DJP Bisa Tindak Tegas Penipuan Informasi Keuangan, Lembaga Simpanan hingga Asuransi jadi Sasaran!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 9 Agustus 2024 4 jam yang lalu
Ilustrasi: Wajib pajak melihat tata cara pendaftaran E-filling atau penyampaian SPT Tahunan secara elektronik di brosur di KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu, Jakarta, Rabu (31/3/2021)
Ilustrasi: Wajib pajak melihat tata cara pendaftaran E-filling atau penyampaian SPT Tahunan secara elektronik di brosur di KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu, Jakarta, Rabu (31/3/2021)

Jakarta, MI - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan punya kewenangan meminta klarifikasi kepada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) dan menentukan terjadi praktik penipuan atas informasi keuangan yang disampaikan oleh entitas tersebut.

Kewenangan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47 Tahun 2024 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Aturan ini merupakan salah satu bagian dari standar penyampaian informasi keuangan dan perpajakan dari OECD.

“Direktorat Jenderal Pajak berwenang menentukan kesepakatan dan/atau praktik sebagai suatu kesepakatan dan/atau praktik dengan maksud dan tujuan untuk menghindari kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan,” bunyi pasal 30 A poin 3 sebagaimana dilihat Monitorindonesia.com, Jum'at (9/8/2024).

Adapun aturan ini ditujukan kepada lembaga keuangan yang menjadi pelapor informasi keuangan yang terdiri dari, LJK, LJK lainnya, serta entitas lain yang melaksanakan kegiatan usaha sebagai Lembaga Kustodian, Lembaga Simpanan, Perusahaan Asuransi Tertentu, hingga Entitas Investasi.

Dengan begitu, kini Ditjen tidak hanya menerima akses informasi keuangan dari LJK, tapi bisa memaksa untuk meminta akses informasi keuangan apabila LJK tersebut tidak kooperatif memberikan akses informasi.

Selanjutnya, selain berwenang bisa menentukan praktik penipuan dari LJK yang menutup-nutupi akses informasi keuangan, Ditjen Pajak juga bisa meminta klarifikasi kepada LJK apabila terindikasi melanggar ketentuan penyampaian laporan rekening keuangan.

Dalam beleid itu, disebutkan bahwa jika permintaan klarifikasi tidak disampaikan dalam waktu 14 hari sejak klarifikasi diterima oleh pihak terkait, Ditjen Pajak dapat menyampaikan teguran tertulis.

Selain itu, dalam Pasal 10A disebutkan bahwa lembaga keuangan pelapor dilarang untuk memberi layanan pembukaan rekening baru dan transaksi baru terkait rekening keuangan bagi pemilik rekening lama.

“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak orang pribadi dan/atau entitas atau pemegang Rekening Keuangan Lama menolak untuk mematuhi ketentuan prosedur identifikasi,” bunyi ayat 2 Pasal 10 A.

Keharusan penyampaian informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan tersebut dilakukan dalam rangka Automatic exchange of Information (AEoI) merupakan sistem pertukaran informasi keuangan secara otomatis yang dilakukan antar negara.

“Bahwa untuk memberikan kepastian hukum bagi lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain dalam menyampaikan laporan yang berisi informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan serta untuk mengatur ketentuan mengenai anti penghindaran sesuai dengan standar pelaporan umum (common reporting standard), perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai petunjuk teknis akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan,” demikian bunyi beleid itu.