Bea Cukai Pernah Dibekukan Diduga Sarang Pungli 'Uang Damai', Sekarang Piye Kabare?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 6 Mei 2024 00:17 WIB
Petugas Bea Cukai tengah memeriksa barang bawaan penumpang dari luar negeri pada 18 Februari 2023. (Foto: Dok MI/Ant)
Petugas Bea Cukai tengah memeriksa barang bawaan penumpang dari luar negeri pada 18 Februari 2023. (Foto: Dok MI/Ant)

Jakarta, MI - Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai pada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dipimpin Sri Mulyani kini menjadi sorotan publik usai usai beberapa kasus ramai diperbincangkan di media sosial beberapa waktu terakhir.

Kasus tersebut di antaranya sepatu milik Radhika yang dibeli dengan harga Rp 10.301.000, tapi dikenakan bea masuk Rp 31.810.343 oleh Bea Cukai dan kasus lainnya.

Awal problemnya karena kesalahan input data oleh perusahaan jasa titipan. 

Setelah itu, gantian muncul laporan penahanan bantuan alat belajar SLB A Pembina Tingkat Nasional Jakarta oleh Bea Cukai.

Di lain sisi warganet +62 juga mengkritik kinerja pegawai Bea Cukai terkait isu-isu yang belakangan viral di media sosial tentang penyitaan barang kiriman dari luar negeri hingga denda pajak. 

Mereka juga menyebut gaji para pegawai dinilai terlalu besar.

Buntutnya, Dirjen Bea Cukai Askolani yang merupakan Direktur Jenderal (Dirjen) Bea Cukai namanya turut mencuat seiring viralnya tindakan dari oknum para petugas tersebut.

Pasalnya, usai kebijakan yang dikeluarkan pihak Bea Cukai di bawah pimpinan Askolani terkait barang yang masuk dari luar negeri, dinilai merugikan masyarakat.

Sebelum Askolani, mantan Kepala Kantor Bea Cukai Makassar Andhi Pramono juga menjadi perbincangan karena keluarganya kerap memamerkan gaya hidup mewah.

Kekayaannya pun turut dikorek warganet. Imbas dari hal tersebut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mencopotnya. Dia juga diperiksa Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemeneku.

LHKPN Andhi yang janggal pun memantik penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksanya.

Buntutnya, Andhi Pramono tersangkut dugaan korupsi. Yakni gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Kini dia telah divonis 10 tahun penjara.

Menyoal bea cukai terkait dengan penyelewengan dan korupsi, ternyata institusi ini pernah dibekukan.

Dikutip dari artikel yang ditulis di laman resmi Media Keuangan (MK+) Kementerian Keuangan, institusi Bea Cukai dibekukan pemerintah Orde Baru karena menjadi sarang korupsi yang sedemikian parah. 

Presiden Soeharto kala itu sangat gerah dengan praktik korupsi yang sangat marak di Bea Cukai. 

Meski tak sampai dibubarkan, Soeharto pemilik slogan 'piye kabare, isih penak jamanku to?' itu memutuskan membekukan institusi ini. 

Meskipun telah tiada, sosok Soeharto presiden kedua Indonesia tetap memberi kesan dan pelajaran bagi rakyat Indonesia. 

Di era Orba, praktik korupsi, terutama pungutan liar (pungli), begitu lekat dengan pegawai Bea Cukai. Mereka melakukan kongkalikong dengan pengusaha ekspor impor.

Banyak pengusaha menyuap pegawai Bea Cukai untuk memuluskan penyelundupan. Praktik ini kerap disebut dengan "Uang Damai". 

Pada 6 Juni 1968, Menteri Keuangan dijabat oleh Ali Wardhana. Kala itu, terjadi banyak penyelewengan dan korupsi di Bea dan Cukai.

Menurut jurnalis Mochtar Lubis, praktik-praktik penyelundupan dan penyelewengan di Bea Cukai terjadi karena terjalin kongkalikong antara Bea Cukai dan importir penyelundup. 

“Dan kerja Bea Cukai hanya mengadakan ‘denda damai’ belaka yang memuaskan semua pihak yang bersangkutan. 

Menteri Keuangan patut memeriksa praktik-praktik ‘denda damai’ ini, yang kelihatan telah menjadi satu pola kerja yang teratur,” tulis Mochtar di harian Indonesia Raya, 22 Juli 1969, termuat dalam Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya. 

Menurut Mochtar, pimpinan lama harus diganti dengan orang baru yang tak terlibat dalam jaring-jaring vested interest (kepentingan pribadi) yang telah berakar lama antara Bea Cukai dan importir-penyelundup.

Selain itu, perubahan bukan hanya dari sisi kelembagaan, tetapi juga personalia pelaksananya. 

Namun nyatanya, keadaan demikian bertahan cukup lama.

Ketika Ali Wardhana mengunjungi kantor Bea dan Cukai di Tanjung Priok pada Mei 1971, dia melihat para petugas tengah bersantai. 

Dia juga mendapati kabar adanya penyelundupan ratusan ribu baterai merek terkenal. 

“Padahal, ia baru memberikan tunjangan khusus sebesar sembilan kali gaji. Kenaikan tersebut bukan sembarang hadiah, melainkan disertai tuntutan kenaikan pelayanan dan peniadaan penyelewengan,” tulis Saeful Anwar dan Anugrah E.Y. (ed.) dikutip dari Buku berjudul Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa.

Ali Wardhana akhirnya melakukan mutasi pejabat eselon II antarunit eselon I. Pada 1978, Direktur Cukai digantikan pejabat dari unit eselon beberapa kali.

Namun, ternyata cara ini tak memperbaiki kinerja Bea dan Cukai. Penyelewengan dan penyelundupan terus terjadi. Ali Wardhana kemudian diangkat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pengawasan Pembangunan pada 1983. 

Sementara Menteri Keuangan dijabat Radius Prawiro. 

Perubahan di Bea dan Cukai sangat diharapkan. Pada 29 Agustus 1983, Radius Prawiro melantik Bambang Soejarto, seorang perwira tinggi Departemen Hankam, sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

Ia menggantikan Wahono yang terpilih sebagai gubernur Jawa Timur. 

Dalam pidato pelantikan, Radius Prawiro menekankan bahwa para penyelundup “akan kita perangi sampai ke akar-akarnya.”

Apa mau dikata, penyelewengan dan penyelundupan Bea Cukai belum juga lenyap. 

Keluhan juga datang dari pengusaha, termasuk pengusaha Jepang, mengenai aparat Bea dan Cukai yang ribet, berbelit-belit, dan pada akhirnya melakukan pungutan liar.

Maka, setelah berdiskusi dengan para menteri dan mendapat penilaian dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi.

Wewenang Bea Cukai diambil alih Berpegang pada Instruksi Presiden, diambil keputusan untuk mempercayakan sebagian wewenang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada PT Surveyor Indonesia yang bekerja sama dengan sebuah perusahaan swasta asal Swiss bernama Societe Generale de Surveilance (SGS).

Ini artinya, banyak pegawai Bea Cukai terpaksa dirumahkan karena pekerjaan mereka diambil alih PT Surveyor Indonesia. 

Kewenangan itu kemudian dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setelah Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan diberlakukan secara efektif pada 1 April 1997. 

Yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Kepabeanan. 

Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 juga memberikan kewenangan lebih besar kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi yang diembannya.

Dengan pemberlakuan Undang-Undang tersebut, produk hukum kolonial tidak berlaku lagi. Begitu pula dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007, untuk menggantikan kelima ordonansi cukai lama.