dan Heri Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) itu.

Bahwa KPK menyebut para tersangka tak melaksanakan kegiatan sosial seperti yang diajukan.

"Bahwa pada periode tahun 2021 sampai dengan 2023, yayasan-yayasan yang dikelola oleh HG dan ST telah menerima uang dari mitra kerja Komisi XI DPR RI, namun tidak melaksanakan kegiatan sosial sebagaimana dipersyaratkan dalam proposal permohonan bantuan dana sosial," kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (7/8/2025).

Asep mengatakan kegiatan sosial yang dilakukan bukan tidak ada sama sekali. Menurutnya, kegiatan tetap ada tapi tidak dilakukan secara keseluruhan. Contohnya, dana diajukan untuk perbaikan 10 rumah tidak layak huni (rutilahu) tapi yang digunakan hanya 2 rumah.

"Seperti sering saya contohkan dana sosial untuk rutilahu 10 rumah, nanti yang dipergunakan hanya 2 rumah kemudian dipotret sana sini gitu ya. Kemudian dibuat pertanggungjawaban untuk 10 rumah," jelasnya.

Sehingga, kata Asep, urusan pertanggungjawaban dari penggunaan dana itu tercantum 10 rumah. Sedangkan dana yang tidak digunakan, dipakai tersangka untuk keperluan pribadi.

"Jadi dana yang untuk 8 rumahnya lagi itu yang digunakan untuk kepentingan pribadinya," ujarnya.

Dalam perkara ini, tersangka Satori diduga menerima duit sebesar Rp 12,52 miliar. Sedangkan tersangka Heri diduga menerima Rp 15,86 miliar.

KPK menjerat keduanya dengan Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP serta Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat 1 ke-(1) KUHP.

Hingga kini, KPK belum juga menjebloskan tersangka di kasus ini. Alasannya masih banyak keterangan saksi yang digarap hingga menunggu perhitungan kerugian negara.

Topik:

DPR BI BLBI Soeharto