Operasi Senyap RUU Mahkamah Konstitusi

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 17 Mei 2024 19:48 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI (Foto: Dok MI)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Revisi Undang-Undang (RUU) Mahakmah Konstitusi MK tidak pernah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023, meski sudah disepakati sebagai usul inisiatif DPR sejak Februari 2023 lalu.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pun menargetkan RUU ini tuntas dibahas dalam waktu dekat. Belakangan, dari seluruh fraksi di DPR, hanya fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang tidak hadir dalam rapat tertutup antara Komisi III DPR dengan pemerintah yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (13/5/2024). 

Dalam rapat tersebut, semua sepakat RUU MK akan dibawa ke rapat paripurna. Revisi ini adalah yang keempat kali, yakni UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 

Hal ini dinilai kental dengan kepentingan politis. Misalnya soal pengaturan ulang masa jabatan hakim konstitusi dalam revisi ini ditengarai untuk mengontrol komposisi hakim agar sesuai dengan kepentingan politik pemerintah dan DPR.

Ada kekhawatiran revisi UU MK dapat menyandera hakim konstitusi. Revisi sewaktu-waktu dapat berjalan, terutama jika ada kebijakan atau putusan MK yang tidak menguntungkan kepentingan politik tertentu.

Pakar hukum tata negara (HTN) Feri Amsari menduga, banyak kepentingan yang hendak dicapai melalui upaya merevisi UU MK itu. Sebab, menurut Feri, ada yang janggal dalam aturan mengenai masa jabatan hakim yang diatur dalam draf revisi UU MK tersebut. 

Sehingga, dia mencurigai bahwa revisi tersebut hanyalah alat sandera untuk kepentingan politik. “Ini kan lucu-lucuan sebenarnya DPR ini. Kalau kita baca baik-baik (draf revisi), kalau (hakim konstitusi) lebih dari lima tahun harus konfirmasi lembaga pengusul, 10 tahun lanjutkan sampai 70 tahun. Itu logikanya dari mana,” kata Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas itu dalam sebuah wawancara dikutip pada Jum'at (17/5/2024).

Seharusnya, tambah dia, kalau orang yang sudah lama panjang tugasnya 10 tahun, dia yang harus dicek, siapa tahu karena faktor sumber daya manusia orang Indonesia yang kalau sudah mendekati 70 tahun sudah mulai pikun dan sebagainya. 

"Ini malah yang lima tahun lebih yang mau dikoreksi ulang, itu kan enggak nyambung logikanya,” jelasnya.

Seperti diketahui, Pasal 87 huruf a draf RUU MK mengatur, hakim konstitusi yang telah menduduki jabatan selama lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun harus mendapatkan konfirmasi dari lembaga pengusul apabila hendak melanjutkan jabatannya hingga 10 tahun. 

DPR memang mengubah masa jabatan hakim konstitusi dari semula maksimal 15 tahun atau hingga pensiun pada usia 70 tahun menjadi lima tahun dan dapat diperpanjang untuk satu periode berikutnya, maksimal 10 tahun.

Publik tak pernah dapat akses naskah akademik
Feri menyatakan, publik tidak pernah mendapatkan akses pada naskah akademik yang berisi kajian atau pertimbangan sehingga UU MK harus direvisi. Atas dasar itu, dia mengatakan, ada kecenderungan revisi UU MK dilakukan hanya untuk kepentingan politik jangka pendek. 

“Upaya revisi ini kepentingannya bukan soal legislasi yang baik dan benar, bukan soal penegakkan konstitusi yang baik dan benar, ini soal kepentingan politik jangka pendek yang harus diselesaikan,” kata Feri. 

Lantas apa kepentingan politiknya? Feri menyinggung soal pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020. Lalu, sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) terkait pemilihan legislatif (Pileg) 2024 yang sedang berlangsung di MK. 

“Siapa tahu ini alat sandera karena sidang PHPU Pileg dan menjelang Pilkada. Jadi banyak sekali alat kepentingan yang sedang mau digunakan melalui (revisi) UU MK ini,” jelasnya.

Hakim MK bisa mendadak diberhentikan
Pada Desember 2023, DPR dan pemerintah sudah menunda pengesahan revisi UU itu karena menuai penolakan sejumlah pihak. Salah satunya dari Menko Polhukam yang kala itu dijabat Mahfud MD.

Dari draf final yang siap disahkan oleh Rapat Paripurna DPR, UU MK yang baru dinilai bakal mengamputasi independensi MK sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman. 

Dikutip Monitorindonesia.com dari video instagramnya, Mahfud Md menyatakan bahwa jika RUU MK itu disahkan menjadi undang-undang, bisa saja sejumlah hakim MK mendadak langsung diberhentikan lembaga pengusulnya yakni Presiden, DPR, atau Mahkamah Agung (MA).

Menurut mantan Ketua MK ini, Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Juru Bicara Hakim MK Enny Nurbaningsih yang datang dari lembaga pengusul Presiden, serta Ketua MK Suhartoyo yang datang dari lembaga pengusul MA bisa saja langsung diberhentikan alias ditarik.

RUU MK Hakim MK Terancam
Tiga hakim konstitusi yang menyatakan terjadi kecurangan dalam proses Pilpres 2024, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, dan Suhartoyo, berpotensi kehilangan jabatan jika revisi UU MK disahkan.

Saat dirinya menjabat Menko Polhukam dalam kabinet pemerintahan Jokowi, Mahfud sempat menolak pembahasan RUU itu karena dikhawatirkan mengganggu independensi hakim jelang Pilpres 2024.

"Saya menolak pengesahan RUU MK itu, terutama terkait peraturan peralihan pasal 87, karena waktu itu isinya menurut saya tidak umum. Yang umum itu kalau ada aturan baru, yang sudah ada itu dianggap sah sampai selesainya masa tugas," kata Mahfud.

Di RUU itu disebutkan dengan berlakunya UU itu maka hakim MK yang sudah menjadi hakim lebih lima tahun dan belum 10 tahun itu, akan atau harus dimintakan konfirmasi ke lembaga yang mengusulkannya.  "Itu saya tidak setuju waktu itu, karena bisa mengganggu independensi hakim MK, pada waktu itu sedang menjelang pilpres [Pilpres 2024]," bebernya.

Ancaman serius
Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (16/5/2024) kemarin mengatakan revisi UU MK itu merupakan ancaman sangat serius bagi independensi lembaga peradilan terutama terkait masa jabatan dan pengawasan hakim konstitusi. 

Bahkan dia menilai akan terjadi ketegangan baru antara supremasi konstitusi dan supremasi hukum dengan kekuasaan politik berkaitan perubahan keempat UU MK yang masih dibahas.

Hamdan berpandangan, bahwa dalam revisi keempat ini ada pengaturan tentang masa jabatan hakim konstitusi yang dapat membuat hakim konstitusi tidak independen. 

Masa jabatan hakim MK selama sepuluh tahun itu dibagi dua, yakni lima tahun pertama yang merupakan hasil pemilihan, dan untuk perpanjangan lima tahun kedua harus mendapat persetujuan dari lembaga pengusul hakim konstitusi yang bersangkutan, yaitu DPR, Presiden, atau Mahkamah Agung.

"Ini menunjukkan posisi hakim konstitusi menjadi sangat tergantung pada lembaga pengusul, terutama untuk masa jabatan melanjutkan periode lima tahun selanjutnya,” tegasnya.

Kontradiksi aturan
Sesuai dengan kesepakatan DPR dan pemerintah, masa jabatan hakim konstitusi yang sebelumnya sampai 15 tahun atau maksimal hingga berusia 70 tahun, dikurangi menjadi lima tahun dalam satu periode.

Sementara hakim konstitusi yang masa jabatannya di Mahkamah Konstitusi lima tahun sampai kurang dari 10 tahun dapat diperpanjang atau tidak diperpanjang oleh lembaga pengusul yaitu DPR, presiden dan Mahkamah Agung.

Sedangkan hakim konstitusi yang masa jabatannya lebih dari 10 tahun otomatis akan menyelesaikan jabatannya hingga berusia 70 tahun. Berdasarkan ketentuan tersebut hanya dua hakim konstitusi yang masa jabatanya di MK lebih dari 10 tahun, yaitu ipar Presiden Jokowi, Anwar Usman, dan Arief Hidayat.

Hamdan Zoelva menilai ada kontradiksi dalam aturan revisi itu, yakni masa jabatan hakim konstitusi sepuluh tahun tapi ada yang sudah menjabat lebih dari sepuluh tahun masih mungkin melanjutkan untuk masa jabatan berikutnya.

Terkait masalah pengawasan hakim konstitusi dalam revisi itu, dia mengatakan lembaga pengusul  DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung bisa menunjuk satu orang untuk mengawasi kinerja hakim konstitusi. Padahal aturan lama seperti ini sebelumnya sudah dibatalkan.

"Sekali lagi saya ingin tegaskan dari segi substansi, rancangan undang-undang ini (RUU Mahkamah Konstitusi) benar-benar mengancam independensi sekaligus mengancam prinsip-prinsip dasar bagi negara hukum," jelasnya.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Surabaya Professor Hesti Armiwulan mengatakan MK hadir di era reformasi untuk mewujudkan mekanisme “check and balances” antar cabang kekuasaan negara sesuai prinsip negara demokrasi berdasar hukum.

Oleh karena itu jika rencana perubahan UU MK dilakukan secara tertutup dan diam-diam, tanpa keterlibatan masyarakat dan tidak ada yang dapat mengakses draf RUU itu, maka patut dicurigai ada itikad tidak baik yang dilakukan pembuat undang-undang, yaitu DPR dan Presiden terkait independensi Mahkamah Konstitusi.

"Untuk itu saya mengajak seluruh masyarakat, khususnya pemerhati hukum tata negara, mestinya menolak DPR melakukan pengesahan terhadap revisi Undang-undang Mahkamah Konstitusi kalau niatannya itu hanya sekadar bagi-bagi kekuasaan atau mencederai prinsip independensi, imparsialitas dari hakim konstitusi," ujarnya.

Secara keseluruhan, ada tiga revisi yang dilakukan dalam RUU Perubahan Keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yakni Pasal 23A, Pasal 27A, dan Pasal 87. 

Pasal 23 A dan Pasal 87 mengatur ulang masa jabatan hakim konstitusi, sedangkan Pasal 27A terkait komposisi anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pembahasan revisi UU Mahkamah Konstitusi pada masa reses tsudah mendapat izin dari pimpinan DPR. 

Saat ini DPR, tambahnya, tinggal mengagendakan rapat paripurna pengesahan perubahan keempat UU tersebut, meskipun ia belum dapat memastikan jadwal paripurna yang dimaksudnya.

MK tolak komentar, Jokowi: Tanya DPR!
MK menolak berkomentar RUU MK yang tengah dibahas di DPR RI itu. “Tidak ada tanggapan soal itu,” kata Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan sekaligus Juru Bicara MK Fajar Laksono di Jakarta, Kamis (16/5/2024).

Menurutnya, alasan MK tidak memberikan komentar karena RUU MK yang saat ini telah disetujui untuk dibawa pada pembicaraan tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR RI, berpotensi diuji di lembaga peradilan yang bertugas sebagai penguji undang-undang itu.

“Semua undang-undang yang disahkan, itu berpotensi diuji di MK, sehingga Mahkamah tidak boleh ikut mengomentari. Jadi, kalau mau mengomentari, ya nanti hakim-hakim itu komentar pada putusan apabila undang-undang itu nanti diuji. Kan semua undang-undang itu potensial,” katanya.

Sementara Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum mau berkomentar banyak mengenai hal tersebut. "Tanyakan ke DPR," kata Jokowi saat meninjau Pasar Sentral di Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, Selasa (14/5/2024).

Poin-poin perubahan dalam RUU MK

Aturan pemberhentian hakim
Perubahan keempat RUU MK menghapus poin d pada Pasal 23 terkait aturan pemberhentian hakim. Poin itu semula menyebutkan hakim MK bisa diberhentikan salah satunya karena habis masa jabatan.

Namun, dalam RUU terbaru, sebab pemberhentian karena habis masa jabatan dihapus. Sebagai gantinya, DPR dan pemerintah menyepakati menambah Pasal 23A terkait evaluasi hakim.

Pada poin lain, pemerintah dan DPR dalam naskah terakhir RUU MK perubahan keempat juga mengubah aturan pemberhentian karena terlibat kasus pidana. Dalam naskah awal, hakim MK diberhentikan salah satunya karena dijatuhi pidana dengan ancaman hukuman penjara lima tahun.

Sementara, dalam naskah terbaru hakim MK bisa langsung diberhentikan jika telah dijatuhi pidana, tanpa mencantumkan syarat ancaman hukuman penjaranya.

Evaluasi hakim MK
Pemerintah dan DPR menyisipkan pasal tambahan, yakni Pasal 23A yang mengatur soal evaluasi hakim mahkamah. Pasal itu menyebutkan hakim mahkamah maksimal hanya bisa menjabat selama 10 tahun dan dievaluasi setiap lima tahun.

Dalam setiap lima tahun, hakim mahkamah wajib dikembalikan ke lembaga pengusul yakni Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.

"Hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, setelah lima tahun menjabat wajib dikembalikan ke lembaga pengusul yang berwenang untuk mendapatkan persetujuan untuk melanjutkan jabatannya," demikian bunyi Ayat 2 Pasal 23A.

Nantinya, dalam kasus lembaga pengusul tidak menyetujui hakim melanjutkan jabatannya, lembaga pengusul harus mengajukan calon hakim baru. Ketentuan itu tertuang dalam ayat 4 pasal yang sama.

MKMK dari unsur DPR dan Presiden
Perubahan keempat RUU MK juga menambahkan perwakilan baru untuk anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Pada UU MK perubahan ketiga, MKMK berjumlah lima orang yang terdiri dari satu orang hakim MK, satu anggota praktisi hukum, dua anggota yang terdiri salah satu atau keduanya merupakan pakar hukum, dan satu orang tokoh masyarakat.

Sementara dalam naskah RUU MK perubahan keempat, DPR dan pemerintah menyepakati untuk mengubah unsur perwakilan anggota MKMK. Meski masih berjumlah lima orang, anggota MKMK nanti akan terdiri dari satu hakim MK, satu anggota usulan MK, satu anggota usulan MA, satu anggota usulan DPR, dan satu anggota usulan Presiden.

Selain anggota MKMK yang merupakan hakim mahkamah, semua usulan anggota MKMK dari tiap unsur perwakilan seperti MA, DPR dan Presiden, harus berasal dari tokoh masyarakat dan akademisi. Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 27A terkait kode etik dan pedoman perilaku hakim MK.

Masa jabatan hakim MK yang sedang menjabat
Poin terakhir perubahan keempat RUU MK yakni pada Pasal 87 mengatur soal masa jabatan hakim MK yang saat ini sedang menjabat. Hal itu berkaitan dengan aturan maksimal masa jabatan hakim 10 tahun.

Pasal itu menyebutkan hakim konstitusi yang telah menjabat selama lima tahun dan kurang dari 10 tahun hanya dapat melanjutkan masa jabatannya terhitung sejak tanggal penetapan dirinya sebagai hakim MK, dan dengan syarat disetujui lembaga pengusul.

Sementara, hakim MK yang telah menjabat lebih dari 10 tahun, akan berakhir masa jabatannya setelah berusia 70 tahun atau batas usia pensiun, jika mendapat persetujuan dari lembaga pengusul yang berwenang.