Dugaan Jual-Beli WTP Kementan Miliaran Rupiah, Guru Besar UI Dorong Pembentukan BPK Watch

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 11 Mei 2024 00:36 WIB
Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Chudry Sitompul (Foto: Dok MI/Pribadi/Ist)
Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Chudry Sitompul (Foto: Dok MI/Pribadi/Ist)

Jakarta, MI - Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Chudry Sitompul mendorong pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Watch untuk memeriksa semua pemberian status WTP kepada kementerian atau lembaga negara non kementerian.

Hal ini didorong pakar hukum UI itu merespons, praktik jual beli opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sulit dihilangkan. Chudry menduga BPK tak mau mempersoalkan permasalahan dalam laporan keuangan yang ditemukan. 

Salah satu contohnya adalah dalam sidang lanjutan kasus korupsi eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) pada Rabu (7/5/2024) lalu yang menguak masih adanya indikasi jual-beli opini WTP dalam proses audit yang dilakukan oleh BPK.

Bahwa status WTP Kementan terganjal karena adanya indikasi fraud dengan nilai besar dalam pelaksanaan program food estate atau lumbung pangan nasional. Namun oknum auditor BPK meminta Rp 12 miliar agar kementan bisa WTP.

Hanya saja, berdasarkan informasi yang diperoleh dari eks Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta sebagaimana kesaksian Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Sesditjen PSP) Kementan, Hermanto yang dihadirkan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang tersebut Kementan hanya memberi Rp 5 miliar ke BPK.

"Mesti ada BPK Wacth juga gitu, misalnya WTP-WTP itu diperiksalah semuanya," kata Chudry saat dihubungi Monitorindonesia.com, Jum'at (10/5/2024) malam.

Chudry mendorong BPK Wacth, pasalnya pada awal 1980-an, ekonom Soemitro Djojohadikusumo (almarhum) pernah mengemukakan bahwa tidak kurang dari 30 persen kebocoran anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

"Teori yang dipake oleh bapaknya Prabowo Subianto, Soemitro Djojohadikoesoemo seorang ekonom dan politikus bahwa korupsi dana pemerintah 30 %" kalau sekarang bisa lebih itu," jelasnya.

Menurutnya, hal yang mesti diusut juga soal biaya perjalanan dinas. "Meetinglah, bimteklah apalagi kalau dah mulai dekat-dekat tahun anggaran habis kan ada aja kegiatannya seminar, bimbingan tehnik, judulnya saja begitu," ungkapnya.

Dalam catatan Chudry, tidak hanya sekali oknum BPK terlilit kasus jual beli audit dan opini WTP. Namun Chudry merasa aneh dengan KPK tak mengendus praktik seperti itu, hanya menunggu fakta persidangan baru terungkap.

"Jadi KPK kan aneh juga kalau misalnya sudah di pengadilan Syahrul Yasin Limpo sudah ngomong gini, KPK diam aja. KPK ngejelimat loh, orang nggak salah bisa disalahkan kok, apa lagi orang yang salah gitu. Banyak orang yang mestinya nggak harusnya tersangka, ditersangkakan gitu".

"KPK nggak tau lah, akhirnya transaksional juga, contohnya Firli Bahuri itu peras SYL," tambahnya.

Terkait apakah KPK dapat memeriksa WTP-WTP yang diberikan BPK kepada instansi-instasi, Chudry menilai bakalan susah karena KPK mempunyai ketergantungan dengan BPK untuk menghitung kerugian negara.

"Karena menurut UU begitu, tapikan berdasarkan putusan MK, kalau KPK bisa menggunakan BPKP bahkan akuntan biasa aja bisa," katanya.

Di lain pihak, pengajar pengauditan, Akuntansi Forensik, Akuntansi Sektor Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Rijadh Djatu Winardi juga mengungkapkan praktek jual predikat laporan keuangan WTP.

Rijadh Djatu Winardi mengatakan ada tiga sebab praktek jual predikat laporan keuangan WTP tersebut. Pertama, adanya permintaan dari auditor setelah menemukan kejanggalan dalam eksekusi anggaran lembaga atau kementerian.

"Itu bisa disebut sebagai pemerasan oleh auditor atau pimpinan di atasnya. Kedua, adanya permintaan dari lembaga atau kementerian agar temuan kejanggalan diabaikan supaya dapat predikat WTP. Ini namanya penyuapan. Ketiga, auditor mendapat tekanan dari pimpinan BPK karena adanya unsur kepentingan politis," katanya dalam sebuah wawancara, Jumat (10/5/2024).

Kepentingan politik bisa menjadi unsur tekanan dari pimpinan BPK karena menterinya mungkin saja, kata Rijadh, berasal dari partai yang sama dengan pimpinan BPK. 

"Sebenarnya auditornya ingin melaksanankan tugas sesuai dengan aturan dan profesional. Tapi karena tekanan pimpinan akhirnya terpaksa memberikan peringkat WTP," sambungnya.

Oleh karena itu, Rijadh menyarakan agar pemilihan pimpinan BPK harus dari orang-orang yang profesional dan beritegritas, serta bebas dari unsur politis. Artinya, tambah dia, tidak perlu ada lagi pimpinan BPK dari unsur partai politik seperti selama ini berlangsung. 

Rijadh juga menjelaskan soal opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)  atau unqualified opinion. WTP, katanya, adalah hasil yang menyatakan bahwa laporan keuangan lembaga yang diperiksa Auditor BPK telah menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu yang sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. 

Pada persidangan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (8/5/2024), mulanya jaksa menanyakan soal auditor BPK yang selama ini memeriksa keungan Kementan sebelum predikat WTP diberikan. 

Hermanto lalu mengaku kenal dengan auditor bernama Victor dan Haerul Saleh.  Victor diduga adalah auditor BPK yang melakukan pemeriksaan langsung di Kementan. Sementara Haerul Saleh adalah Ketua Akuntan Keuangan Negara IV atau atasan Victor.

Seiring berjalannya waktu mengenai pemenuhan atas permintaan auditor BPK. Dari Rp12 miliar yang diminta, hanya Rp5 miliar yang diberikan. Uang Rp5 miliar itu diberikan kepada auditor BPK usai Kementan mendapat uang dari vendor, hingga kemudian Kementan diberikan predikat WTP oleh BPK.

Terkait hal ini, KPK sendiri tak menutup peluang memanggil pihak lain yang namanya muncul sepanjang persidangan, termasuk auditor BPK. Apalagi, KPK masih menyidik dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh Syahrul Yasin Limpo.

"Penyidikannya untuk TPPU misalnya itu kan masih berjalan. Jadi sangat mungkin kemudian tim penyidik juga memanggil nama-nama orang yang kemudian muncul dalam proses persidangan untuk menelusuri lebih jauh terkait dengan aliran uang," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri.