Unesco Kolaborasi dengan Komnas HAM dan LBH Pers Menyelenggarakan Seminar "Jurnalisme di Bawah Kepungan Digital"

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 9 Desember 2022 22:40 WIB
Jakarta, MI - United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) Jakarta berkolaborasi dengan Komnas HAM RI dan LBH Pers menyelenggarakan seminar bertema “Jurnalisme di Bawah Kepungan Digital” (Journalism Under Digital Siege) untuk memperingati World Press Freedom Day (WPFD) sekaligus menjadi rangkaian Hari Hak Asasi Manusia (HAM) 2022, Jum'at (9/12). Seminar ini membahas tentang tantangan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers di era digital. Dalam hal ini, yang menjadi refleksi atas tantangan keberlanjutan peran media untuk memenuhi kepentingan publik terkait informasi. Pada sesi khusus, Komnas HAM melakukan sosialisasi Standar Norma Pengaturan (SNP) tentang Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi yang dirumuskan Komnas HAM. Ana Lomtadze, Program Specialist, Unit Komunikasi dan Informasi, Unesco Jakarta mewakili Direktur Unesco Jakarta menyampaikan pers yang independen, profesional, merdeka dan beragam penting untuk menjaga akuntabilitas kekuasaan. “Serta untuk memberikan ruang bersuara bagi kelompok marjinal dan mengkontekstualisasi tantangan nasional dan global,” kata Ana Lomtadze dalam acara yang berlangsung di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat itu. Ana menambahkan UNESCO percaya perkembangan teknologi perlu memberikan penghormatan pada pada freedom of expression, privasi, dan keselamatan jurnalis. “Platform social media perlu melakukan sesuatu lebih kuat lagi untuk mengatasi sebaran disinformasi, ujaran kebencian dan tetap memberikan perlindungan pada kebebasan berekspresi,” ungkapnya. Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Sugiro, menyampaikan kebebasan berekspresi, termasuk di dalamnya kebebasan pers merupakan salah satu hak yang penting dan mendukung hak-hak lain. “Jurnalis merupakan bagian dari pembela hak asasi manusia yang saat ini mengalami dampak dari disrupsi teknologi,” jelas Atnike. Menurut Atnike, teknologi memberi ruang media digital tumbuh subur, namun tidak diikuti dengan kualitas pemberitaan tapi sekedar mengejar klik atau pembaca. “Jurnalisme di era cengkaraman digital juga mengalami tekanan. Ketika media tidak bisa menjaga integritas, mendorong demokrasi lebih baik sebaliknya menyebarkan disinformasi merupakan dampak negatif dari disrupsi teknologi,” katanya. Ia menyampaikan perkembangan teknologi diakui mengembangkan demokratisasi pemberitaan dan cara membangun relasi dengan pembaca. “Sisi lain teknologi juga memfasilitasi bentuk baru kekerasan dan serangan terhadap jurnalis, selain memunculkan tantangan bagi bisnis media, dan juga tempat penyebaran konten berbahaya,” ujarnya. Atnike bahkan menyebut bahwa kebebasan pers dalam berekspresi kini tengah terancam oleh peraturan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (UU KUHP) yang baru saja disahkan pemerintah. Menurutnya, peraturan kebebasan berekspresi yang tertuang dalam UU KUHP tersebut, berpotensi mengkriminalisasi jurnalis dalam memberikan pandangan. Khususnya, dalam mengkritik pemerintah. "Dimana peraturan yang ada, memberikan ruang untuk melakukan kriminalisasi terhadap jurnalis, terhadap individu yang mengutarakan pandangannya. Terutama pandangan-pandangan yang bersifat kritik kepada otoritas," ujar Atnike. Soal UU Pers, menurut Atnike, hanya mampu melindungi jurnalis yang memiliki kartu profesi saja. Sedangkan, di era digital saat ini sudah mulai bermunculan jurnalis warga atau biasa disebut dengan citizen journalism. "Jadi, ada kompleksitas yang menyebabkan menurut pandangan saya. Pemidanaan itu jangan dijadikan cara utama dalam menghadapi persoalan defamasi," ujar Atnike. Direktur Jendral Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo), Usman Kansong yang hadir dalam acara tersebut membantah bahwa adanya aturan KUHP yang membatasi kebebasan berekspresi bagi pers. Menurutnya, apabila ada masalah yang berkenaan dengan pers, maka yang digunakan adalah Undang-Undang (UU) Pers Nomor 40 Tahun 1999. Sebab, kata dia, KUHP bersifat generalis, yang artinya bukan untuk pers. "Soal kebebasan pers, sebetulnya di KUHP tidak ada yang spesifik mengatur pers. Coba periksa, adakah satu kata yang menyebutkan pers? Dengan demikian, maka terkait dengan pers yang berlaku adalah Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999," ujar Usman. Kemudian, Usman berpesan bahwa seharusnya pers tidak perlu khawatir apabila ingin mengkritik pihak otoritas, selagi bukan melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik (defamasi). Hal ini dikarenakan UU pers dinilai sebagai peraturan yang paling bebas dan tidak memiliki turunan. "Undang-Undang pers itu Undang-Undang yang paling bebas, tidak punya PP, tidak punya turunan, begitu bebasnya. Belum ada PP dan tidak akan ada saya kira. Harus diperhatikan itu tidak ada, bahkan ada banyak suara-suara yang mau revisi," pungkasnya. Diketahui, acara ini diselenggarakan secara hybrid dengan sistem offline di Auditorium Lantai 2 Perpustakaan Nasional dan online melalui Zoom Meeting dan YouTube media partner @BeritaKBR dan @Bantuanhukumpers. Sesi pertama membahas mengenai “Kebebasan Berekspresi vs Konten Berbahaya.” Moderator Citra Dyah Prastuti (Pemimpin Redaksi KBR.id) ini membongkar konsekuensi dari alat berbasis artificial intelligent pada hak asasi manusia, dengan fokus pada keseimbangan kebebasan berekspresi dan penyebaran konten berbahaya di Internet. Empat narasumber yang mengisi pada sesi pertama, yaitu Atnike Nova Sigiro (Ketua Komnas HAM), Novi Kurnia (Center for Digital Society/ Universitas Gadjah Mada), Danny Ardianto (Head of Government Affairs and Public Policy YouTube), dan Usman Kansong (Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo). Sesi kedua membahas mengenai “Kekerasan Online Terhadap Jurnalis” yang membahas ancaman online terhadap keselamatan dan keamanan jurnalis dengan moderator Malika dari KBR Prime. Narasumber yang hadir yaitu Brigjen Pol Ahmad Ramadhan, (Karo Penmas Divisi Humas POLRI), Ika Ningtyas (Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen), Damar Juniarto (Direktur Eksekutif SAFENet) dan Ade Wahyudin (Direktur Eksekutif LBH Pers). Sesi ketiga secara khusus membahas tantangan keberlanjutan media dengan tema “Transformasi Digital, Kelangsungan Media dan Kepercayaan publik”. Narasumber yang mengisi pada sesi ketiga ini, yaitu Wens Manggut (Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Sapto Anggoro (Komisioner Dewan Pers) dan Citra Dyah Prastuti (Pemimpin Redaksi KBR).