Purbaya Tak Setuju APBN Ikut Tanggung Utang Whoosh

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 11 Oktober 2025 3 jam yang lalu
Kereta Cepat (Whoosh) (Foto: Ist)
Kereta Cepat (Whoosh) (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan pemerintah tidak setuju dengan usulan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara yang meminta agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ikut menanggung utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh.

Menurut Purbaya, permintaan tersebut tidak relevan karena saat ini dividen dari badan usaha milik negara (BUMN) sudah tidak lagi disetorkan langsung ke APBN, melainkan dikelola oleh Danantara. Dengan demikian, utang proyek Whoosh seharusnya menjadi tanggung jawab pengelola investasi tersebut, bukan dibebankan kepada APBN.

Meski begitu, Purbaya mengakui hingga kini dirinya belum diajak berdiskusi secara langsung dengan pihak Danantara mengenai usulan pembiayaan utang tersebut.

"Mereka sudah punya manajemen sendiri, sudah punya dividen sendiri yang rata-rata setahun bisa Rp80 triliun atau lebih. Harusnya mereka manage dari situ, jangan ke kita [APBN] lagi. Kalau tidak semuanya kita lagi, termasuk dividennya. Jadi ini kan mau dipisahin swasta sama pemerintah," kata Purbaya kepada awak media, Jumat (10/10/2025).

Sebelumnya, Chief Operating Officer (COO) Danantara, Dony Oskaria, menjelaskan bahwa pihaknya masih menunggu hasil keputusan terkait restrukturisasi Whoosh. Pasalnya, proyek tersebut turut menimbulkan beban kerugian bagi sejumlah BUMN, termasuk PT Kereta Api Indonesia (Persero).

Sebagai langkah antisipasi, Danantara telah menyiapkan beberapa opsi penyelesaian. Salah satunya adalah menyerahkan pengelolaan infrastruktur PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) kepada pemerintah.

"Beberapa infrastruktur-nya mungkin kita pikirkan juga apakah ini akan kita jadikan badan layanan umum [BLU] dan sebagainya. Ini beberapa opsi, tetapi intinya adalah kita ingin KCIC-nya berjalan dengan baik karena ini dimanfaatkan oleh masyarakat banyak," tuturnya.

"Apakah kemudian kita tambahkan equity yang pertama. Atau kemudian memang ini kita serahkan infrastrukturnya seperti industri kereta api yang lain infrastrukturnya itu milik pemerintah. Nah ini dua opsi inilah yang kita coba."

Untuk diketahui, konsorsium proyek KCJB melibatkan sejumlah BUMN, antara lain PT KAI, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA), dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR). Total nilai investasi proyek ini mencapai US$7,2 miliar, termasuk pembengkakan biaya (cost overrun) sekitar US$1,2 miliar. 

Proyek dibiayai melalui skema 75% pinjaman dari China Development Bank (CDB) dan 25% setoran modal pemegang saham, yakni PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) sebesar 60% serta Beijing Yawan HSR Co. Ltd. sebesar 40%.

Beban utang Whoosh turut berdampak pada kerugian yang diderita KAI. KAI masih menanggung kerugian hampir Rp1 triliun dari operasional Kereta Cepat Whoosh sepanjang semester I-2025.

Kerugian ini berasal dari porsi kepemilikan KAI di konsorsium pengelola proyek, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI). Berdasarkan laporan keuangan per Juni 2025, KAI membukukan rugi bersih sebesar Rp951,48 miliar dari pos asosiasi dan ventura bersama PSBI, sesuai dengan porsi kepemilikan 58,53%.

Apabila dihitung secara tahunan, potensi kerugian tersebut setara dengan sekitar Rp1,9 triliun. Sebagai perbandingan, sepanjang 2024 KAI menanggung rugi Rp2,69 triliun dari entitas yang sama. Tekanan ini telah dialami KAI sejak proyek Kereta Cepat Whoosh resmi beroperasi secara komersial pada Oktober 2023.

Topik:

purbaya-yudhi-sadewa kereta-cepat whoosh utang-whoosh