Keseriusan Menghapus TPPO

No Name

No Name

Diperbarui 4 Agustus 2023 14:27 WIB
Oleh: Timboel Siregar/Koordinator Advokasi BPJS Watch PERDAGANGAN manusia merupakan salah satu kasus kejahatan transnasional yang terjadi di seluruh dunia. Umumnya, kejahatan tersebut berupa penyelundupan manusia menggunakan kekerasan, penipuan, bahkan paksaan dengan mengendalikan korban untuk tujuan komersialisasi seks atau meminta tenaga kerja secara ilegal. Karena dampak yang disebabkan perdagangan orang sangat dahsyat, maka setiap tanggal 30 Juli seluruh dunia memperingati Hari Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), guna meningkatkan kesadaran masyarakat terkait bahaya kejahatan tersebut. Kampanye penyadaran ini harus terus dilakukan secara massif dan sistemik sampai ke seluruh masyarakat sehingga terjadi kesadaran kolektif masyarakat untuk menolak kejahatan perdagangan orang. Tentunya kampanye penyadaran tersebut masih belum membuahkan hasil yang signifikan dengan baik. Kejadian perdagangan orang terus mengemuka dalam pemberitaan media online maupun cetak, baik tingkat nasional maupun daerah di Indonesia hingga pemberitaan internasional. Kejadian demi kejadian terus terjadi, dan ini merupakan hal yang sudah terjadi sejak lama, namun belum mampu diselesaikan secara sistemik dan berkelanjutan hingga saat ini. Manusia menjadi komoditas perdagangan yang sudah berlangsung dalam sejak lama sekali. Perdagangan budak (slave trade) yang terjadi di masa lalu sekarang ini sudah berganti nama menjadi perdagangan orang. Perdagangan orang adalah pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius karena bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Perdagangan orang sudah menjadi tren global dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi maupun tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri. Ini sudah menjadi ancaman terhadap eksistensi masyarakat, bangsa, dan negara saat ini dan di masa depan. Atas dahsyatnya dampak dari perdagangan orang ini Negara terus berusaha mengantisipasi, mencegah, dan menanggulangi persoalan perdagangan orang yang terjadi. Atas segala kejadian perdagangan orang tersebut, Negara telah mengesahkan UU no. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO). Dalam UU PTTPO, Perdagangan Orang didefinisikan sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Beberapa unsur tindak pidana perdagangan orang menurut Syamsuddin Aziz, dalam Bukunya “Tindak Pidana Khusus”, yaitu, pertama, unsur Pelaku yaitu orang perseorangan atau korporasi. Kedua, unsur Proses Urutan pelaksanaan seperti perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang. Ketiga, unsur Cara Bentuk perbuatan/tindakan tertentu yang dilakukan untuk menjamin proses dapat terlaksana, seperti ancaman, kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, dsb sesuai definisi Perdagangan Orang di atas.  Keempat, unsur Tujuan Sesuatu yang meliputi eksploitasi orang atau mengakibatkan orang tereksploitasi dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU PTPPO. Pelaksanaan TPPO saat ini terus mengalami peningkatan kualitas kejahatan didalamnya. Penjualan organ tubuh lebih dipermudah dengan TPPO yang terus marak saat ini. Kegagalan untuk melakukan preventif-promotif Kesehatan menyebabkan penyintas gagal ginjal terus bertambah. Mengacu pada data BPJS Kesehatan di 2022 jumlah kasus gagal ginjal yang dibiayai oleh Program JKN sebanyak 1.322.798 kasus dengan total pembiayaan Rp 2,15 Triliun. Kehadiran Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 38 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ mendorong tingginya permintaan transplantasi organ ginjal, apalagi Pasal 39 ayat (4) Permenkes ini membuka ruang pembiayaan Transplantasi Organ oleh Program JKN. Semakin tingginya permintaan terhadap organ ginjal didorong oleh kondisi para pasien gagal ginjal kronis yang di satu sisi harus lama mengantre untuk mendapatkan donor secara legal dan di sisi lain diperhadapkan pada kondisi yang mempertaruhnya kelangsungan nyawa. Pada situasi ini para penyintas gagal ginjal kronis akan berusaha mencari organ ginjal dengan cara illegal sekalipun. Tentunya mengacu pada Pasal 24 Permenkes ini untuk dapat terdaftar sebagai calon Resipien, setiap calon Resipien atau keluarganya harus mendaftar ke Komite Transplantasi Nasional atau perwakilan Komite Transplantasi Nasional di Provinsi, dengan berbagai syarat yang sudah ditetapkan dalam Permenkes ini. Komite Transplantasi Nasional bertanggungjawab terhadap pengelolaan sistem informasi Transplantasi Organ yang menyediakan data dan informasi terkait penyelenggaraan Transplantasi Organ, serta sebagai wadah dan sarana komunikasi bagi masyarakat, rumah sakit penyelenggara Transplantasi Organ, dan Komite Transplantasi Nasional. Tentunya permintaan yang semakin banyak atas tranplantasi ginjal ini tidak disertai pihak pendonor ginjal sehingga Komite Tranplantasi Nasional memiliki keterbatasan untuk bisa memenuhi permintaan tranplantasi ginjal dari penyintas gagal ginjal. Tingginya permintaaan organ ginjal untuk maksud tranplantasi ginjal mendukung peningkatan kejahatan jual beli organ ginjal secara illegal dalam pola kejahatan TPPO. Kejahatan TPPO menjadi pintu masuk terjadinya jual beli organ ginjal secara illegal yang akan mengancam jiwa korban TPPO tersebut. Menjadi ironis, di satu sisi transplatasi ginjal dapat menyelamatkan nyawa penyitas gagal ginjal, namun di satu sisi korban TPPO yang ginjalnya dijual akan mengalami masalah Kesehatan dengan ginjalnya yang akan mengancam nyawanya. Komite Transplantasi Nasional memiliki peran penting untuk meminimalisir terjadinya TPPO dengan motif penjualan organ ginjal secara ilegal. Tentunya Komite akan melakukan cross check bagi proses transplantasi ginjal dengan mengacu pada Permenkes 38 yaitu adanya kejelasan antara pendonor dan penerima donor ginjal. Adanya permintaan dan penawaran secara illegal ini dimanfaatkan oleh pelaku TPPO dengan harapan akan meraup keuntungan yang sangat besar dengan mengorbankan para pendonor ginjal illegal tersebut. Sebagai contoh, dalam pemberitaan beberapa hari yang lalu terkait penjualan organ ginjal ini, Polisi telah menetapkan 12 tersangka yang disebut terlibat dalam sindikat penjualan ginjal jaringan internasional. Para tersangka menjaring calon donor lewat grup Facebook, kemudian menjual ginjal ke Kamboja. Pasal 52 ayat (1r) Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang JKN menyatakan bahwa korban perdagangan orang tidak dijamin Program JKN, tetapi ditangani oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) setelah melalui proses pidana di kepolisian. Tentunya ini akan menjadi masalah bagi korban TPPO yang kehilangan ginjal yang tidak dijamin oleh Program JKN ketika mengalami gagal ginjal, mengingat cuci darah akan terus berlangsung seumur hidup. Perbedaan Sanksi Pidana dan Denda Mengingat tingkat kejahatan yang disebabkan oleh TPPO sangat besar, UU PTPPO mengganjar pelaku TPPO dengan hukuman pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120 juta dan paling banyak Rp600 juta. Jika TPPO mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana di atas. Jika TPPO mengakibatkan matinya korban, maka pelakunya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp5 miliar. Selain UU PTPPO, ada beberapa undang-undang lainnya yang mengatur pelarangan perdagangan manusia yaitu  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), Undang-Undang  Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), dan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). Pasal 59 UU Perlindungan Anak dengan tegas mengamanatkan Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada, salah satunya, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual serta anak yang diperdagangkan. Pasal 20 UU HAM menegaskan bahwa Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba. Dan pada ayat (2)-nya disebutkan, Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang. Pasal 71 huruf (a) UU PPMI mengamanatkan Setiap Orang dilarang menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja yang telah disepakati dan ditandatangani Pekerja Migran Indonesia.; Pelanggaran Pasal 71 huruf (a) tersebut diancam dengan dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. Antara UU PTPPO dan UUPPMI memiliki perbedaaan sanksi pidana penjara dan pidana denda. Sanksi pidana penjara di UU PPMI (maksimal 5 tahun) lebih rendah dibandingkan ancaman di UU PTPPO (antara 3 sampai 15 tahun), namun UU PPMI mengancam pidana denda (maksimal Rp. 5 miliar) lebih tinggi dibandingkan UU PTPPO (minimal Rp120 juta dan maksimal Rp600 juta). Tentunya perbedaan sanksi pidana penjara yang diatur dalam UU TPPO dan UU PPMI tersebut akan menjadi celah bagi pelaku TPPO dengan menggunakan UU PPMI yang dalam Pasal 71 huruf (a) hanya mengganjar pelaku paling lama 5 tahun. Seharusnya UU PPMI merujuk pidana penjara ke pidana penjara yang diatur di UU PTPPO. Statistik Perdagangan Orang Kasus perdagangan orang dalam lingkup keluarga terjadi di Batam, Kepulauan Riau. Seorang ibu muda berinisial AHA (17) dibekuk polisi karena menjual anak kandungnya. Sang Ibu menjual anaknya yang baru berumur 6 bulan seharga Rp 11 juta. Perdagangan orang yang meninpa warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri terjadi di Bangkok. Atase Kejaksaan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Bangkok memberikan bantuan hukum kepada 6 WNI yang merupakan korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dan berhasil dipulangkan ke Indonesia. Sebelumnya, keenam WNI tersebut dipaksa harus bekerja sebagai scammer selama 3 bulan di Propinsi Myawadee, Myanmar, hingga akhirnya dipulangkan oleh pihak perusahaan ke Provinsi Mae Sot, Thailand. Kasus di atas merupakan contoh nyata terjadinya TPPO, dari sekian banyak TPPO yang terjadi menimpa masyarakat. Berdasarkan Data Bareskrim Polri dan Polda di seluruh Indonesia, dari tahun 2020 hingga Mei 2023, jumlah laporan TPPO yang diterima pihak kepolisian sebanyak 466 laporan dengan jumlah tersangka sebanyak 595 orang (lihat Tabel 1). Jumlah kasus TPPO yang dilaporkan dan tersangka terus meningkat sepanjang tahun, dan ini menunjukan bahwa TPPO menjadi semakin marak dilakukan. Omzet uang yang berputar dalam kejahatan perdagangan orang ini sangat besar sehingga menjadi kejahatan yang menggiurkan bagi pelakunya. Data ini merupakan TPPO yang dilaporkan, belum termasuk TPPO yang tidak terlaporkan ke pihak kepolisian. Tabel 1. Jumlah Laporan TPPO dan Tersangka Tahun Jumlah  Laporan Polisi Tersangka 2020 126 163 2021 122 165 2022 133 159 2023*) 85 108 Jumlah 466 595 *) sampai Mei 2023 Sumber : Bareskrim Polri dan Jajaran Polda Dari seluruh kasus TPPO tersebut, korban yang paling banyak adalah kalangan perempuan baik dewasa maupun anak. Perempuan adalah kelompok yang paling rentan diperdagangkan, khususnya untuk eksploitasi seksual, perbudakan domestik, dan perkawinan paksa. Terkait perdagangan anak, yang paling banyak diperdagangkan adalah bayi untuk adopsi ilegal dan remaja berusia 15 hingga 17 tahun. Kelompok usia 15 hingga 17 tahun ini umumnya dieksploitasi secara ekonomi dan dijadikan pengemis, eksploitasi seksual dan pornografi, serta eksploitasi tenaga sebagai tentara anak. Perdagangan anak tidak melulu sebatas anak “dijual” kepada orang lain. Seorang anak dapat dikategorikan sebagai korban perdagangan manusia jika berada dalam kondisi kerja paksa (Kathryn, C-D. (2009). Global issues: Human trafficking. New York: Facts On File). Hal ini didukung oleh praktik budaya patriarki yang memposisikan perempuan dan anak-anak sebagai kelompok paling rentan, tidak berdaya, dan lemah baik secara fisik maupun mental. Oleh karena itu, mayoritas perempuan dan anak menjadi korban perdagangan manusia untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual, dan kejahatan lainnya. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), TPPO merupakan fenomena gunung es, karena kasus yang terungkap di persidangan lebih sedikit daripada kasus yang terjadi di masyarakat. Banyak korban yang tidak mengerti hukum, tidak mengetahui jalur pelaporan, serta merasa takut dan merasa terancam bila melaporkan ke pihak kepolisian. Tabel 2 : Jumlah Korban TPPO Korban Perempuan Laki-laki Tahun Dewasa Anak Dewasa Anak 2020 105 35 93 0 2021 165 74 59 0 2022 336 21 306 5 2023*) 120 25 83 1 Jumlah 726 155 541 6 *) sampai Mei 2023 Sumber : Bareskrim Polri dan Jajaran Polda Menurut pihak kepolisian, modus perdagangan orang yang terjadi di Indonesia lebih didominasi oleh modus menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan Pekerja Seks Komersial (PSK), selain modus Asisten Rumah Tangga (ART) dan Anak Buah Kapal (ABK). Tabel 3. Modus TPPO Modus Tahun PMI PSK ART ABK 2020 23 76 15 12 2021 34 75 12 1 2022 89 27 0 0 2023*) 53 22 0 0 *) sampai Mei 2023 Sumber : Bareskrim Polri dan Jajaran Polda Lahirnya UU PPMI yang menggantikan UU No. 39 Tahun 2004 tentang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri ternyata belum mampu menurunkan kejahatan perdaganagn orang. Proses rekrutmen di dalam negeri hingga penempatan di luar negeri masih belum mampu mencegah terjadinya perdagangan orang. Namun demikian Pemerintah terus berkomitmen memberantas TPPO ini. Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) berkolaborasi dengan Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat, 26 September 2021 lalu, berhasil menangkap  pelaku TPPO bernama Nurbaety yang dijadikan  tersangka utama pada kasus pengiriman 500 orang PMI secara ilegal ke berbagai negara, termasuk Timur Tengah, yang salah satu korbannya bernama Kurniasari yang dikirim secara ilegal ke Erbil, Irak. Nurbaety bekerjasama dengan calo lain yaitu H. Ending, dan PT Nurbarokah Pratama Cirebon yang tidak memiliki Surat Izin Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI). Menurut Serikat Buruh Migran Indonesia, dari transaski perdagangan orang tersebut, Nurbaety meraup dana sebesar Rp10 juta per orang yang dikirim secara illegal tersebut. Omzet uang besar ini yang mendorong terjadinya persekongkolan TPPO dengan berbagai pihak termasuk oknum aparat pemerintah yang memudahkan proses pelaksanaan TPPO. Alasan Terjadinya Perdagangan Orang Menempatkan manusia sebagai obyek eksploitasi untuk keuntungan finansial pelaku adalah alasan utama terjadinya TPPO. Adanya keinginan mengeksploitasi tersebut bertemu dengan korban yang memang memiliki keterbatasan karena berbagai hal, yaitu pertama, Kemiskinan dan Tingkat Pengangguran yang tinggi. Persentase penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2023 sebesar 9,36 persen atau sebanyak 25,90 juta orang. Ada berbagai hal yang menyebabkan kemiskinan, di antaranya lapangan kerja yang minim, kurangnya pengetahuan akan dunia ketenagakerjaan dan dunia usaha, dan faktor internal yang menyebabkan ketimpangan antara pengeluaran dan pendapatan. Perdagangan orang dan kemiskinan berkaitan erat. Pelaku tentu saja mengincar motif ekonomi agar tidak terjerat kemiskinan. Sementara para korbannya, diiming-imingi sejumlah hal untuk dapat keluar dari kemiskinan. Misalnya, tawaran bekerja di luar negeri dengan gaji fantastis, tawaran menikah paksa agar kondisi ekonomi membaik, dan lainnya. Kedua, rendahnya tingkat pendidikan. Tentunya tingkat pendidikan adalah hal yang penting untuk mendukung pengetahuan dan wawasan sehingga bisa menyaring informasi, lebih waspada, dan bisa menghindari diri dari jerat TPPO. Adanya kemampuan membaca dan mempelajari dokumen secara lebih teliti dapat meminimalisir adanya penipuan atau kecurangan. Ketiga, pemaksaan dengan Kekerasan. Faktor ketiga ini masuk dalam kategori anarkis. Korban, akan merasakan beban psikologis yang lebih membekas. Umumnya, korban-korban yang dipaksa dengan kekerasan merupakan perempuan yang kebanyakan dipaksa “bekerja” sebagai budak seks, mucikari, germo, majikan, dan lain-lain. Keempat, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum serta integritas penegak hukum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengawasan dan penegakan hukum sangat lemah di Indonesia. Hal ini pun didukung oleh keterlibatan oknum aparat Pemerintah yang seharusnya menjadi pengawas dan penegak hukum malah menjadi pendukung terjadinya TPPO. Keterlibatan oknum pemerintah terjadi pada beberapa kasus TPPO, seperti kasus penjualan organ ginjal. Polda Metro Jaya menetapkan tiga tersangka kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) penjualan ginjal jaringan internasional Bekasi-Kamboja yang merupakan petugas imigrasi. Selain itu, peran Pengadilan yang seharusnya bisa menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda yang maksimal untuk pelaku TPPO, ternyata dalam pelaksanaannya tidak sesuai harapan. Terdakwa Susi Susanti Binti Acep Wirayat yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan TPPO dengan menempatkan Tenaga Migran Indonesia ke luar negeri secara illegal hanya diganjar oleh Pengadilan Negeri Cianjur selama 2 tahun penjara dan Denda sejumlah Rp200 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayarkan maka akan diganti dengan kurungan selama 2 (dua) bulan. Tentunya putusan Majelis Hakim Pengadikan Negeri Cianjur dengan nomor perkara 178/Pid.B/2018/PN Cjr. (TPPO) ini menggunakan UU PPMI, bukan menggunakan UU PTPPO yang mengancam pelaku TPPO dengan pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun. Putusan ini tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku TPPO, sehingga TPPO akan semakin marak terjadi. Kejahatan TPPO terus meningkat baik kualitas maupun kuantitas kejahatannya. Tentunya TPPO bisa diatas bila ada kemauan baik dari seluruh aparat pemerintah untuk menegakkan regulasi dengan baik, termasuk peran serta masyarakat untuk melaporkan bila ada indikasi TPPO di sekitarnya. Masyarakat menunggu keseriusan penghapusan TPPO.

Topik:

TPPO