Respons ST Burhanuddin soal Putusan MK Larang Jaksa Agung dari Parpol

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 5 Maret 2024 14:55 WIB
Jaksa Agung ST Burhanuddin (Foto: Dok Kejagung)
Jaksa Agung ST Burhanuddin (Foto: Dok Kejagung)

Jakarta, MI - Mahkamah Konstitusi (MK) RI dalam putusan gugatan uji materi tentang Undang-Undang Kejaksaan menetapkan bahwa Jaksa Agung tidak boleh terkait dengan partai politik (Parpol)

Bahkan, jika sudah mundur dari partai politik, harus ada jeda selama lima tahun sebelum dapat menjadi Jaksa Agung. Hal tersebut pun disambut positif oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

"Kami menyambut baik putusan MK dimaksud untuk memperkuat independensi Kejaksaan sebagai Aparat Penegak hukum, sebagaimana yang telah berjalan selama ini di bawah kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanudin," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkem) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana dalam keterangannya, Kamis (29/2).

Akan tetapi Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan, bahwa bukan pihaknya yang mangajukan itu. "Wah aku nggak komentar dulu, bukan aku yang ngajuin lho, bukan kejaksaan yang ngajuin," ujar Burhanuddin di gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Selasa (5/3).

Putusan MK

Bagi calon Jaksa Agung sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung yang merupakan anggota partai politik, cukup melakukan pengunduran diri sejak dirinya diangkat menjadi Jaksa Agung. Adapun jangka waktu lima tahun telah keluar dari kepengurusan partai politik sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung, menjadi waktu yang cukup untuk memutuskan berbagai kepentingan politik dan intervensi partai politik terhadap Jaksa Agung tersebut.

Demikian pertimbangan hukum Mahkamah atas permohonan yang diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar terhadap uji materiil aturan mengenai syarat pengangkatan jaksa agung sebagaimana diatur dalam UU Kejaksaan. Sidang Pengucapan Putusan terhadap pengujian Pasal 20 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 (UU Kejaksaan) ini digelar pada Kamis (29/2/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.

Terhadap permohonan Perkara Nomor 6/PUU-XXII/2024 ini, Wakil Ketua MK Saldi Isra menguraikan secara lebih jelas bahwa seorang pengurus partai politik lebih memiliki keterikatan yang kuat terhadap partainya, karena pengurus dapat memilih untuk terlibat lebih dalam dengan agenda partainya. Hal ini, sambung Saldi, berbeda dengan keberadaan anggota partai politik. 

Sebab bagi anggota, partai politik dapat saja hanya berfungsi sebagai “kendaraan” untuk mencapai tujuan politiknya. Sehingga, syarat untuk sudah keluar selama lima tahun dari partai politik sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung, cukup diberlakukan bagi calon Jaksa Agung yang sebelumnya merupakan pengurus partai politik. Karena berdasarkan penalaran yang wajar, pengurus partai politik tersebut potensial memiliki konflik kepentingan ketika diangkat menjadi Jaksa Agung tanpa dibatasi oleh waktu yang cukup untuk terputus dari afiliasi dengan partai politik yang dinaunginya.

“Menurut Mahkamah, dalil Pemohon terkait dengan ketentuan norma Pasal 20 UU Kejaksaan adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah dalil yang dapat dibenarkan. Namun, sepanjang berkenaan dengan batas waktu sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun untuk seorang calon Jaksa Agung telah keluar dari keanggotaan partai politik, baik mengundurkan diri maupun diberhentikan, Mahkamah tidak dapat memenuhi karena telah ternyata terdapat perbedaan tugas, fungsi, dan kewenangan antara pengurus partai politik dan anggota partai politik yang dapat menunjukkan derajat keterikatan hubungan dengan partainya,” sebut Saldi dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.

Menimbulkan Ketidakadilan

Sementara terkait dengan permohonan Pemohon yang menghendaki agar syarat dimaksud melekat pada Pasal 20 huruf a UU Kejaksaan, Saldi menyatakan bahwa Mahkamah tidak dapat memenuhi sepenuhnya. Mengingat penambahan syarat yang dikehendaki Pemohon tidak tepat jika diletakkan pada syarat warga negara ataupun menambahkannya sebagai norma baru. Namun pada dasarnya Mahkamah menilai bahwa ketentuan norma Pasal 20 UU Kejaksaan telah ternyata menimbulkan ketidakadilan dan memberikan perlakuan berbeda di hadapan hukum. Namun karena amar yang diputuskan oleh Mahkamah tidak sama dengan Petitum yang dimohonkan oleh Pemohon, maka dalil-dalil Pemohon tersebut beralasan menurut hukum untuk sebagian.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a sampai dengan huruf f termasuk syarat bukan merupakan pengurus partai politik kecuali telah berhenti sebagai pengurus partai politik sekurangkurangnya 5 (lima) tahun sebelum diangkat sebagai Jaksa Agung,” ucap Suhartoyo membacakan Amar Putusan.

Kriteria Bagi Pengurus Parpol

Terhadap putusan ini, Hakim Konstitusi Arsul Sani menyatakan alasan berbeda, sementara Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memiliki pendapat berbeda terhadap pengujian norma Pasal 20 UU Kejaksaan ini. Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Arsul Sani menyatakan bahwa berkaitan dengan isu konstitusionalitas calon Jaksa Agung dari parpol, belum teridentifikasi apakah ketentuan tersebut hanya berlaku bagi pengurus parpol atau termasuk juga anggota parpol yang dibatasi menjadi Jaksa Agung. Oleh karenanya, ketiadaan pemaknaan pembatasan tersebut masih membuka ruang bagi Mahkamah untuk membatasi larangan yang menjadi Jaksa Agung hanya berasal dari pengurus parpol saja.

Selain itu, menurut Arsul, Mahkamah perlu menegaskan pihak yang masuk dalam kategori pengurus parpol yang harus telah berhenti lebih dahulu sekurang-kurangnya lima tahun sebelum diangkat atau ditunjuk menjadi Jaksa Agung oleh Presiden. Hal ini penting untuk diuraikan secara spesifik guna menghindari multitafsir yang mengakibatkan ketidakpastian hukum, ketika terdapat anggota parpol yang tidak lagi terlibat secara aktif dalam urusan kepartaian ditunjuk oleh Presiden untuk menduduki jabatan sebagai Jaksa Agung. Dengan demikian, penting bagi Mahkamah untuk menguraikan kategori pengurus parpol yang dimaksudkan tersebut.

Pada Sidang Pendahuluan lalu, Kamis (1/2/2024), Pemohon menyebutkan Pasal 20 UU Kejaksaan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Keterlibatan aktif penegak hukum dalam pragmatisme politik dengan sedang atau merangkap menjadi anggota politik dinilai akan merusak independensi kejaksaan secara inkonstitusional, utamanya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sebab, sambung Jovi, jaksa agung yang memiliki keterlibatan dengan partai politik sangat memungkinkan adanya kontrak politik atau mendapatkan tekanan dari kolega politiknya. Terlebih lagi, saat ini belum ada mekanisme checks and balances berupa fit and proper test pada proses pengangkatan dan pemberhentian jaksa agung.

Sehingga, jaksa agung dapat saja diberhentikan dari jabatannya apabila dianggap membangkang dari kolega politiknya. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta  agar Mahkamah menambahkan syarat “g. Tidak sedang terdaftar sebagai anggota partai politik atau setidak-tidaknya telah 5 (lima) tahun keluar dari keanggotaan partai politik baik diberhentikan maupun mengundurkan diri” dalam Pasal 20 UU Kejaksaan.