Oknum BPK Minta Guyuran Rp 10,5 M dari Proyek Tol MBZ, Pakar Hukum: Tangkap, Tersangkakan, Pecat!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 16 Mei 2024 11:27 WIB
Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Azmi Syahputra (Foto: Dok MI/Pribadi)
Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Azmi Syahputra (Foto: Dok MI/Pribadi)
Jakarta, MI - Praktik suap yang dilakukan oleh oknum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI nyata, dimana telah melakukan kejahatan yang melekat dengan kedudukan atau  jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Ini jelas, fungsi auditor BPK yang melekat dan strategis kok digunakan untuk perilaku bagai "bandit merajalela "dan karenanya perilaku culas begini harus diberantas habis. 

"Sungguh miris dan memalukan tindakan dan perbuatan oknum pegawai BPK ini," kata Azmi Syahputra, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, begitu disapa Monitorindonesia.com, Kamis (16/5/2024).

Hal tersebut dikatakan Azmi merespons oknum BPK diduga terlibat dalam pengalokasian dana yang tak wajar dalam proyek pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek (Japek) II Elevated, yang lebih dikenal sebagai Jalan Layang atau Tol MBZ (Mohammed bin Zayed). Informasi tersebut diungkapkan oleh seorang saksi, yakni seorang pejabat dari PT Waskita Karya, Sugiharto.

Suap maupun pemerasan terkait laporan audit, menurut Azmi, itu terstruktur. Mulai dari tim pemeriksa, pengendali teknis, penanggung jawab dan Anggota. 

"Jadi siapapun yang melakukan pemerasan atau menerima suap atas jabatannya dan menerima penyuapan termasuk bagi pejabat yang membiarkan, masuk dalam kualifikasi bersama-sama dalam permufakatan jahat".

"Dan harus ikut bertanggung jawab secara hukum karenanya harus segera diperiksa semua pihak-pihak dimaksud," tegasnya.

Jelas dari peristiwa dan keterangan saksi dipersidangan ada permintaan pegawai BPK, lanjut Azmi, karenanya masuk dalam kategori suap aktif (actieve omkooping), dimana uang suap tersebut telah diterima. 

Uang yang berjumlah miliaran rupaih dari manipulasi proyek telah diterima berpindah tangan, sehingga, tegas Azmi, perbuatan ini sudah selesai dilakukan.

"Jadi jelas nyata para pelaku auditor BPK ini melakukan dengan sengaja, punya kehendak dan mengetahui untuk disuap secara sadar yang bertentangan dengan jabatannya," cetusnya.

Azmi yang juga Sekretaris Jenderal (Sekjen) Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) menegaskan keterangan sekaligus fakta persidangan, atas keterangan Sugiharto dipersidangan yang menjabatan sebagai Super Vice President (SPV) Infrastruktur 2 Waskita kala itu pada proyek jalan Tol MBZ.

"Sehingga dari keterangan persidangan ini konsekuensinya siapapun yang menerima dana dari Rp 5 Miliar sampai dengan Rp 10 miliar apakah anggota BPK, pejabat BPK dan tim Pemeriksa, perlu ditetapkan segera sebagai tersangka menerima penyuapan dan ditangkap," tegas Azmi.

Menurut Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) ini, penerima suap dengan karakteristik secara aktif yang meminta maka semestinya dikenakan ancaman hukuman pidana maksimal berupa penjara seumur hidup.

Dan bagi siapapun yang menerima terkhusus bagi anggota tim BPK yang terlibat dalam kasus ini harus dipecat, diberhentikan dengan tidak hormat.

"Sebab oknum BPK ini melakukan perbuatan suap dan atau patut diduga menerima uang agar tidak melakukan sesuatu dalam fungsi jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya," ungkap Azmi.

Termasuk dari perkara suap ini, tambah Azmi, diperluas penyidikan KPK termasuk penyidik lainnya untuk menyelidiki perbuatan lainnya berupa tindak pidana pencucian uang termasuk adanya permufakatan jahat.

"Hal ini guna meminta pertanggungjawaban pidana pelaku sekaligus menjadi alasan penerapan pemberatan hukuman maksimal bagi pelaku," demikian Azmi Syahputra.

Sebagaimana diberitakan, Sugiharto, mantan Supervisor (SPV) di PT Waskita Karya, memberikan kesaksian di persidangan kasus korupsi terkait pembangunan Tol MBZ di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Selasa (14/5/2024).

Dia memberikan keterangan mengenai empat terdakwa dalam kasus ini: mantan Direktur Utama PT Jasa Marga Jalan Layang Cikampek (JJC), Djoko Dwijono; Ketua Panitia Lelang di JJC, Yudhi Mahyudin; Tenaga Ahli Jembatan di PT LAPI Ganeshatama Consulting, Tony Budanto Sihite; serta Sofiah Balfas yang dulunya menjabat sebagai Direktur di PT Bukaka Teknik Utama.

Menurut Sugiharto, jumlah uang yang diduga diberikan kepada BPK terkait proyek Jalan Tol MBZ ini mencapai Rp 10,5 miliar.

Dia mengatakan bahwa atasannya, Bambang Rianto, yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Operasional di Waskita Karya, memerintahkan dia untuk menyediakan uang tersebut.

"Saya pada saat itu diinstruksikan oleh Direktur Operasional saya, Pak Bambang, 'Tolong disediakan dana di Japek ini untuk keperluan ke BPK 10 milaran lah pak," kata Sugiharto dalam persidangan.

Untuk memenuhi permintaan itu, Sugiharto mengaku terpaksa membuat proyek fiktif. Proyek fiktif yang dimaksud berupa patching atau penambalan pada Jalan Tol MBZ pada tahun 2021.

"Ya pekerjaan fiktifnya itu saya karena sudah selesai 100 persen pak, pemeliharaan, hanya patching-patching saja buat saya pak," kata Sugiharto.

Diungkapnya, atasannya itu tidak mau tahu cara dirinya memenuhi uang pelicin Rp10,5 miliar permintaan BPK itu. Atasannya hanya ingin bisa segera tersedia uang Rp 10,5 miliar untuk keperluan BPK.

"Atasan saudara langsung siapa? Pak Dir?" tanya jaksa penuntut umum.

"Pak Dir Operasional," jawab Sugiharto.

"Tahu juga keputusan saudara?" tanya jaksa lagi.

"Kalau Pak Bambang ya tahunya yang penting ada untuk keperluan 10 miliar."

Sebagai informasi, dalam perkara ini jaksa penuntut umum telah mendakwa para terdakwa atas perbuatan mereka yang berkongkalikong terkait pemenangan KSO Waskita Acset dalam Lelang Jasa Konstruksi Pembangunan Jalan Tol Jakarta–Cikampek II elevated STA.9+500 – STA.47+000.

Kemudian terdakwa Djoko Dwijono yang saat itu menjabat Direktur Utama PT Jasa Marga, mengarahkan pemenang lelang pekerjaan Steel Box Girder pada perusahaan tertentu yaitu PT Bukaka Teknik Utama.

"Dengan cara mencantumkan kriteria Struktur Jembatan Girder Komposit Bukaka pada dokumen Spesifikasi Khusus yang kemudian dokumen tersebut ditetapkan Djoko Dwijono sebagai Dokumen Lelang Pembangunan Jalan Tol Jakarta–Cikampek II elevated STA.9+500 –  STA.47+000," kata jaksa penuntut umum dalam dakwaannya.

Akibat perbuatan para terdakwa, jaksa mengungkapkan bahwa mereka merugikan negara hingga Rp 510.085.261.485,41 (lima ratus sepuluh miliar lebih).

Selain itu, perbuatan para terdakwa juga dianggap menguntungkan KSO Waskita Acset dan KSO Bukaka-Krakatau Steel.

Menguntungkan KSO Waskita Acset sejumlah Rp 367.335.518.789,41 dan KSO Bukaka Krakatau Steel sebesar Rp 142.749.742.696,00" kata jaksa.

Mereka kemudian dijerat Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.