Mafia Tanah Harus Diganyang

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 23 Mei 2024 19:28 WIB
Ronsen Pasaribu menjelaskan bahwa sertifikat turunan dari Darmo Permai sudah teruji (Foto: Dok MI)
Ronsen Pasaribu menjelaskan bahwa sertifikat turunan dari Darmo Permai sudah teruji (Foto: Dok MI)

Surabaya, MI - Mafia tanah harus diganyang karena menelikung hukum, menimbulkan ketidakpastian hukum, dan menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat pemilik tanah yang sah. 

Mafia tanah tidak pandang bulu merongrong korban dari masyarakat umum bahkan pemerintah. Demikian simpulan hasil diskusi terpandu atau Focus Group Discussion (FGD) tentang Mafia Tanah, yang berlangsung di Surabaya, Selasa (21/5/2024). 

Diskusi dipandu oleh Albert Kuhon dan dihadiri sejumlah wartawan dari Jawa Timur.

Para pembicara dalam diskusi tersebut antara lain; Hotman M. Siahaan, Guru besar sosiologi Universitas Airlangga; Ronsen Pasaribu, mantan Direktur Konflik Badan Pertanahan Nasional; G.A. Guritno, Direktur PT Gatra Multimedia Utama; serta wartawan senior di Surabaya, Lugas Wicaksono 
dan Jaka Wijaya. 

FGD tentang Mafia Tanah diselenggarakan untuk menjawab keresahan akan maraknya persekongkolan jahat sekelompok mafia tanah yang mengangkangi hak pemilik tanah yang sah di wilayah Surabaya. 


Ada indikasi sekelompok ahli hukum dan pemodal yang bekerja sama dengan aparat oenegak hukum untuk memperalat warga dan merebut lahan secara licik dari pemiliknya yang sah. Mulai dari membuat surat keterangan palsu melalui kerjasama dengan aparat kelurahan, kemudian 
menggunakan surat-surat palsu itu ke pengadilan, hingga merekayasa kasus di pengadilan untuk merampas hak atas tanah dari pemiliknya yang membeli secara sah. 

Dalam kesempatan itu, Hotman Siahaan menegaskan banyak kekerasan agraria yang mengalami kebuntuan di Indonesia. Bentuk kolusi berbagai pihak yang terdiri penjahat, pemilik modal, perangkat hukum, penguasa, dan pihak lain seringkali bersikukuh menggunakan peraturan hukum yang melahirkan kekerasan agraria.

“Dalam berbagai sengketa, hasil kolusi komplotan mafia tanah sering mengakibatkan pertarungan yang tidak seimbang antara kekuatan hukum dengan kalangan masyarakat atau rakyat yang membeli tanahnya melalui proses yang benar dan dengan itikad baik,” kata Hotman Siahaan.

Sementara itu, dalam penelusurannya selama mendalami kasus-kasus sengketa tanah di Surabaya sebagai wartawan di Jawa Pos, Lugas Wicaksono memaparkan banyaknya indikasi mafia tanah memanfaatkan celah hukum dan pencatatan tanah yang masih belum rapi untuk menguasai tanah
secara sistematis, rapi, dan terencana.

Modus yang digunakan mulai dari memalsukan surat-surat tanah untuk menjual lahan milik orang lain, kemudian menggugat pemilik tanah, hingga indikasi kongkalikong dengan aparat hukum sehingga mendapat pengesahan dengan menang di pengadilan. Akibatnya, pemilik sah pun bisa ditelikung.

“Mafia tanah bahkan bisa membuat pemilik tanah yang sah, pembeli beritikad baik, membayar pajak, dan bahkan sudah memilihi sertifikat tanah bisa kehilangan haknya hanya karena gugatan orang yang mengaku sebagai ahli waris tanah yang memegang petok D. Pemegang sertifikat bisa kalah dengan pemegang petok D bisa menimbulkan ketidakpastian hukum,” kata Lugas.

Lugas memberi contoh kasus sengketa tanah di wilayah Darmo Permai di Surabaya antara Mulya Hadi dan Widowati serta Mulya Hadi dan Yayasan Cahaya Harapan Hidup Sejahtera. 

Dalam kasus ini, Mulya Hadi yang mengklaim memegang petok D atas lahan seluas 10.000 meter persegi menjual lahan tersebut kepada dua orang yang berbeda yaitu Stefanus Sulayman dan PT Mobira Raya.

Dalam perkembangannya, status lahan tidak dapat ditingkatkan karena di atas lahan tersebut telah terbit sertifikat hak guna bagunan (SHGB) atas nama Widowati dan atas nama Yayasan CHHS. 

Faktanya, Widowati telah menguasai lahan tersebut sejak tahun 1996 dari PT Darmo Permai. Sementara Yayasan CHHS melalui proses jual beli sebelumnya.

Mulya Hadi mengaku sebagai ahli waris pasangan almarhum Randim dan Ny Kasri, pertengahan Desember 2015 mendaftarkan perkara gugatan Nomor 280/P/2015/PTUN.Sby di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya. 

Dia menggugat Lurah Lontar (pada waktu itu) agar menerbitkan surat keterangan kepemilikan tanah sekitar 10.000 m persegi di Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, Surabaya. 

Katanya kepemilikannya tercantum dalam Petok D No 805 Persil 65 D-II dan mereka berusaha melengkapi persyaratan buat mengurus sertifikat tanah tersebut di Kantor Pertanahan Surabaya.

Ringkasnya, dokumen itu kemudian dijadikan sebagai objek jual-beli dengan pihak lain. Lalu, melalui gugatan di pengadilan negeri, ahli waris Randim meminta agar transaksi itu dibatalkan dan pengadilan menyatakan tanah tersebut adalah miliknya.

Setelah mendapat putusan pengadilan yang berisi kepemilikan itu, ahli waris Randim kemudian menggugat yayasan dan Widowati yang membeli tanah itu dari PT Darmo Permai.

“Yayasan itu digugat di pengadilan oleh sekelompok orang yang mengaku rakyat kecil namun mewakili kepentingan mafia tanah. Persidangannya dipimpin oleh hakim Itong Isaneni Hidayat yang belakangan tertangkap tangan menerima uang suap/korupsi dalam kasus lain,” ujar Jaka Wijaya.

Persidangan sengketa tanah milik yayasan itu berlangsung singkat pada tahun 2021. Dalam waktu persidangan kurang dari sebulan, majelis hakim membatalkan empat sertifikat tanah atas nama yayasan dan mengabulkan permintaan penggugat.

Padahal yayasan itu membeli empat lahan itu sekitar 20 tahun seblumnya dan sudah memiliki sertipikat atas tanah-tanah itu. 

Tidak lama setelah putusan itu, para penggugat mengeksekusi dan menguasai tanah yang jadi objek sengketa. Belakangan yayasan melakukan perlawanan hukum dan memenangkan kembali haknya melalui  peninjauan kembali yang diproses di Mahkamah Agung.

Tetapi ketika yayasan akan mengambil kembali haknya atas tanah itu, ternyata tanah tersebut sudah dijual kepada pihak lain. 

“Sampai sekarang Yayasan CHHS belum berhasil mendapatkan kembali haknya walaupun secara hukum sudah memenangkan kembali perkara itu,” lanjut Jaka.

Anehnya, justru pihak yang membeli lahan yayasan dari Mulya Hadi tengah melakukan gugatan balik dan saat ini memasuki tahap kasasi.

Sementara Widowati membeli dari PT Darmo Permai tanggal 24 Juni 1995, tanah seluas 6.835 m persegi dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 2103/Pradahkalikendal tertanggal 21 September 1994 yang berakhir pada tahun 2001 (sesuai sertifikat induk). Lahan tersebut yang terletak di Jalan Puncak Permai Utara III No. 5-7 Kota Surabaya. 

Ketika diperpanjang pada tahun 2002, SHGB No. 2103/Pradahkalikendal berganti buku menjadi SHGB No 4157/Pradahkalikendal yang berakhir haknya pada tanggal 24 Februari 2022. 

Sewaktu diperpanjang lagi tahun 2022, berubah lagi menjadi SHGB No 4157/Lontar (berlaku s/d 24 Februari 2042), karena disesuaikan dengan nama kelurahan domisili lahan tersebut. 

Menggunakan dokumen yang didapat dari lurah dan putusan pengadilan negeri, para ahli waris Randim memenangkan gugatan terhadap Widowati yang sudah menguasai tanah itu lebih dari 30 tahun dan sudah memiliki sertipikat. 

Mahkamah Agung menyatakan yayasan adalah pemilik yang sah atas tanahnya (melalui putusan peninjauan kembali No 1131/PK/Pdt/2022), tetapi menyatakan ahli waris Randim adalah pemilik sah atas tanah Widowati (putusan kasasi No 1030K/Pdt/2023 tertanggal 17 Mei 2023). 

Padahal, bukti-bukti yang digunakan oleh ahli waris Randim dalam kedua perkara itu sama. Dan ketua majelis hakim yang memutus perkara itu di Mahkamah Agung juga sama.

Lugas mengungkapkan juga, PTUN Surabaya dalam Putusan Nomor 171/G/2023/PTUN.SBY, membatalkan sejumlah dokumen yang diterbitkan oleh Lurah Lontar. 

Dokumen-dokumen yang sebelumnya digunakan ahli waris Randim menggugat pihak yayasan dan Widowati batal. Namun, kasus ini masih bergulir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya.

“Secara hukum transaksi PT Darmo Permai harus dianggap benar karena sudah berlangsung lama dan sudah banyak sertifikat yang terbit sebagai turunan dari sertifikat induk atas nama Darmo Permai".

"Karena sertipikat Darmo Permai pernah kita anggap benar, maka sertipikat turunannya juga harus kita anggap benar. Sepanjang tanah itu dibeli dari Darmo Permai, harus diakui kebenarannya karena prosesnya pasti melalui penelitian oleh panitia tanah yang punya kewenangan independen,” jelas Ronsel.

Pasaribu, mantan Direktur Konflik Pertanahan BPN. Ronsen Pasaribu mengupas masalah akar permasalahan, berupa penguasaan tanah adat. Bukan mustahil penguasaan tanah adat sudah secara sah dilimpahkan kepada pihak lain. Lalu diperjualbelikan secara sah kepada pembeli beritikad baik.

Kata Pasaribu, mafia tanah adalah komplotan pihak-pihak yang lihai yang bisa saja merampas hak-hak dari pembeli yang beritikad baik. Mafia tanah bisa meminjam kekuasaan aparat pemerintah, termasuk lurah, buat menerbitkan dokumen yang diperlukannya.

Selain itu, komplotan mafia tanah juga bisa meminjam tangan hakim buat mendapatkan haknya atau merampas hak orang lain. 

Guritno mengulas, kecurangan dan perampasan hak dari pemilik yang sah atau pembeli beritikad baik, sering terjadi secara berbelit-belit dan tidak mudah dilihat. Informasi tentang kecurangan itu harus dibuka kepada publik, sehingga semua pihak bisa melihat betapa busuknya konspirasi komplotan mafia tanah tersebut.