Trio JPU Kejati DKI akan Adili Bekas Oknum Panitera PN Jaktim, Rina Pertiwi Tersangka Suap Rp1 M dalam Perkara Eksekusi Sita Uang PT Pertamina

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 15 November 2024 15:49 WIB
Rina Pertiwi mengenakan rompi tahanan (Foto: Dok MI)
Rina Pertiwi mengenakan rompi tahanan (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Rina Pertiwi bekas oknum Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur bakal diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat (Jakpus) dalam waktu dekat ini.

Trio Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI telah ditunjuk, adalah Nopriyandi, Arief Nugroho dan Ely S. 

Sebelumnya, berkas perkara tersangka Rina Pertiwi terkait dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam proses eksekusi sita uang sebesar Rp244,6 miliar yang bersumber dari aset tanah milik PT. Pertamina itu telah dilimpahkan dari pihak Penyidik Kejati DKI kepada Penuntut Umum Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Timur untuk dibuatkan surat dakwaan.

Eksekusi dana adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang mewajibkan PT Pertamina untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi kepada pihak yang memenangkan gugatan, yaitu Ali Sofyan. Untuk itu, PN Jaktim menyita uang Pertamina untuk mengeksekusi putusan tersebut.

Sebelumnya, DKI Jakarta resmi menahan mantan panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Rina Pertiwi, terkait dugaan suap senilai Rp1 miliar dalam perkara eksekusi sita uang PT Pertamina. 

Uang sebesar Rp244,6 miliar itu merupakan dana yang disita sebagai bagian dari sengketa lahan di Jl. Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur.

Penahanan terhadap Rina dilakukan pada Rabu, 30 Oktober 2024. Rina Pertiwi diduga melanggar Pasal 12 huruf b, Pasal 11 dan Pasal 12 huruf B Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah melalui UU Nomor: 20 Tahun 2001, Atas Perubahan Atas UU Nomor: 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati DKI Jakarta, Syahron Hasibuan, menjelaskan bahwa tersangka Rina diduga menerima suap sebesar Rp1 miliar dari terpidana berinisial AS selama menjabat sebagai panitera pada 2020-2022. 

"Suap tersebut dimaksudkan untuk mempercepat eksekusi atas Putusan Peninjauan Kembali (PK) No. 795.PK/PDT/2019, yang mengharuskan Pertamina membayar ganti rugi kepada ahli waris pemilik tanah," kata Ali Sofyan.

Menurut Syahron, suap tersebut diberikan melalui saksi bernama Dede Rahmana dalam bentuk cek. Atas instruksi Rina, cek tersebut dicairkan dan diserahkan secara bertahap, baik melalui transfer maupun tunai. Atas tindakan ini, Rina dijerat Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan ditahan di Rutan Kelas I Pondok Bambu untuk 20 hari ke depan.

Kasus posisi

Kasus ini berawal dari konflik lahan 1,2 hektare di kawasan strategis Rawamangun yang dimanfaatkan Pertamina untuk Maritime Training Center (MTC) dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), serta membangun 20 unit rumah dinas. Ali Sofyan mengklaim kepemilikan lahan tersebut dengan bukti Verponding Indonesia dan Surat Ketetapan Pajak. Gugatan yang diajukannya sejak 2014 berbuah kemenangan hingga putusan PK pada 2019.

Setelah putusan itu, PN Jaktim menyita dana Pertamina untuk mengeksekusi keputusan ganti rugi kepada Ali. Pada 2022, Kejati DKI Jakarta menetapkan Ali Sofyan sebagai tersangka kasus gratifikasi kepada Rina, dengan putusan bersalah pada Juli 2023 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kasus ini mengungkapkan kembali dugaan penyalahgunaan wewenang dalam proses hukum, terutama di sektor peradilan. Kejati DKI Jakarta terus melakukan pendalaman untuk mengungkap peran pihak terkait dalam praktik suap yang melibatkan jumlah besar dan berdampak pada korporasi negara seperti Pertamina.

Kasus ini berawal dari sengketa lahan seluas 1,2 hektare di Jl. Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, antara PT Pertamina dan Ali Sofyan, yang mengklaim sebagai ahli waris pemilik lahan. Putusan hukum akhirnya memerintahkan Pertamina membayar ganti rugi sebesar Rp244,6 miliar kepada Ali.

Rina Pertiwi ditahan karena diduga menerima suap senilai Rp1 miliar dari terpidana lain berinisial AS. Uang suap ini diberikan melalui cek yang dicairkan bertahap untuk mempercepat proses eksekusi dana.

Rina Pertiwi dijerat dengan Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur tentang penerimaan suap dan gratifikasi oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri.

Selain sebagai penggugat yang memenangkan ganti rugi atas lahan, Ali Sofyan ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi kepada Rina Pertiwi pada tahun 2022. Pada Juli 2023, Ali dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Adapun kasus ini mempengaruhi aset PT Pertamina yang disita untuk memenuhi putusan pengadilan. Selain itu, pengungkapan kasus suap juga berdampak pada persepsi publik terhadap tata kelola aset negara.

Tak hanya itu, kasus ini menjadi sorotan karena mengungkap dugaan penyalahgunaan wewenang dan korupsi di sektor peradilan, terutama terkait dana besar yang melibatkan korporasi negara, seperti Pertamina.

Kini Kejati DKI Jakarta terus melakukan pendalaman kasus untuk memastikan keterlibatan semua pihak yang terkait dan mencegah adanya praktik serupa di masa mendatang. (an)

Topik:

Kejati DKI Jakarta PN Jakarta Timur Rina Pertiwi Panitera PN Jakarta Timur