Tragedi KMP Tunu Pratama Jaya: DPR Desak Investigasi dan Reformasi Keselamatan Laut

Rizal Siregar
Rizal Siregar
Diperbarui 6 Juli 2025 12:00 WIB
Rofik Hananto (Dok. MI)
Rofik Hananto (Dok. MI)

Jakarta, MI -  Tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali kembali membuka luka lama sistem transportasi laut Indonesia. 

Insiden yang terjadi pada Rabu (2/7/2025) pukul 23.35 WIB itu tidak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga menjadi sorotan tajam dari Anggota Komisi V DPR RI, Rofik Hananto, yang menilai tragedi ini sebagai bukti nyata dari kegagalan sistem pengawasan keselamatan pelayaran nasional.

Menurut Rofik, insiden ini tak bisa dianggap sebagai kecelakaan biasa. Ia menyoroti absennya prosedur keselamatan standar di atas kapal, seperti pengarahan keselamatan (safety induction), petunjuk lokasi jaket pelampung, jalur evakuasi, hingga keberadaan sekoci. Banyak korban selamat disebutnya hanya karena menemukan jaket pelampung yang tercecer di dek.

“Hal ini jelas melanggar Pasal 117 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang meskipun telah direvisi lewat UU No. 66 Tahun 2024, tetap menempatkan keselamatan sebagai harga mati,” tegas Rofik dalam pernyataannya, Minggu  (6/7/2025).

Tak hanya itu, Rofik juga mengkritik temuan bahwa sejumlah korban tidak tercatat dalam manifes resmi. Ketidakakuratan data penumpang dinilai bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bisa berakibat fatal dalam proses evakuasi dan pertolongan.

“Ini adalah pelanggaran mutlak terhadap Pasal 137 UU Pelayaran. Jika penumpang tidak terdaftar dan terjadi kecelakaan, maka operator wajib bertanggung jawab penuh secara hukum dan memberikan ganti rugi,” ujarnya.

Rofik mengingatkan bahwa peristiwa seperti ini bukan pertama kalinya terjadi. Ia menyinggung tragedi KMP Yunicee pada 2021 yang juga dilatarbelakangi kelebihan muatan, manifes tak akurat, dan minimnya alat keselamatan.

“Kalau pengawasan tetap lemah, birokrasi permisif, dan operator tak peduli, maka ini bisa jadi bukan tragedi terakhir,” tandasnya.

Ia mendesak agar investigasi menyeluruh dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) bersama Kementerian Perhubungan, termasuk audit nasional terhadap seluruh moda transportasi penyeberangan. Menurutnya, perlu ada integrasi digitalisasi manifes dengan data identitas nasional agar validasi penumpang bisa lebih akurat dan mudah diawasi.

“Kita butuh penegakan hukum tanpa kompromi terhadap semua pihak yang lalai, mulai dari syahbandar, nahkoda, hingga operator kapal. Bahkan, aturan teknis turunan UU No. 66 Tahun 2024 pun harus direvisi agar prosedur keselamatan benar-benar menjadi standar wajib sebelum kapal diberangkatkan,” pungkasnya.

Topik:

Tragedi KMP Tunu Pratama Jaya Rofik Hananto Selat Bali Komisi V DPR