Soroti Putusan Kasasi Edhy Prabowo, Azmi Syahputra: Catatan Buruk Penegakan Hukum Kasus Korupsi

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 11 Maret 2022 15:55 WIB
Monitorindonesia.com - Diskon putusan Kasasi Hakim Mahkamah Agung (MA) kepada Edhy Prabowo selaku mantan Menteri Kelautan menunjukkan Mahkamah Agung kembali terperosok menambah catatan buruk dalam sejarah penegakan hukum korupsi di Indonesia. Hal itu disampaikan Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Azmi Syahputra saat merespons disunatnya hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari sembilan tahun menjadi lima tahun. "Putusan majelis hakim dalam perkara ini sangat kering dalam pertimbangan hukumnya yang dijadikan alasan terkait pemotongan lamanya masa hukuman," jelas Azmi kepada wartawan, Jumat (11/03/2022). Menurutnya, putusan Hakim menyangkut pertimbangan hukumnya telah menyimpang, keluar dari aspek pertimbangan hukum, sepanjang hakim dalam putusan ini telah masuk keranah penilaian kinerja jabatan seorang Menteri. Hal tersebut, kata Azmi, bukanlah wewenang hakim tingkat kasasi apalagi menjadikan ukuran kinerja diambil menjadi pertimbangan hukum. "Ini suatu keganjilan dalam praktek hukum terkait putusan Hakim MA dimana pertimbangannya memberikan penilaan tentang kinerja seorang mantan Menteri Kelautan. Hakim sudah melampaui wewenangnya. Karena yang berwenang menilai kinerja seorang Menteri bukanlah majelis hakim Kasasi," kata Azmi. Azmi pun menilai, bahwa Majelis hakim sudah abai terhadap bahaya kejahatan korupsi, apalagi kasus ini telah menjadi perhatian publik, hakim MA tidak lagi memperhatikan hal-hal yang memberatkan atas perbuatan pelaku dan fakta hukum materilnya. "Di mana pelaku mendapatkan fee dari izin ekspor tersebut dari perusahaan perusahaan yang "lulus" seleksi sebagai eksportir dimana panitia seleksi adalah orang orang terdekat terdakwa, termasuk pula pelaku terbukti menyalahgunakan kewajiban dari jabatannya semestinya menjadi alasan pemberatan hukuman bukan malah di diskon dari 9 tahun menjadi 5 tahun," ucapnya. Tak hanya itu, Azmi juga menilai, seolah-olah putusan Hakim itu juga tidak netral, salah memahami wewenang kasasi. Hakim nyata sudah melampaui wewenangnya, lari dari makna kemerdekaan hakim yang tidak boleh diartikan sebebas-bebasnya oleh hakim. "Ini namanya Hakim bersembunyi di balik kewenangan bahwa putusan penilaian hakim menjadi independensi kehakiman dan mengaburkan asas kepatutan, dan rasa keadilan masyarakat sehingga putusan majelis hakim tingkat kasasi ini bertentangan dengan Pasal 253 ayat 1 KUHAP," ungkapnya. "Karenanya Putusan ini didorong untuk dilakukan eksaminasi khusus maupun eksaminasi publik," tutupnya. Diketahui, Edhy merupakan terpidana kasus korupsi penerimaan suap terkait budidaya dan ekspor benih benur lobster (BBL). Ia dinyatakan bersalah dan divonis 5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Kemudian Edhy mengajukan upaya banding. Namum majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta malah memperberat hukumannya menjadi 9 tahun penjara. Kemudian di tingkat kasasi, pada hari Senin tanggal 7 Maret 2022 majelis hakim memangkas vonis penjara Edhy menjadi 5 tahun penjara. Tak hanya itu, pencabutan hak politik Edhy juga dikurangi. Sebelumnya di tingkat pertama hak politiknya dicabut selama 3 tahun. Namun hakim kasasi memutuskan mencabut hak politik Edhy hanya selama 2 tahun setelah selesai menjalani pidana pokoknya. (Aswan)