Taruna STIP Tewas di Tangan Senior, Regulasi Sekolah Kedinasan Harus Diubah: 'Sipil Nggak Usah Bergaya Militer'

Tim Redaksi
Tim Redaksi
Diperbarui 5 Mei 2024 14:38 WIB
Tegar Rafi Sanjaya (Foto: Dok MI/Ist)
Tegar Rafi Sanjaya (Foto: Dok MI/Ist)

Jakarta, MI - Kasus kematian seorang mahasiswa taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta dipicu budaya senioritas taruna senior kepada taruna junior yang melakukan kesalahan dinilai pengamat pendidikan sebagai bahaya laten dan harus dihapuskan.

Pasalnya, hampir seluruh sekolah kedinasan di bawah kementerian atau lembaga pemerintah masih menerapkan gaya disiplin militer untuk membentuk calon pelayan publik yang disiplin dan patuh. Gaya disiplinnya mulai dari kekerasan verbal hingga fisik.

Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi seakan melanggengkan model begini, dikhawatirkan ke depannya akan selalu ada yang menjadi korban.

Bukan tanpa alasan pengamat pendidikan menilai demikian, soalnya kasus di sekolah kedinasan khususnya di STIP ini bukan pertama kali terjadi. 

Dalam catatan Monitorindonesia.com, sejumlah insiden serupa sempat terjadi. Adalah taruna STIP Dimas Dikita Handoko tewas pada 25 April 2014 setelah dianiaya senior bersama enam rekan seangkatan, Agung Bastian pada 2008 juga tewas dianiaya senior dan terungkap setelah korban tiga hari dimakamkan, Daniel Roberto Tampubolon yang tewas pada 6 April 2015 dan Amirullah Adityas yang tewas pada 10 Januari 2017. 

"Kasus ini bukan pertama kali terjadi ya, saya kira sudah berulang kali. Jadi memang probelmnya adalah di sistem pendidikan nasional kita yang belum mencerdaskan sesuai dengan janji konstitusi, belum sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa. Sekolah kedinasan itu kan sipil, kalau bergaya militer saya khawatir nanti saat melayani publik," ujar pakar pendidikan, Indra Charismiadji kepada Monitorindonesia.com, Minggu (5/5/2024).

Pengamat pendidikan, Indra Charismiadji
Pakar pendidikan, Indra Charismiadji (Foto: Dok MI/Ist)

Apa yang harus dilakukan? "Ya kita harus mengevaluasi dan merevisi sistem pendidikan nasional kita, dalam kajian itu nanti kita bisa melihat apakah memang sekarang lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan kementerian lain," kata Indra melanjutkan perbincangan. 

Lantas bagaimana cara menghapus praktik kekerasan di lingkungan sekolah kedinasan ini, sebab kerap terjadi? Indra berpandangan, dengan meleburkan sekolah-sekolah tersebut menjadi di bawah wewenang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang saat ini dipimpin Nadiem Makarim.

"Itu lebih baik, dikelola oleh Kemendikbudristek misalnya. Kontennya itu baru berasal dari kementerian-kementerian lain, kementerian-kementerian teknis, termasuk juga Kementerian Agama," jelasnya.

Menurut Indra, sekolah kedinasan memang memiliki aturan sendiri untuk mencegah tindakan kekerasan kepada mahasiswa taruna. Namun, prosedur pengawasan yang diterapkan tidak benar-benar bisa menghentikan tradisi kekerasan antara senior dan junior.

Dengan demikian, dia menilai selama tidak ada perubahan sistem pendidikan, kasus seperti di STIP itu akan terus terjadi. "Harusnya sih kalau kita bicara pasal 31 ayat 3 dimana pemerintah itu tugasnya membuat sistem pendidikan nasional yang sekarang terjadi betul-betul tidak sesuai dengan itu," bebernya.

Di lain sisi, Indra menyoroti pengawasan anggaran lembaga pendidikan. Dalam pengamatan Indra, sekolah-sekolah kedinasan di sejumlah kementerian memiliki paradigma yang berbeda dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Baik dalam hal pengajaran maupun para pendidiknya.

"Setiap kementerian mempunyai lembaga pendidikan sendiri yang anggarannya pun kita nggak tahu siapa yang mengawasi. Kenapa dampaknya buat pembangunan manusia Indonesia secara keseluruhan buktinya yang terjadi di STIP, itu sudah berulang kali sampai nyawa menghilang padahal tugas pemerintah adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia," cetusnya.

Maka dari itu, dia menyarakan tidak secara mikro tapi harus makro. "Kebetulan sekarangkan kita memiliki pembinaan nasional yang baru, nah saatnya mungkin kita mersama-sama mengevaluasi apa yang sudah dilakukan selama ini".

"Dan apa perbaikan kedepannya, tapi melibatkan berbagai pihak. Jangan dilakukan di ruang tertutup, orangnya nggak jelas minim partisipasi publik itu yang dibutuhkan," imbuhnya.

Terakhir, dia juga menilai dengan menyerahkan sekolah kedinasan di bawah Kemendikbudristek maka anggaran pendidikan bisa efisien dan tepat sasaran. Selain itu, sumber daya manusia yang dihasilkan akan lebih kompetitif dan berinovasi, termasuk menciptakan watak melayani publik.

Dalam kasus taruna STIP itu, Polisi telah menetapkan taruna tingkat dua STIP, Tegar Rafi Sanjaya (TRS) sebagai tersangka penganiayaan yang menyebabkan Putu Satria Ananta Rustika (19) meninggal dunia.

Putu Satria Ananta Rustika Taruna STIP Jakarta
 Putu Satria Ananta Rustika (Foto: Dok MI/Ist)

Menurut apolres Metro Jakarta Utara Kombes Pol Gidion Arif Setyawan, penetapan tersangka ini dilakukan setelah petugas melakukan olah tempat kejadian perkara. Polisi juga telah melakukan pemeriksaan kepada 36 orang saksi baik dari pengasuh, taruna, pihak kampus, dokter kampus, hingga ahli.

"Kami melakukan pemeriksaan dalam 24 jam dan menetapkan satu orang pelaku yang menyebabkan taruna tingkat satu TRS meninggal dunia," ujar Gidion.

Gidion mengatakan Tegar merupakan pelaku tunggal pada perkara ini. Ia mengatakan pelaku dijerat dengan Pasal 338 juncto subsider Pasal 351 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun.

"Kami menyimpulkan setelah melakukan sinkronisasi data yang ada dan hasilnya mengerucut pada tersangka ini," kata Gidion.

Sebelumnya, Putu Satria Ananta (19) tewas setelah menerima aksi kekerasan dari seniornya. Penganiyaan dilaikan di kamar mandi kampus, Jumat (3/5/2024).

Gidion menyatakan pelaku sempat memukul korban sebanyak lima kali dengan tangan mengepal ke arah ulu hati. Pukulan pelaku membuat korban langsung terkapar lemas.

Pengungkapan kasus ini dilakukan setelah adanya laporan dari keluarga korban Ni Putu Wayan yang melapor ke Polres Metro Jakarta Utara. Usai kejadian penganiayaan, korban sempat diperiksa di klinik kampus, kemudian dilarikan ke rumah sakit. Naas, nyawa korban tak bisa diselamatkan ketika tiba di rumah sakit. “Ada luka di daerah ulu hati yang menyebabakan pecahnya jaringan paru. Ada pendarahan, tapi juga ada luka lecet di bagian mulut,” demikian Gidion. (wan)