UU Perampasan Aset, Urgensi Pengembalian Hak Negara dan Masyarakat

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 29 April 2023 16:04 WIB
Jakarta, MI - Tingginya angka korupsi dalam beberapa tahun terakhir ini yang ditandai dengan kecurangan, memperdagangkan pengaruh termasuk penyalahgunaan kekuasaan penyelenggara negara terkhusus praktik pencucian uang yang dilakukan oleh penyelenggara negara harus dimaknai sebagai kejahatan yang serius (the most serious crime) guna mencegah dan memberantas optimal kejahatan ini. Maka menjadi urgensi keberadaan UU Perampasan Aset, sebab perangkat hukum yang ada saat ini belum mampu secara maksimal dalam mengeksekusi pengembalian aset hasil korupsi maupun kejahatan. "Mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana harus secara in rem melekat pada (kebendaannya), bukan pada orang (in personam) termasuk tidak dilakukan dengan cara konvensional," kata ujar pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Azmi Syahputra kepada Monitor Indonesia, Sabtu (29/4). "Melainkan melalui sistem pembalikan beban pembuktian guna mengembalikan aset negara dan menyita aset yang terkait dengan kejahatan," sambungnya. Jadi, lanjut Azmi, sekalipun tersangka atau terdakwa beralasan atau berupaya melarikan diri, sakit permanen, tidak diketahui keberadaan nya termasuk meninggal dunia benda hasil kejahatannya dapat disita. Menurut Azmi, praktik korupsi maupun trend modus pencucian uang yang dilakukan penyelengara negara bekerja sama dengan pihak lain dapat dimaknai bahwa negaralah sebagai korban (victim state). "Sehingga negara harus mengambil kembali aset yang dikuasai oleh pelaku tindak pidana korupsi atau para pelaku pencucian uang tersebut yang hasilnya berhubungan dari suatu persekongkolan kejahatan," jelasnya. Dengan adanya UU Perampasan Aset, ujar Azmi, dapat diartikan sebagai wujud "berikanlah kepada negara apa yang menjadi hak negara" sehingga Indonesia sebagai wujud penerapan negara hukum. "Tidak ada tempat bagi pelaku untuk menyembunyikan aset atau harta dari perbuatan tindak pidana korupsi serta tidak ada seorangpun yang dapat menikmati aset- aset hasil kejahatan," beber Azmi. UU ini, tegas Azmi, adalah menjadi sebuah urgensi sekaligus perwujudan nyata untuk mewujudkan kebijakan legislasi dan teroperasionalnya lebih luas kerjasama antara penegak hukum serta segala lapisan unsur masyarakat sebagaimana amanat Pasal 41 UU Tipikor. "Dimana masyarakat dapat berperan maksimal guna membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi termasuk tindak pidana pencucian uang," tutup Azmi Syahputra.