Candu KDRT Anak Jadi Korban, Pemerintah Bisa Apa?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 10 Desember 2023 02:13 WIB
Ilustrasi Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) (Foto: Dok MI)
Ilustrasi Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) (Foto: Dok MI)

KASUS kematian empat anak berinisial VA (6), S (4), Ar (3), dan As (1) menghebohkan publik. Keempat anak yang menjadi korban dugaan pembunuhan ditemukan tewas di dalam rumah kontrakan di wilayah Jagakarsa, Jakarta Selatan, Rabu (6/12). 

Dilaporkan, bahwa empat anak itu tewas atau kehilangan nyawanya akibat dikunci oleh Panca di dalam kamar mandi. 
 
Kini polisi telah menetapkan Panca yang merupakan ayah dari keempat anak itu sebagai tersangka pembunuhan. Sebelum diduga membunuh, Panca juga sempat melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kepada istri. Kabarnya pula sang ayah ingin bunuh diri.

Jauh sebelum ada kasus ini, marak pemberitaan soal kasus KDRT tak terkecuali yang berujung pada hilangnya nyawa seharusnya menjadi pengingat berharga bagi semua pihak betapa kekerasan dalam pernikahan bukanlah hal yang sepele. Korban KDRT sebenarnya didominasi perempuan walaupun kekerasan juga dialami laki-laki.

Lantas apa yang seharusnya dilakukan dalam penanganan kasus KDRT agar tidak membuat anak menjadi korban?

Dalam wawancara Monitorindonesia.com, Minggu (10/12) dengan kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Kurnia Zakaria, mengatakan bahwa terlepas dari kasus tersebut, perlu diketahui bersama, banyak anak yang menyaksikan KDRT juga merupakan korban dari kekerasan fisik. 

Sekitar 70% laki-laki yang melakukan kekerasan pada pasangan perempuannya juga menyakiti anaknya. Selain itu, perempuan yang menjadi korban dari kekerasan oleh pasangan juga akan cenderung menyakiti atau menelantarkan anaknya.

Anak-anak yang menyaksikan KDRT atau korban dari kekerasan itu sendiri memiliki risiko kesehatan secara fisik dan mental jangka panjang. Anak yang menyaksikan KDRT antara orangtuanya juga berisiko lebih tinggi melakukan KDRT di masa depan.

"Anak yang korban KDRT juga merasa takut dan cemas. Mereka mungkin selalu berjaga-jaga, mungkinkah hal tersebut akan terjadi lagi," kata Kurnia.

Ironisnya, kasus kekerasan terhadap anak tiap tahun terus meningkat. Berdasarkan data yang terhimpun dari Simfoni PPA dan Sapa 129 selama Januari-November 2023 menurut tempat kejadian, kasus yang paling banyak dialami adalah KDRT sebesar 73 persen dengan jenis kekerasan fisik

"Hal ini tentunya menjadi perhatian pemerintah khususnya Kementerian PPPA. Sudah hampir dua puluh tahun kita memiliki UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Sayangnya, ribuan anak masih jadi korban KDRT," kata Kurnia.

Dalam Pasal 1 UU PKDRT mendefinisikan KDRT sebagai perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Lantas, apakah sudah ada peraturan dan kebijakan untuk KDRT? "Itu sudah ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), telah diimplementasikan dalam pencegahan dan penanganan perempuan korban kekerasan," jelas Kurnia.

Menurut Kurnia, Undang-Undang ini merupakan jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, diatur dalam UU No.23 Tahun 2004, Pasal 1 (2).

Lebih lanjut, Kurnia menjelaskan, bahwa korban KDRT memiliki hak sebagai korban, sesuai dengan Pasal 10, UU PKDRT.

"Adalah perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan".

"Kemudian, pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan pelayanan bimbingan rohani".

Lalu, apakah masyarakat mempunyai kewajiban soal KDRT ini? Kurnia menyatakan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya.

"Untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan," ungkap Kurnia.
 
Selain itu, pemerintah juga mempunyai tugas dan tanggung jawab. Sebab, dalam Undang-Undang telah memberi mandat kepada Pemerintah, khususnya Kementerian PPPA untuk bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga melalui perumusan kebijakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

"Ya dengan adanya penyelenggaraan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga, sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga, dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sensitif gender, serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender," beber Kurnia.

Kembali kepada kasus tewasnya 4 anak tak berdosa itu. Kementerian PPPA sendiri tak berani melempar kesalahan kepada pihak kepolisian yang dinilai gagal mengendus aksi kekerasan Panca terhadap keluarganya sebelum tragedi terjadi. 

Kementerian PPPA hanya menegaskan selalu berkoordinasi dengan aparat setempat. "Ketika ada kejadian dimana tentu kami koordinasi dengan Pemda setempat supaya pembagian kewenangan kelihatan, mana yang jadi tugas kami," kata Deputi Perlindungan Hak Perempuan KPPPA, Ratna Susianawati dalam Talkshow rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan Sabtu (9/12).

Kementerian PPPA baru menjamin penyelesaian kasus KDRT itu pasca tragedi Jagakarsa terjadi. KPPPA pun baru sekarang berjanji mengawal kasus KDRT itu.

"KPPPA sepanjang korbannya perempuan dan anak kami memastikan itu harus selesai. Dan itu memastikan kami komunikasi dengan (pemangku otoritas) wilayah TKP. Kami akan kawal," jelas Ratna.

Kementerian PPPA kembali mengimbau agar korban KDRT berani melapor. Namun kalau melirik tragedi Jagakarsa, ternyata pelaporan korban pun tak menjamin hasil maksimal dalam waktu dekat. "(KDRT) ini masih selalu menganggap itu masalah privasi, hubungan relasi antara hubungan keluarga, jadi kenapa ini jadi konsumsi publik".

"Kalau melihat korban yang masih didominasi oleh perempuan, terutama istri, itu masih enggan melaporkan meskipun sejatinya identifikasi atau kalau kita lihat awal ciri-ciri dari KDRT itu sudah terjadi. Tapi masih ada keengganan," ungkap Ratna. (Wan)