PIMD Menang Arbitrase di SIAC, Ferdinand Hutahaean: Tak Hilangkan Dugaan Tindak Pidana Melibatkan Pejabat Pertamina

Firmansyah Nugroho
Firmansyah Nugroho
Diperbarui 31 Mei 2024 15:45 WIB
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean (Foto: Istimewa)
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI -  Pertamina International Marketing and Distribution Pte Ltd (PIMD) berhasil memenangkan proses arbitrase melawan Phoenix Petroleum Philippines, Inc (Phoenix) dan Udenna Corporation di Singapore International Arbitration Center (SIAC) pada 30 November 2023.

Berdasarkan putusan arbitrase, Phoenix dan Udenna diwajibkan membayar lebih dari USD 142 juta kepada PIMD. Proses arbitrase ini merupakan hasil dari transaksi penjualan Gas Oil oleh PIMD yang tidak dibayar oleh Phoenix.

Setelah berbagai upaya penagihan gagal, PIMD memutuskan untuk membawa kasus ini ke arbitrase di SIAC pada 6 April 2022. Selama sekitar 20 bulan, arbitrase berlangsung dan akhirnya hakim di SIAC memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan PIMD.

Jumlah yang harus dibayar oleh Phoenix dan Udenna terdiri dari USD 124 juta utang pokok ditambah dengan berbagai biaya lainnya seperti biaya sandar, biaya jasa hukum, denda, dan biaya tambahan lainnya.

Tak hapus dugaan tindak pidana
Meskipun PIMD berhasil dalam arbitrase tersebut, namun menurut Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean bahwa putusan arbitrase terhadap Phoenix Philippines tidak menghilangkan dugaan tindak pidana yang melibatkan pejabat di Pertamina.

Dia berpandangan, perjanjian jual beli BBM antara cucu Perusahaan PT Pertamina, anak usaha Sub Holding Pertamina PT Pertamina Patra Niaga (PPN), PT Pertamina International Marketing and Distriution (PIMD) dengan Phoenix Potreleum Pilippines (PPP) memasuki babak baru di Arbitrase Internasional Singapore.

Gugatan yang diajukan oleh PT PIMD pada 30 November 2023 ternyata telah diputus oleh pihak Arbitrase yaitu Singapore International Arbitration Centre (SIAC).

Putusan itu memenangkan gugatan PT PIMD dan menyatakan bahwa Phoenix Potreleum Pilippines harus membayar kepada PT PIMD sebesar USD142 Juta atau sekitar Rp2,13 trilliun. Namun yang aneh adalah baru diberitakan pada akhir bulan Mei 2024.

"Aneh, meski sudah diputus 30 November 2023, baru diberitakan pada akhir bulan Mei 2024," kata Ferdinand saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Jum'at (31/5/2024).

Setelah putusan tersebut, tegas dia, masalah belum selesai dan putusan itu belum menjawab kerugian korporasi dan negara yang dialami atas transaksi jual beli BBM yang tak pernah dibayar oleh pembelinya, Phoenix Potreleum Pilippines kepada PT PIMD.

"Setelah putusan berjalan selama 6 bulan, kita mempertanyakan kepada Pertamina, kepada PT Pertamina Patra Niaga dan kepada PT PIMD, tentang langkah apa yang telah dilakukan untuk mengeksekusi putusan tersebut?," bebernya.

Apakah putusan tersebut dibiarkan saja tanpa ada upaya memaksa? Ataukah gugatan Arbitrase itu dilakukan hanya untuk sekedar memenuhi prosedur dan rekomendasi BPK agar korporasi terhindar dari dugaan perbuatan pidana dan korupsi?" tanya dia.

Pun, Ferdinand menegaskan bahwa semua pihak berharap PT Pertamina sebagai holding yang membawahi PT Pertamina Patra Niaga dan PT PIMD segera menjelaskan kepada publik langkah-langkah apa yang telah dilakukan untuk mengeksekusi putusan Arbitrase tersebut.

"Jangan sampai Arbitrase itu dilakukan hanya untuk menyelamatkan para Pejabat PT PIMD, PT PPN atau PT Pertamina dari upaya jeratan hukum atas dugaan fraud, transaksi jual beli tanpa analisis resiko dan tanpa jaminan yang memadai," bebernya.


Arbitrase tersebut, ungkap Ferdinand, tidak dapat menghilangkan unsur dugaan pidana yang sangat kental telah terjadi dalam transaksi yang merugikan ini.


Selain itu, perlu untuk mengamati Phoenix Potreleum Pilippines dan mencari data-data yang ada, menemukan bahwa aset Phoenix ternyata hanya berkisar 89,5 Miliiar Peso atau sekitar Rp 24 trilliun dengan liabilitas 69,4 milliar Peso atau berkisar Rp 19 trilliun.

"Di sinilah letak kejanggalan itu muncul, mengapa perusahaan dengan aset yang jumlah utangnya mendekati jumlah aset bisa mendapat BBM bernilai trilliunan rupiah dari Pertamina tanpa adanya jaminan yang memadai dan liquid," bebernya.

Besar dugaan pemberian BBM dari PIMD kepada Phoenix bisa terjadi karena adanya unsur pidana. Ia menduga terdapat pidana korupsi, suap, atau penyalahgunaan kewenangan.

"Kita berharap, Kejagung dan KPK tidak menutup mata dan tidak menutup telinga atas kejadian ini karena nilai uang yang sangat besar Rp2,13 trilliun. Bila digunakan membiayai kampus di negeri ini akan sangat menolong anak-anak bangsa ini untuk bisa sekolah atau kuliah lebih murah," tambahnya.

Jangan sampai uang sebanyak itu hanya dinikmati oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan hanya menguntungkan diri sendiri. Maka dari itu, d mendesak Kejagung dan KPK untuk segera turun tangan menyelediki perkara besar ini. 

"Uang negara harus dinikmati oleh seluruh rakyat bukan oleh pejabat semata," tutupnya.

Terkait hal ini, Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Jum'at (31/5/2024) menjelaskan bahwa PIMD sedang proses penegakan hukum atas keputusan SIAC. 

“Sesuai dengan status hukum PIMD yang didirikan di Singapura, PIMD tunduk pada yurisdiksi Pengadilan Singapura,” kata Irto.

Namun terkait dengan dugaan fraud pada PT PIMD sebagaimana diberitakan Monitorindonesia.com sebelumnya soal: "Dugaan Fraud Perjanjian Jual Beli Solar Pertamina Internasional Marketing and Distribution dengan Phoenix Potreleum Filipina", dia tidak berkomentar. 

Di sisi lain, Monitorindonesia.com di hari yang juga mengonfirmasi dan meminta tanggapannya soal berita "CBA Desak Kejagung Selidiki Pembelian 3 Unit Kapal Tongkang Bekas oleh Pertamina Internasional Marketing and Distribution (PIMD)", namun itu tidak berkomentar juga.