Mereka yang Diduga Terlibat Ilegal Mining Berdasarkan LHP Ferdy Sambo: Ismail Bolong hingga Tan Paulin
Jakarta, MI - Masih ingat Ferdy Sambo? Terpidana kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) ternyata meninggalkan Laporan Hasil Penyelidikan (LHP) kasus dugaan tambang ilegal (Ilegal mining) sebelum akhirnya dipenjara. Kini penyelidikan tersebut "bak ditelan bumi".
Saat Ferdy Sambo usai menjalani sidang pembunuhan Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada November 2022 silam sempat mengamini dugaan keterlibatan oknum perwira tinggi Polri, Sambo tak menjelaskan sosok perwira tinggi yang dia maksud. "Itu melibatkan perwira tinggi," tegasnya.
Propam Polri yang dipimpinnya saat itu telah menindaklanjuti laporan soal keterlibatan oknum tersebut. Ferdy Sambo menerangkan tugas Propam selesai saat laporan hasil pemeriksaan diberikan pada pimpinan Polri. "Laporan resmi kan sudah saya buat, intinya kan seperti itu. Jadi bukan tidak tindak lanjuti. Ya nggak (dilepas) lah, itu kan buat laporan resmi," katanya.
Ferdy Sambo juga meminta awak media untuk menanyakan tindak lanjut kasus tersebut ke pihak yang saat ini berwenang. Dia bahkan meminta instansi lain turut andil dalam proses penyelidikan.
"Nah selanjutnya, kalau misalnya akan ditindaklanjuti, silahkan tanyakan ke pejabat berwenang. Atau kalau nggak, kasih instansi lain yang akan melakukan penyelidikan," ujarnya.
Meski dugaan suap tambang ilegal ke perwira tinggi Polri sempat berasal dari video pengakuan Ismail Bolong, mantan personel Polres Samarinda, namun Laporan Hasil Penyelidikan Ferdy Sambo kala itu banyak sekali pihak-pihak diduga terlibat di kasus tambang ilegal (ilegal mining). Mereka juga sudah membantah dugaan keterlibatannya. Lantas siapa kah mereka-mereka itu? Simak LHP Ferdy di bahwa ini!
LHP tertanggal 7 April 2022 ditandatangani Ferdy Sambo yang saat itu masih menjabat Kadiv Propam Polri. Surat Laporan hasil penyelidikan Divpropam Polri bernomor: R/1253/IV/WAS.2.4/2022/Divpropam tertanggal 7 April 2022 yang menyebut Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto tersebut ditujukan kepada Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.
Surat laporan hasil penyelidikan (LHP) Divpropam Polri dengan kop resmi Mabes Polri yang mencantumkan nama Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto ini, ditandatangani Irjen Pol Ferdy Sambo yang kala itu masih menjabat sebagai Kadiv Propam Polri.
Laporan hasil penyelidikan Divpropam Polri yang terang-terangan menyebut Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto ini diawali laporan informasi nomor: RILI-5/l/2022/Ropaminal tanggal 24 Januari 2022.
Berdasarkan laporan informasi itu, terbit surat perintah Kadiv Propam Polri nomor: Sprin/246/l/Huk.6.6/2022, tanggal 24 Januari 2022. Selanjutnya dilakukan penyelidikan terkait laporan informasi yang diterima.
"Sehubungan dengan rujukan di atas, disampaikan kepada Jenderal bahwa Divpropam Polri telah melaksanakan penyelidikan adanya penambangan batubara ilegal di wilayah Polda Kalimantan Timur yang diduga dibekingi dan dikoordinir oleh oknum anggota Polri dan Pejabat Utama Polda Kaltim," seperti bunyi surat laporan hasil penyelidikan Divpropam Polri bernomor: R/1253/IV/WAS.2.4/2022/Divpropam tertanggal 7 April 2022 sebagaimana diperoleh Monitorindonesia.com, Jumat (28/11/2025).
Surat berklasifikasi rahasia itu juga menyebut bawah Divpropam memperoleh temuan adanya pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan oleh oknum anggota Polri dan Pejabat Utama Polda Kaltim.
Pada surat yang diteken Ferdy Sambo itu dijelaskan Divpropam menemukan sejumlah fakta-fakta. Yaitu di wilayah hukum Polda Kaltim (Kalimantan Timur) terdapat penambangan batubara ilegal.
Isi surat laporan hasil penyelidikan Divpropam Polri bernomor: R/1253/IV/WAS.2.4/2022/Divpropam tertanggal 7 April 2022 menyebut nama Aiptu Ismail Bolong (kini sudah pensiun, Red)
Dalam surat itu tertulis Ismail Bolong memberikan uang koordinasi ke Bareskrim Polri. Uang diserahkan kepada Kombes Budi Haryanto selaku Kasubdit V Dittipidter.
"Uang diserahkan sebanyak 3 kali. Yaitu pada Oktober, November dan Desember 2021 sebesar Rp 3.000.000.999 setiap bulan untuk dibagikan di Dittipidter Bareskrim Polri. Selain itu juga memberikan uang koordinasi kepada Komjen Pol Agus Andrianto selaku Kabareskrim Polri secara langsung di ruang kerja Kabareskrim Polri, dalam bentuk USD (Dollar AS) sebanyak 3 kali. Yaitu bulan Oktober, November dan Desember 2021 senilai Rp. 2.000.000.000 setiap bulannya," jelas isi surat itu.
Pada surat laporan hasil penyelidikan Divpropam Polri disebutkan Kombes Pol Budi Haryanto (mantan Kasubdit V Dittipidter Bareskrim Polri) mengenal para pengusaha tambang batubara ilegal di wilkum (wilayah hukum) Polda Kaltim.
Selain itu, menerima uang koordinasi untuk kebutuhan operasional setiap bulan. Salah satunya untuk kunjungan pimpinan sebesar Rp 800.000.000.
"Dari Ismail Bolong menerima uang koordinasi antara Rp 500.000.000 sampai dengan Rp 700.000.000 setiap bulan. Total uang diterima sekitar Rp.3.000.000.000 sampai dengan Rp.5.000.000.000. Serta pernah menghadapkan Aiptu Ismail Bolong kepada Komjen Pol Agus Andrianto selaku Kabareskrim Polri sebanyak 3 kali," lanjut isi surat laporan hasil penyelidikan Divpropam Polri tersebut.
Disebutkan pula dalam surat laporan hasil penyelidikan Divpropam Polri bahwa selama menjabat sebagai Kasubdit V Dittipidter, tidak pemah melakukan penindakan penambangan batubara ilegal di Provinsi Kaltim. Dengan alasan adanya kebijakan dari atas (Dirtipidter Bareskrim Polri).
"Brigjen Pol Pipit Rismanto, Dirtipidter Bareskrim Polri mengenal Aiptu Ismail Bolong dari adanya surat Dumas (Pengaduan Masyarakat, Red) yang diduga bekerja di wilayah kawasan hutan Gunung Menangis wilayah kerja PKP2B milik PT Mahakam Sumber Jaya. (Aiptu Ismail Bolong bukan pemilik PKP2B dan tidak ada kerjasama). Tidak melakukan penindakan dikarenakan mendapat informasi dari Kombes Pol Budi Haryanto Kasubdit V Dittipidter bahwa ada atensi dari Komjen Pol Agus Andrianto Kabareskrim Polri," terang isi surat laporan hasil penyelidikan Divpropam Polri itu.
Berdasarkan surat laporan hasil penyelidikan Divpropam Polri yang ditujukan kepada Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo itu diperoleh adanya kesimpulan.
Yang pertama, bahwa di wilayah hukum Polda Kaltim terdapat beberapa penambangan ilegal.
Yang kedua, tidak melakukan penindakan dikarenakan mendapat informasi dari Kombes Pol Budi Haryanto, Kasubdit V Dittipidter bahwa ada atensi dari Komjen Pol Agus Andrianto, Kabareskrim Polri.
Dalam surat laporan hasil penyelidikan Divpropam Polri juga disebutkan sejumlah fakta.
"Bahwa di wilkum (wilayah hukum, Red) Polda Kaltim terdapat beberapa penambangan batubara ilegal yang tidak dilengkapi Izin Usaha Penambangan (IUP). Namun tidak dilakukan upaya hukum dari pihak Polsek, Polres, Polda Kaltim dan Bareskrim Polri. Karena adanya uang koordinasi dari para pengusaha tambang batubara ilegal," demikian bunyi isi surat laporan hasil penyelidikan Divpropam Polri bernomor: R/1253/IV/WAS.2.4/2022/Divpropam tertanggal 7 April 2022.
Divpropam Polri, dalam surat laporan hasil penyelidikan itu menegaskan telah menemukan adanya cukup bukti terkait pelanggaran anggota.
"Ditemukan cukup bukti adanya dugaan pelanggaran oleh anggota Polri terkait penambangan, pembiaran dan penerimaan uang koordinasi dari para pengusaha penambang batubara ilegal yang bersifat terstruktur dari tingkat Polsek, Polres, Polda Kaltim dan Bareskrim Polri," jelas isi surat tersebut.
Dalam surat laporan hasil penyelidikan Divpropam Polri bernomor: R/1253/IV/WAS.2.4/2022/Divpropam tertanggal 7 April 2022 yang menyebut Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto juga tertulis nama pengusaha batubara Tan Paulin, Leny, unsur TNI dan Setmilpres (Sekretariat Militer Presiden).
Kedua perempuan itu, Tan Paulin dan Leny diduga memiliki hubungan dekat dengan pejabat Polda Kaltim.
"Selain itu adanya kedekatan saudari Tan Paulin dan saudari Leny dengan PJU(Pejabat Utama) Polda Kaltim. Serta adanya intervensi dari unsur TNI dan Setmilpres," bunyi surat laporan hasil penyelidikan Divpropam Polri bernomor: R/1253/IV/WAS.2.4/2022/Divpropam tertanggal 7 April 2022.
Pada surat laporan hasil penyelidikan Divpropam Polri juga menyebut nama Kapolda Kaltim Irjen Pol Herry Rudolf Nahak.
"Adanya kebijakan dari Kapolda Kaltim Irjen Pol Herry Rudolf Nahak untuk mengelola uang koordinasi dari pengusaha tambang batubara ilegal di wilkum (wilayah hukum, Red) Polda Kaltim secara satu pintu. Melalui Dirreskrimsus Polda Kaltim untuk dibagikan kepada Kapolda, Wakapolda, Irwasda, Dirintelkam, Dirpolairud, serta Kapolres yang wilayahnya terdapat kegiatan penambangan batubara ilegal," lanjut isi surat tersebut.
Selain itu, surat laporan hasil penyelidikan Divpropam Polri juga diterangkan adanya penerimaan uang koordinasi dari para pengusaha tambang batubara ilegal kepada Kombes Pol Budi Haryanto (saat menjabat Kasubdit V Dittipidter Bareskrim Polri) dan Komjen Agus Andrianto selaku Kabareskrim Polri.
"Uang tersebut digunakan untuk kepentingan dinas yang tidak didukung oleh anggaran," lanjut isi surat itu.
Berdasarkan fakta dan kesimpulan tersebut Ferdy Sambo selaku Divpropam Polri saat itu memberikan rekomendasi kepada Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.
"Direkomendasikan kepada Jenderal agar Kapolda Kaltim melakukan pembenahan menejerial terkait penanganan dan pengelolaan tambang di Polda Kaltim dan Kabareskrim Polri melakukan pengawasan yang ketat serta menindak oknum yang masih melakukan kegiatan penambangan ilegal maupun pungli (gratifikasi) terhadap kegiatan penambangan illegal. Demikian untuk menjadi maklum," demikian akhir dari isi surat Divpropam yang ditandatangani oleh Ferdy Sambo.
Surat lengkap Ferdy Sambo
Ferdy Sambo melayangkan surat Nomor R/1203/IV/WAS.2.4/2022/Propam, klasifikasi: Rahasia, perihal: Laporan Hasil Penyelidikan.
Ditujukan kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia di Jakarta.
Adapun bunyi surat Ferdy Sambo itu sebagai berikut:
Disampaikan kepada Jenderal bahwa Divpropam Polri telah melakukan penyelidikan adanya penambangan batubara di wilayah Polisi Daerah Kalimantan Timur.
Yang diduga di bekingi dan dikoordinir oknum anggota Polri dan Pejabat Utama Polisi Daerah Kalimantan Timur, dengan temuan adanya pelanggaran.
Atau penyimpangan yang dilakukan oknum anggota Polri dan Pejabat Utama Polda Kaltim, selanjutnya ditemukan fakta-fakta sebagai berikut.
Point a bahwa di wilayah hukum Polisi Daerah Kalimantan Timur terdapat penambangan batubara illegal di hutan lindung dan di lahan masyarakat.
Yang tidak memiliki Izin Usaha Penambangan (IUP), dengan modus memberikan fee kepada pemilik lahan.
Yang berlokasi di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Bontang, Kabupaten Paser, Kota Samarinda dan Kabupaten Berau.
Pihak Terlibat
Para pengusaha/penambang batubara illegal (Illegal Mining) antara lain H Hakim, Nolan, Aan, Cipto, Adnan, Sutris, Burhan, Sani, Sahli, Ismail Bolong, Muhadi, Irwansyah.
Pelaku Illegal Mining lainnya, Fritz, Arya, Muhsin, Muhaimin.
Sebagian besar hasil Illegal Mining batubara dijual kepada Tan Paulin dan Leny yang diduga memiliki kedekatan dengan PJU Polisi Daerah Kalimantan Timur.
Point b, Direktorat Reserse dan Krimianal (Ditreskrim) Polisi Daerah Kalimantan Timur, tidak melakukan upaya penegakan hukum.
Atas adanya penambangan batubara dari PJU Polisi Daerah Kalimantan Timur, unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Sekretariat Militer Presiden (Setmilpres).
Memberikan Uang Koordinasi
Point c, sejak bulan Juli 2020, para pengusaha pelaku Illegal Mining batubara memberikan uang koordinasi.
Secara satu pintu melalui Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirrekskrimsus) atas petunjuk Kepala Polisi Daerah Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Polisi Herry Rudolf Nahak, M.Si.
Untuk dibagikan kepada PJU Polisi Daerah Kalimantan Timur dan Polres yang di wilayah hukumnya ada penambangan batubara illegal.
Point d, pada Juli 2020 – September 2021, uang koordinasi satu pintu dikelola oleh Dirrekrimsus Polda Kalimantan Timur, Komisaris Besar Polisi Bharata Indrayana, S.I.K.
Dengan sistem pembagian bervariasi antara Rp300 ribu – Rp80 ribu per Metrik Ton (MT).
Pada Oktober, November dan Desember 2021, uang koordinasi satu pintu dikelola Dirrekrimsus Polisi Daerah Kalimantan Timur Komisaris Besar Polisi Indra Lutrianto Amstono SH, M.Si, dengan pembagian sebagai berikut:
Pertama, Kepala Polisi Daerah Kalimantan Timur, Inspektur Jenderal Polisi Herry Rudolf Nahak, sebesar 50 persen, setara Rp5 miliar.
Kedua, Wakil Kepala Polisi Daerah Kalimantan Timur, Brigadir Jenderal Polisi Hariyanto, sebesar 10 persen, setara Rp1 miliar.
Ketiga, Inspektur Wilayah Daerah (Irwasda) Polisi Daerah Kalimantan Timur, Komisaris Besar Polisi Jefrianus ET sebesar 8 persen, setara Rp800 juta.
Keempat, Direktur Intelijen Keamanan Polisi Daerah Kalimantan Tmur, Komisaris Besar Polisi Gatut K, S.I.I, sebesar 6 persen, setara Rp600 juta.
Kelima, Direktur Polisi Perairan dan Udara Polisi Daerah Kalimantan Timur, Komisaris Besar Polisi Tatar N. S.I.I, sebesar 6 persen, setara Rp600 juta.
Keenam, Direktur Reserse dan Kriminal Khusus Polisi Daerah Kalimantan Timur, Komisaris Besar Polisi Indra Lutrianto Amstono SH, M.Si sekitar 9 persen, setara Rp900 juta.
Ketujuh, Ajun Komisaris Besar Polisi Bimo Aryanto SH, S.I.K, sebesar 5 persen setara Rp500 juta.
Kedelapan, Kepala Polisi Resort yang wilayah hukumnya terdapat kegiatan penambangan batubara illegal (Polres Kutai Kartanegara, Polres Samarinda), dan Polres Paser) sebesar 6 persen, setara Rp600 juta.
Uang koordinasi yang terkumpul kemudian didistribusikan oleh IPTU Jamaluddin Kepala Urusan Keuangan (Kaurkeu) yang diserahkan secara langsung maupun melalui staf pimpinan.
Point e, Ajun Komisaris Besar Polisi Arwin Amrih Wientama, S.I.K, selaku Kapolres Kutai Kartanegara menerima uang koordinasi satu pintu.
Uang koordinasi satu pintu dari Dirreskrimsus Komisaris Besar Polisi Bharata Indrayana sebesar Rp600 juta (Agustus 2021).
Dan Rp300 juta (September 2021) dari Komisaris Besar Polisi Indra Lutrianto SH, M.Si, menerima Rp500 juta (Desember 2021) dan Rp515 juta (Januari 2022).
Kapolres membagikan juga kepada Kasat Polairud Ajun Komisaris Polisi Teuku Zia Fahlevi, Kepala Satuan Intelijen Keamanan (Kasat Intelkam) Ajun Komisaris Wawan Aldomoro.
Dan Kasat Reskrim Ajun Komisaris Polisi Dodik Santoso masing-masing Rp45 juta – Rp50 juta.
Tidak Dilakukan Penindakan
Point f, di wilahah Polres Kutai Kartanegara Polisi Daerah Kalimantan Timur, khsususnya di Polsek Sebulu dan Polsek Samboja ditemukan penambangan batubara illegal.
Namun tidak dilakukan penindakan karena adanya aliran dana koordinasi dari pengelola tambang batubara illegal kepada pihak Polsek Ajun Komisaris Polisi Agus Kurniadi.
Saat menjabat Kapolsek Sebulu, pernah menerima uang koordinasi bulanan dari Kapten Lexi, Danramil Sebulu sekitar Rp3 juta – Rp5 juta, serta Rp11 juta.
Uang untuk acara pisah sambut Kapolsek IPDA Triko Ardiansyah SE, Kanit Reskrim Polsek Sebulu pernah menerima uang kordinasi dari Kapten Lexi sebanyak 7 kali total sebesar Rp28 juta (berasal dari Widia orang kepercayaan Kasum TNI).
Serta dari organisasi kemasyarakatan Ramaung sebesar Rp4 juta – Rp8 juta per bulan. Uang tersebut dikompulir oleh Wila Aatriana (PHL Polsek).
Dan didistribusikan kepada anggota Polsek Sebulu sebesar Rp500 ribu – Rp2 juta, setiap dua minggu sekali.
IPTU Candra Buana, S.I.K, Kapolsek Sebulu pada Desember 2021 dan Januari 2022 menerim uang koordinasi dari Tofik (anak buah H Sali) total Rp15 juta.
Dan tanah urukan untuk perbaikan markas Polsek, serta beras sebanyak 150 karung (total 750 kilogram) untuk bhakti sosial.
Polisi Sektor Samboja mengetahui di wilayah hukumnya terdapat kegiatan penambangan batubara illegal antara lain di kilometer 48 Kawasan Hutan Lindung Tahura.
Namun tidak melakukan penindakan dengan alasan menghindari benturan dengan oknum TNI yang diduga menjadi beking kegiatan tersebut.
Ismail Bolong dan Kabareskrim
Point g, bahwa AIPTU Ismail Bolong Ba Satintelkam Polresta Samaridna sebagai salah satu pengusaha/penambang batubara illegal.
Mempunyai 8 titik tambang Juni 2020 sampai dengan Agustus 2021, menjual batubara hasil penambangan illegal kepada Tan Paulin.
Dalam kegiatan tersebut memberikan uang koordinasi kepada PJU Polda Kaltim sebesar Rp2 juta, melalui Dirresskrimsus, PJU Polres Bontang sebesar Rp400 juta – Rp500 juta. Melalui Kasatreskrim dan Polsek Marang Kayu Rp40 juta – Rp50 juta.
Point h, AIPTU Ismail Bolong juga memberikan uang koordinasi ke Bareskrim Polri diserahkan kepada Komisaris Besar Polisi Budi Haryanto, S.I.K, SH.
Selaku Kasubdit V Dittipidter sebanyak 3 kali, yaitu Oktober, November dan Desember 2021, sebesar Rp3 miliar setiap bulan untuk dibagikan di Dittipidter Bareskrim Polri.
Selain itu, juga memberikan uang koordinasi kepada Komisaris Jenderal Polisi Agus Adrianto, SH, MH.
Selaku Kabareskrim Polri secara langsung di ruang kerja Kabareskrim Polri, dana bentuk USD ada 3 kali yaitu Oktober, November dan Desember 2021 senilai Rp2 miliar tiap bulan.
Point i, Komisaris Besar Polisi Budi Haryanto, S.I.K, M.H (mantan Kasubdit V Dittipidter Bareskrim Polri) mengenal para pengusaha tambang batubara illegal.
Di wilayah hukum Polda Kaltim dan menerima uang koordinasi untuk kebutuhan operasional setiap bulan, salah satunya untuk kunjungan pimpinan sebesar Rp800 juta.
Dari AIPTU Ismail Bolong menerima uang koordinasi antara Rp500 juta – Rp700 juta setip bulan. Serta pernah menghadapkan AIPTU Ismail Bolong kepada Komaris Jenderal Polisi Agus Adrianto, SH, MH, selaku Kabareskrim Polri sebanyak 3 kali.
Selama menjabat sebagai Kasubdit V Ditipidter tidak pernah melakukan penindakan penambangan batubara illegal di Provinsi Kalimantan Timur.
Dengan alasan adaya kebijakan dari atas (Dirtipidter Bareskrim Polri).
Point j, Briadir Jenderal Polisi Pipit Rismanto S.I.K, MH, Dirtipidter Bareskrim Polri mengenal APTU Ismail Bolong.
Dari adanya surat Pengaduan Masyarakat (Dumas) yang diduga bekerjasama di wilayah kawasan hutan lindung Menangis wilayah kerja PKP2B milik PT Mahakam Sumber Jaya.
AIPTU Ismail Bolong bukan pemilik PKP2B dan tidak ada kerjasama.Tidak melakukan penindakan dikarena mendapat informasi dari Komisaris Besar Polisi Budi Haryanto, S.I.K.
Kasubdit V Dittipidter bahwa ada atensi dari Komisaris Jenderal Polisi Agus Adrianto, SH, MH, Kabareskrim Polri.
Posisi Tan Paulin dan Leny
Point ketiga, berdasarkan fakta-fakta di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut.
Point a, bahwa di wilayah hukum Polisi Daera Kalimantan Timur terdapat beberapa penambangan batubara illegal yang tidak dilengkapi Izin Usaha Penambangan (IUP).
Namun tidak dilakukan upaya hukum dari Polsek, Polres, Polda Kaltim dan Bareskrim Polri, karena adanya uang koordinasi dari para pengusaha tambang batubara illegal.
Selain itu adanya kedekatan Tan Paulin dan Leny dengan PJU Polisi Daerah Kalimantan Timur.
Intervensi TNI dan Setmilpres
Serta adanya intervensi dari unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Sekretariat Militer Presiden (Setmilpres).
Point b, adanya kebijakan dari Kapolda Kaltim Inspektur Jenderal Polisi Herry Rudolf Nahak, M.Si, untuk mengelola uang koordinasi dari pengusaha tambang batubara illegal.
Selain itu adanya penerimaan uang koordinasi dari para pengusaha tambang batubara illegal kepada Komisaris Besar Polisi Budi Haryanto, S.I.K, MH.
Budi Haryanto saat itu menjabat Kasubdit V Dittipidter Bareskrim Polri.
Dan Komisaris Jenderal Polisi Agus Adrianto, SH, MH, selaku Kabareskrim Polri, uang tersebut digunakan untuk kepentingan dinas yang tidak didukung anggaran.
Point c, ditemukan cukup bukti adanya dugaan pelanggaran oleh anggota Polri terkait penambangan.
Pembiaran dan penerimaan uang koordinasi dari para pengusaha penambang batubara illegal yang bersifat terstruktur dari tingkat Polsek, Polres, Polda Kaltim dan Bareskrim Polri.
Keempat, berdasarkan kesimpulan di atas, direkomendasikan kepada Jenderal agar Kepala Polisi Daerah Kalimantan Timur melakukan pembenahan majerial terkait penambangan.
Dan pengelolaan tambang di Polda Kaltim yang masih melakukan kegiatan penambangan illegal maupun pungutan liar atau pungli (gratifikasi terhadap kegiatan penambangan illegal.
Kelima, demikian untuk menjadi maklum.
Tertanda Kepala Disi Profesi dan Pengamanan Polri, Ferdy Sambo, Inspektur Jenderal Polisi.
Kasus Ismail Bolong
Kini publik menantikan aparat penegak hukum "mengeroyok" kasus tersebut. Setidaknya sudah ada kasus yang terus ditagih publik, yakni tambang batu bara ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim).
Kasus mafia tambang ini tak kunjung tuntas hingga saat ini. Dittipidter Bareskrim Polri sudah menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini. Ismail Bolong yang merupakan mantan Anggota Satuan Intelkam Polresta Samarinda, BP, dan RP. Identitas BP dan RP belum disebutkan hingga saat ini.
Ismail Bolong adalah bekas anggota polisi berpangkat Aiptu sempat membuat video testimoni yang menyinggung nama eks Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto yang kini menjadi Wakapolri. Ia mengatakan, Agus menerima setoran Rp6 miliar dari seorang pengusaha untuk mengamankan tambang ilegal di Kalimantan Timur. Namun, penyelidikan belum sampai pada kasus suap. Melainkan, baru pada perizinan tambang.
Mereka dijerat Pasal 158 dan Pasal 161 Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Kemudian, Pasal 55 ayat 1 KUHP. Dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Pada awal Januari 2023 lalu, Penyidik Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidtter) Bareskrim Polri menyatakan selesai melengkapi berkas perkara Ismail Bolong (IB) cs.
Berkas para tersangka yang sempat dikembalikan jaksa penuntut umum itu telah dilimpahkan kembali ke Kejaksaan Agung (Kejagung).
"Selasa tanggal 10 Januari 2023 penyidik Dittipidter Bareskrim Polri telah mengirimkan kembali berkas perkara atas nama tersangka IB, BP, dan RP ke Kejagung," kata Kabag Penum Divisi Humas Polri terdahulu Kombes Nurul Azizah saat dikonfirmasi, Kamis (12/1/2023) silam.
Penyidik menyerahkan berkas perkara tahap I ke Kejagung pada 16 Desember 2022. Kemudian, penyidik menerima pengembalian berkas tersebut pada Selasa, 27 Desember 2022.
Penyidik langsung melengkapi berkas tersebut untuk dilimpahkan kembali ke Kejagung. Setelah pelimpahan kembali itu tak ada informasi lagi terkait kasus ini.
Pada Kamis (5/9/2024), Monitorindonesia.com, mengonfirmasi kelanjutan daripada proses berkas perkara itu, namun hingga pada Sabtu (7/9/2024), Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar tidak memberikan respons.
Begitupun dengan Karopenmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, juga tak merespons. Tetapi pada awal Januari 2024 lalu, Polisi mengklaim masih mendalami kasus mafia tambang tersebut. "Iya masih dalam proses pendalaman," kata Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri Brigjen Nunung Syaifuddin, Kamis (25/1/2024).
Dittipidter Bareskrim Polri menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini. Ismail Bolong yang merupakan mantan Anggota Satuan Intelkam Polresta Samarinda, BP, dan RP. Penetapan tersangka ini soal pengoperasian tambang secara ilegal.
Mereka dijerat Pasal 158 dan Pasal 161 Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Kemudian, Pasal 55 ayat 1 KUHP. Dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Kasus Rita Widyasari - Tan Paulin
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap bahwa banyak pihak menerima aliran dana hasil tindak pidana pencucian uang (TPPU) eks Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari terkait penerimaan uang per metrik ton batu bara.
“Terkait RW [Rita] ini juga sedang berjalan untuk TPPU-nya. Itu memang karena terkait dengan metrik ton, banyak sekali pihak yang menerima aliran dana dari saudari RW ini,” kata Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dikutip Jumat (28/11/2025).
Namun, Asep tidak merinci siapa saja pihak yang dimaksud. “Kami terus melacaknya,” ujarnya.
Sebelumnya, KPK telah memeriksa sejumlah nama besar, seperti Ketua Pemuda Pancasila Japto Soerjosoemarno; politikus NasDem Ahmad Ali; Dirjen Bea Cukai Askolani; Direktur Utama PT Sentosa Laju Energy Tan Paulin; pengusaha batu bara sekaligus Ketua PP Kaltim Said Amin; serta pengusaha Robert Bonosusatya.
Monitorindonesia.com pada Rabu (26/11/2025) telah mongofirmasi kepada Asep Guntur Rahayu dan Juru Bicara KPK Budi Prasetyo soal kapan mereka akan diperiksa. Namun tidak memberikan respons.
Sementara itu, KPK sempat menyatakan bahwa ada pihak-pihak diduga kecipratan uang gratifikasi terkait pengiriman metrik ton batu bara yang diterima Rita Widyasari. Salah satunya diduga Paulin Tan alias Tan Paulin.
“Dari uang (pengiriman metrik ton batu bara) tersebut kemudian mengalirkan ke beberapa orang, beberapa perusahaan, diantaranya saudara TP (Tan Paulin),” kata Asep Guntur Rahayu di Jakarta pada Kamis (19/9/2024) silam.
Namun demikian, Asep enggan memerinci total uang yang diduga diterima wanita yang dikenal sebagai ratu batu bara tersebut. Pun Aliran dana itu diyakini berkaitan dengan kasus dugaan pencucian uang yang menjerat Rita.
“Kita sedang menangani (kasus) saudari RW (Rita Widyasari) ini, TPPU-nya (tindak pidana pencucian uang). Kita mencari lah ke mana uang yang dari situ (pengiriman metrik ton), gitu. Dari saudara RW itu, ya, salah satunya ke TP,” kata Asep.
Menurut Asep, pihaknya mendalami alasan Tan Paulin menerima uang dari Rita itu. Perjanjian yang terjalin antara dua orang itu juga diulik.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto terdahulu sempat dikonfirmasi Monitorindonesia.com soal apakah kemungkinan akan melakukan pemeriksaan lagi kepada Tan Paulin? Dia menyatakan belum ada informasi lagi kawan-kawan penyidik. "Belum terinfo dari penyidik," singkatnya.
KPK sebelumnya mengaku telah memanggil Tan Paulin untuk melakukan pemeriksaan saksi pada Kamis, 29 Agustus 2024. “KPK mendalami terkait transaksi yang dilakukan oleh saudari TP di Kaltim ya, transaksi batu bara,” kata Tessa.
Tan Paulin saat itu diulik soal penggeledahan rumah dan penyitaan beberapa dokumen. Soal penggeledahan tersebut, kubu Tan Paulin geram terhadap pemberitaan terhadap dirinya, padahal dirinya hanya sebagai saksi.
Adapun Rita sendiri telah dieksekusi ke Lapas Perempuan Pondok Bambu setelah divonis 10 tahun penjara pada 6 Juli 2018 karena menerima gratifikasi Rp110,72 miliar dan suap Rp6 miliar. Penyidikan TPPU terhadap Rita masih berjalan.
Asep mengakui banyaknya penerima dana membuat pengembangan kasus berjalan lamban. Penyidik membutuhkan waktu untuk menelusuri aliran uang dan memeriksa kembali hubungan tiap penerima dengan dugaan korupsi perizinan batu bara.
Ia menegaskan aset yang disita masih berada di rumah penyimpanan barang rampasan negara (rupbasan). Tidak ada pengembalian, termasuk kendaraan yang sebelumnya diambil dari rumah Japto.
Dari rumah Japto, penyidik menyita 11 mobil: Jeep Gladiator Rubicon, Land Rover Defender, Toyota Land Cruiser, Mercedes-Benz, Toyota Hilux, Mitsubishi Coldis, dan Suzuki. KPK juga mengamankan uang rupiah dan asing senilai Rp56 miliar, dokumen, serta barang bukti elektronik.
Penyitaan lainnya dilakukan di rumah Ahmad Ali. Penyidik mengambil uang rupiah dan valas senilai Rp3,49 miliar, dokumen, barang elektronik, serta tas dan jam tangan bermerek.
“Seingat saya belum ada yang dikembalikan. Tapi nanti kami cek, karena ini sudah ditaruh di Direktorat Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi,” kata Asep.
KPK sebelumnya menegaskan penyidikan dugaan penerimaan uang per metrik ton dalam ekspor dan eksplorasi batu bara menjadi pintu masuk pengembangan TPPU Rita. Ia ditetapkan sebagai tersangka TPPU sejak 16 Januari 2018 bersama Khairudin, Komisaris PT Media Bangun Bersama.
Keduanya diduga mencuci uang hasil gratifikasi perizinan dan proyek di Kukar dengan nilai mencapai Rp436 miliar. Rita kini masih menjalani hukuman di Lapas Pondok Bambu.
Topik:
Ferdy Sambo Tambang Ilegal Tambang Batu Bara Polri Tan Paulin Ismail Bolong Rita Widyasari KPKBerita Terkait
Soal Pemerasan Noel, KPK Panggil Marketing PT Kreasi Edukasi Manajemen Indonesia Nur Aisyah
7 jam yang lalu
KPK Panggil Direktur PT Sarana Katiga Nusantara Woro Edgar, Diperiksa soal Pemerasan Noel
7 jam yang lalu
KPK Ogah Balas Dendam ke Linda Susanti Bikin Klaim Palsu soal Aset yang Disita
7 jam yang lalu