Komisi III DPRD Malut Dorong Evaluasi Kadis PUPR Risman Iriyanto Djafar

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 9 September 2025 17:30 WIB
Anggota Komisi III DPRD Malut, Iswanto (Foto: Dok MI/Jainal Andaran)
Anggota Komisi III DPRD Malut, Iswanto (Foto: Dok MI/Jainal Andaran)

Sofifi, MI - Ketua Komisi III DPRD Malut, Merlisa Marsaoly, memimpin rombongan meninjau proyek swakelola rumah dinas gubernur yang dikerjakan Dinas PUPR pada Senin (8/9/2025) pukul 13.25 WIT. Kunjungan ini mengungkap adanya ketidaksesuaian antara laporan progres proyek yang selama ini disampaikan oleh pihak Dinas PUPR dan kondisi nyata di lapangan. 

Dari pantauan langsung Komisi III, terlihat sejumlah pekerjaan yang belum rampung sesuai jadwal, menimbulkan pertanyaan serius tentang akuntabilitas dan kredibilitas laporan resmi yang selama ini dijadikan dasar perencanaan anggaran dan evaluasi proyek.

Anggota Komisi III, Iswanto, menekankan bahwa skema swakelola yang diterapkan dalam proyek ini tidak hanya terbukti tidak efektif, tetapi juga menyimpan risiko besar terhadap potensi kerugian anggaran. 

Menurutnya, penggunaan skema swakelola tanpa perhitungan matang terkait sumber daya, tenaga kerja, dan ketersediaan material justru membuat proses pelaksanaan proyek menjadi lambat dan rawan pemborosan. Temuan ini menjadi alarm serius bagi Gubernur Sherly Tjoanda, menuntut evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Dinas PUPR, agar kesalahan serupa tidak kembali terjadi pada proyek-proyek strategis lainnya yang dibiayai oleh anggaran publik.

Kunjungan DPRD ini jelas bukan sekadar inspeksi rutin. Langkah ini merupakan bentuk tindakan tegas untuk menagih akuntabilitas dan membongkar klaim progres proyek yang selama ini dipertontonkan sebagai keberhasilan. 

Dengan nilai anggaran sebesar Rp8,85 miliar, proyek rumah dinas gubernur seharusnya bisa diselesaikan tepat waktu dan sesuai spesifikasi, namun kenyataannya justru menimbulkan kontroversi dan mengundang pertanyaan kritis mengenai manajemen anggaran dan kinerja pejabat terkait. 

Temuan ini menjadi catatan penting bagi DPRD dan publik bahwa proyek-proyek berskala besar memerlukan pengawasan lebih ketat, transparansi penuh, dan evaluasi yang tidak bisa ditunda-tunda. Tidak cukup hanya mengandalkan laporan progres dari dinas terkait, karena realita di lapangan kerap berbeda dengan klaim resmi. 

Setiap keterlambatan, kekurangan material, atau penyimpangan pelaksanaan proyek berpotensi menimbulkan kerugian anggaran yang signifikan, sekaligus menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. 

Oleh karena itu, pengawasan yang komprehensif dan evaluasi yang berkelanjutan menjadi kewajiban bagi DPRD sebagai wakil rakyat, sekaligus menjadi alarm bagi Pemprov Malut untuk memperbaiki manajemen proyek.

Kunjungan lapangan yang dilakukan DPRD ini juga menegaskan bahwa inspeksi fisik proyek tidak bisa digantikan oleh laporan administratif semata. DPRD menekankan pentingnya keterlibatan seluruh pihak terkait, termasuk PPK, agar setiap temuan di lapangan dapat dicatat secara akurat dan ditindaklanjuti dengan segera. 

Kurangnya pendampingan atau pengawasan internal pada proyek swakelola, sebagaimana terlihat dalam praktik, memperlihatkan celah serius dalam manajemen proyek yang dapat merugikan anggaran publik dan menunda penyelesaian proyek strategis.

“Hampir semua anggota tinjau tadi. Torang hanya cuman observasi, karena turun tadi, PPK juga tidak dampingi, karena Torang turun tiba-tiba,” ujar Iswanto.

Dia menambahkan bahwa klaim progres 70 persen yang disampaikan Kadis PUPR selama ini tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan, dan hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai akurasi laporan proyek swakelola rumah dinas gubernur. Menurutnya, laporan yang diberikan hanya menjadi dalih administratif tanpa memperhatikan fakta pekerjaan yang belum selesai, sehingga transparansi dan akuntabilitas proyek dipertaruhkan. 

“Jadi, untuk gambaran progresnya itu kurang lebih sesuai dengan Kadis PUPR sampaikan 70 persen, itu berarti Kadis PUPR sabarang saja,” katanya, menegaskan bahwa klaim resmi jauh dari realitas fisik di lapangan dan menuntut evaluasi mendalam terhadap manajemen proyek serta kinerja Dinas PUPR agar risiko kerugian anggaran dapat diminimalkan.

Menurutnya, perhitungan progres yang dikemukakan Kadis PUPR tidak mempertimbangkan realita di lapangan, terutama terkait material dan jumlah tenaga kerja. 

“Kadis PUPR perhitungan begitu dengan material yang ada, artinya progres itu di lapangan. Kadis PUPR kemarin waktu rapat dengan Torang yang Pra KUA PPAS juga dia sampaikan yang sama. Dia bilang kurang lebih progres 70, artinya berartikan hobi melakukan pembohongan, tarada,” tegas Iswanto.

Sejak awal, Komisi III DPRD Malut sudah menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap skema swakelola yang diterapkan pada proyek rumah dinas gubernur. Masukan ini diberikan untuk memastikan proyek berjalan efektif, tepat waktu, dan sesuai anggaran, mengingat risiko kerugian anggaran dan ketidaksesuaian progres cukup tinggi.

Kunjungan dan pengawasan lapangan yang dilakukan DPRD menunjukkan bahwa rekomendasi tersebut belum sepenuhnya diindahkan. Beberapa masalah yang teridentifikasi, mulai dari ketidaksesuaian progres hingga kurangnya koordinasi internal, menegaskan urgensi evaluasi dan tindak lanjut yang lebih tegas terhadap Dinas PUPR.

“Kemudian, proyek swakelola ini kan sudah dari awal. Kita sudah membalas pantun di media. Torang sampaikan ke Kadis PUPR, tolong pertimbangkan dengan swakelolah,” ungkapnya.

Meskipun laporan resmi menyebutkan progres proyek rumah dinas gubernur telah mencapai 70 persen, kenyataannya di lapangan menunjukkan gambaran yang jauh berbeda. Banyak pekerjaan belum rampung, dan sejumlah tahapan yang dijadwalkan tertunda, sehingga menimbulkan keraguan terhadap akurasi laporan yang disampaikan oleh Dinas PUPR.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas skema swakelola yang diterapkan, yang seharusnya justru mempermudah pengelolaan proyek, bukan menimbulkan keterlambatan. 

Selain itu, keterbatasan tenaga kerja dan koordinasi internal yang lemah semakin memperburuk progres, membuat target awal yang dijanjikan sulit tercapai.

“Ternyata kan, ujung-ujungnya seperti ini, tidak bisa terselesaikan sesuai dengan kontrak, diadendum lagi sampai bulan Oktober. Hasil tinjauan di lapangan itu, progres yang disampaikan Kadis PUPR pada waktu rapat Pra KUA PPAS kemarin 70, oh, tidak sampai,” kata Iswanto.

Selain masalah progres yang jauh dari target, keterbatasan tenaga kerja dan lemahnya manajemen lapangan menjadi faktor penting yang memperlambat penyelesaian proyek. 

Jumlah personel yang terbatas membuat beberapa pekerjaan tidak dapat dijalankan sesuai jadwal, sementara koordinasi internal yang kurang optimal turut memperburuk kondisi, sehingga potensi keterlambatan semakin besar.

“Kita observasi kemarin tidak sampai, kemudian melihat kondisi lapangan terkait banyak pekerjaan yang belum dikerjakan, dan personel kerja dalam hal ini tukang juga tidak terlalu banyak. Jadi potensi Oktober juga, kalau seperti itu, pasti tidak dapat terselesaikan,” jelasnya, menekankan bahwa tanpa perbaikan serius dalam manajemen proyek, target penyelesaian yang diharapkan hampir mustahil tercapai.

Komisi III DPRD Malut menyoroti metode penghitungan progres yang digunakan oleh Kadis PUPR dalam proyek swakelola rumah dinas gubernur, yang dinilai tidak akurat dan menyesatkan. 

Menurut Iswanto, laporan progres yang menyebutkan 70 persen sebenarnya hanya menghitung material yang sedang dalam perjalanan atau sudah dikirim, bukan yang benar-benar terpasang dan siap digunakan, sehingga tidak mencerminkan kondisi fisik nyata di lapangan. 

“Kemudian, masalah progres yang disampaikan Kadis PUPR menyatakan material itu dalam perjalanan, jadi sudah dihitung, dan lain-lain hingga sudah 70, tidak bisa sebenarnya,” ujarnya, menegaskan bahwa klaim resmi ini jauh dari realitas dan menuntut evaluasi serta perbaikan metode pelaporan untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas penggunaan anggaran publik.

Menurut Iswanto, penghitungan progres proyek yang akurat seharusnya memperhitungkan material yang benar-benar telah terpasang, bukan sekadar material yang baru tiba di lokasi atau sedang dalam perjalanan. 

Metode perhitungan yang salah dapat menimbulkan kesan progres yang lebih tinggi dari kenyataan, sehingga laporan resmi menjadi menyesatkan dan tidak mencerminkan kondisi fisik proyek di lapangan. 

Hal ini sangat krusial untuk menjaga akuntabilitas penggunaan anggaran publik dan memastikan bahwa setiap tahapan proyek dapat dipertanggungjawabkan secara transparan, sehingga DPRD dan publik memperoleh gambaran yang jelas mengenai kemajuan pekerjaan.

“Progres itu berdasarkan material yang sudah terpasang. Material yang tiba belum, yang dihitung sudah terpasang. Kalau material yang tiba tetapi belum terpasang, itu tidak bisa dihitung,” katanya.

Iswanto menegaskan bahwa ketidakakuratan laporan progres proyek swakelola rumah dinas gubernur bukan sekadar masalah administratif, melainkan isu serius yang dapat berdampak pada transparansi, akuntabilitas, dan pengelolaan anggaran publik. Selisih antara klaim progres dan kondisi riil di lapangan menunjukkan lemahnya mekanisme pengawasan dan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap manajemen proyek oleh Dinas PUPR, agar setiap tahapan proyek benar-benar tercatat sesuai kenyataan.

“Sebenarnya, yang kita hitung progres adalah yang terpasang. Ini penting, jadi Kadis PUPR memang sudah berulang-ulang menyampaikan sesuatu yang tidak berbanding lurus dengan kondisi di lapangan,” katanya.

Iswanto menekankan bahwa proyek swakelola rumah dinas gubernur harus mendapatkan evaluasi menyeluruh karena melibatkan anggaran yang cukup besar. Kegagalan dalam pengelolaan dan pelaporan progres proyek dapat menimbulkan risiko kerugian negara serta menurunkan kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah daerah.

Selain itu, evaluasi juga diperlukan untuk memastikan setiap tahapan proyek tercatat secara akurat, mulai dari pengadaan material hingga progres fisik di lapangan. Tanpa langkah tegas, kesalahan penghitungan dan laporan yang menyesatkan bisa terus berulang dan memperburuk manajemen proyek.

“Dan ini penting agar dievaluasi, karena terkait proyek swakelolah yang menelan anggaran lumayan besar, maka ini penting untuk ditindaklanjuti,” ujar Iswanto.

Hasil inspeksi lapangan mengungkap adanya kesenjangan signifikan antara laporan resmi Kadis PUPR dan progres proyek yang sebenarnya. Banyak pekerjaan yang masih tertunda, meskipun material sudah tersedia di lokasi, sehingga laporan yang menyebut progres 70 persen jauh dari kenyataan. Kondisi ini menunjukkan lemahnya pengawasan internal dan perlunya perbaikan segera dalam mekanisme pelaporan, agar transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran publik tetap terjaga.

“Karena hasil observasi di lapangan ternyata progres itu masih jauh dari selesai. Apa yang disampaikan Kadis PUPR tidak sesuai dengan realita di lapangan. Kemudian, banyak material yang sudah ada dalam pantauan di lapangan, tapi banyak pekerjaan yang belum terselesaikan,” katanya.

Ketidakcocokan data ini menimbulkan kekhawatiran serius bahwa proyek swakelola rumah dinas gubernur kemungkinan besar tidak akan selesai sesuai dengan adendum waktu yang diberikan. 

Temuan ini mempertegas urgensi evaluasi menyeluruh terhadap manajemen proyek, termasuk tanggung jawab Kadis PUPR dalam memastikan setiap tahap pekerjaan dapat diselesaikan tepat waktu dan sesuai standar yang ditetapkan.

“Dan ini membuat teman-teman Komisi III merasa bahwa pekerjaan ini ternyata apa yang disampaikan Kadis PUPR tidak berbanding lurus dengan pekerjaan yang ada di lapangan, dan ini harus bertanggung jawab,” tambahnya.

Menurut Iswanto, laporan progres yang disampaikan Kadis PUPR tidak mencerminkan kondisi nyata di lapangan karena kemungkinan besar hanya menghitung material yang tiba di lokasi, bukan yang benar-benar terpasang. 

Metode penghitungan seperti ini menimbulkan kesan progres lebih tinggi dari kenyataan, sehingga laporan resmi menjadi menyesatkan. 

“Kemudian, kemungkinan besar dia menyatakan sudah 70. Itu dia menghitung material, atau material yang sudah tiba di lokasi tetapi belum digunakan. Itu kemungkinan tidak dihitung sebagai progres fisik. Tidak bisa dihitung, harus yang sudah terpasang,” jelasnya. Hal ini menjadi sorotan penting karena akurasi penghitungan progres menentukan legitimasi pembayaran dan pertanggungjawaban penggunaan anggaran publik.

Lebih lanjut, Iswanto menegaskan bahwa pembayaran proyek hanya dapat dilakukan atas material yang sudah terpasang di lapangan. Jika pembayaran dilakukan berdasarkan material yang baru tiba atau belum dipasang, hal itu tidak sah secara prosedur dan bisa menimbulkan risiko penyalahgunaan anggaran. 

“Karena yang terbayar itu yang terpasang. Tadi Torang kunjungan, baru rumah dinas, yang kantor Gubernur belum, baru rumah dinas,” katanya.

Untuk memastikan kebenaran progres dan menutup celah perhitungan yang keliru, Komisi III DPRD Malut berencana memanggil Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan melakukan penghitungan ulang di lapangan. Langkah ini bertujuan agar setiap tahapan proyek benar-benar tercatat sesuai kenyataan dan bisa diselesaikan tepat waktu. 

“Dan ini, insya Allah, akan ditindaklanjuti. Panggil PPK, bawa dokumen semua, sama-sama ke lapangan ulang untuk menghitung. Karena bagi Torang, waktu yang sudah ada dari awal, itu PUPR bisa mencapai untuk diselesaikan. Tetapi, apa, tara selesai, adendum lagi,” kata Iswanto.

Komisi III menekankan bahwa sejak awal, skema swakelola proyek rumah dinas gubernur sudah dipertanyakan oleh DPRD, tetapi Kadis PUPR tetap melanjutkan proyek tanpa menanggapi masukan tersebut secara serius. 

Upaya ini menimbulkan risiko kegagalan manajemen proyek dan potensi kerugian anggaran publik, karena pekerjaan yang awalnya dianggap sederhana ternyata membutuhkan perencanaan dan pengawasan lebih ketat. 

“Karena awalnya Komisi III sudah saran untuk dipertimbangkan masalah swakelolah ini, cuman Kadis PUPR dengan segala keyakinannya akhirnya sekarang seperti apa, bisa dilihat sendiri ke lapangan. Maka ini penting, Kadis PUPR harus dievaluasi, karena hampir semua pekerjaan swakelolah itu nanti bisa bermasalah, itu tidak selesai,” jelasnya.

Lebih jauh, proyek yang sebelumnya diklaim sebagai pekerjaan ringan ternyata menyimpan kompleksitas yang tinggi, baik dari sisi teknis maupun manajemen lapangan. 

Kata Iswanto, Ketidakcocokan antara perencanaan awal dan kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa Kadis PUPR kurang memperhitungkan beban kerja dan risiko yang ada. 

“Dulu Kadis PUPR ketika menjaminkan proyek swakelola yang proyek besar ini dilaksanakan sebagai swakelolah dengan dalil dasar bahwa pekerjaan itu pekerjaan ringan,” kata Iswanto.

Akibatnya, klaim progres proyek yang disampaikan jauh dari kenyataan, dan pekerjaan yang seharusnya dapat diselesaikan tepat waktu menjadi tertunda. 

Untuk itu, proyek yang awalnya dianggap ringan kini terbukti memiliki beban kerja yang signifikan, sehingga memerlukan evaluasi serius dan perbaikan manajemen proyek agar tidak menimbulkan kerugian lebih besar. 

“Hasilnya, dia tidak sampai misalkan berapa persen. Ternyata turun di lapangan, ini bukan pekerjaan ringan, sudah lebih dari berapa persen, sudah bisa disebut pekerjaan berat. Dan ini penting untuk menjadi catatan untuk PUPR,” tutupnya. (Jainal Adaran)

Topik:

DPRD Maluku Utara Maluku Utara PUPR Maluku Utara