Ahli Hukum Lawan Penegak Hukum

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 9 Desember 2023 15:25 WIB
Edward Omar Sharif Hiariej (kiri) dan Firli Bahuri (kanan) (Foto: Dok MI)
Edward Omar Sharif Hiariej (kiri) dan Firli Bahuri (kanan) (Foto: Dok MI)
MANTAN Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej dan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri adalah sosok ahli hukum yang saat ini menyandang status sebagai tersangka, kini melakukan perlawanan terhadap lembaga penegak hukum (APH).

Eddy melakukan perlawanan terhadap KPK, sementara Firli lawan Polda Metro Jaya, melalui gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta selatan.

Eddy dijerat oleh KPK terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi, sementara Firli terseret kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL). Kedua tokoh tersebut sampai saat ini belum ditahan aparat penegak hukum (APH).

Di KPK, penahanan terhadap seorang tersangka diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang KPK. Pasal tersebut menyatakan, dalam menahan tersangka, penyidik atau hakim khawatir tersangka menghilangkan barang bukti, melarikan diri, maupun menghalangi penyidikan.

"Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana," demikian bunyi pasal 21 ayat 1 dikutip Monitorindonesia.com, Sabtu (8/12).

Sementara di Polri diatur dalam Pasal 1 angka 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 

Namun dalam praktiknya, seringkali status tahanan menjadi berkepanjangan karena proses pemeriksaan di pihak kepolisian masih berjalan. Menurut Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP, penyidik (dalam hal ini kepolisian) karena kewajibannya memiliki wewenang melakukan penahanan.

Poin problemnya sekarang adalah, Firli biasa memimpin penangkapan pelaku tindak pidana, sementara Eddy Hiariej adalah seorang profesor hukum pidana yang biasa terlibat dalam pembuatan hukum yang tentunya akan berusaha mencari celah hukum atas penetapannya sebagai tersangka.

"Itulah yang jadi problem terbesar nanti di dalam praperadilan ini, problemnya adalah bagaimana para pemohon praperadilan ini menemukan celah atau hal hukum yang dengan itu dikonstruksi bahwa cara menetapkan tersangka atau menemukan tersangka itu keliru," kata Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, dikutip pada Sabtu  (8/12).

Dia pun menyarankan keduanya untuk fokus pada cara penyidik menetapkan mereka sebagai tersangka. Dengan begitu, hakim praperadilan pun akan bisa memutus dengan jernih. "Masuk ke substansinya. Hakim harus bisa detail memeriksa keterkaitan atau korelasi antara bukti, kesaksian dengan tindak pidana yang terjadi. Apakah betul bukti dan kesaksian itu mengarah kepada tindak pidana yang dituduhkan?" tandasnya.

Perkara Eddy

Eddy telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak 9 November 2022. Terdapat tiga tersangka lain di samping Wamenkumham Eddy Hiairej. Dari empat tersangka, tiga orang diduga menerima suap dan gratifikasi. Adapun satu orang diduga pemberi suap.

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan KPK menggunakan pasal suap dan gratifikasi dalam mengusut dugaan korupsi yang menyeret Eddy. Penggunaan pasal itu berbeda dengan laporan awal yang diterima KPK. "Dobel, ada pasal suap, ada pasal gratifikasinya," kata Asep di gedung KPK, Senin (6/11).

Asep mengatakan penggunaan pasal suap itu memungkinkan adanya sosok tersangka di kasus Wamenkumham itu bisa lebih dari satu orang. Pasalnya, KPK juga akan menjerat pelaku yang berperan sebagai pemberi dan penerima suap.

"Kan gini kalau suap itu nggak mungkin sendiri. Ada pemberi dan penerima, paling tidak dua. Tapi di situ kan ada perantaranya dan lain-lain," katanya.

Perkara dugaan korupsi yang menjerat Eddy ini berawal dari laporan Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso pada 14 Maret 2023. Eddy diduga menerima gratifikasi sebesar Rp7 miliar dari pengusaha bernama Helmut Hermawan yang meminta konsultasi hukum kepada guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.

Enam hari berselang setelah IPW mengajukan laporan, Eddy Hiariej menjalani klarifikasi di kantor KPK. Eddy saat itu menilai aduan dari IPW tendensius mengarah ke fitnah.

"Kalau sesuatu yang tidak benar kenapa saya harus tanggapi serius? Tetapi supaya ini tidak gaduh, tidak digoreng sana-sini, saya harus beri klarifikasi," kata Eddy, 20 Maret 2023 lalu.

Namun pada saat itu, kuasa hukum Eddy, Ricky Herbert Parulian Sitohang membantah laporan IPW tersebut. Menurutnya, uang yang diterima oleh Yosi adalah murni bayaran atas pekerjaannya sebagai pengacara.

"Tidak ada relevansinya antara apa yang dilakukan Saudara Yosi dengan Prof Eddy, itu yang pertama. Yang kedua, soal aliran dana, Prof Eddy tidak mengerti, tidak memahami, dan tidak mengetahui apa yang dilakukan Saudara Yosi dengan kliennya. Jadi, Prof Eddy tidak pernah sepeser pun menerima aliran dana tersebut," kata Ricky dikutip dari Kantor Berita Antara.

Perkara Firli

Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerasan dalam penanganan dugaan korupsi SYL pada Rabu (22/11) malam. 

Perkara ini bermula ketika Polda Metro menerima aduan masyarakat (dumas) terkait dugaan pemerasan dalam penanganan perkara KPK di Kementerian Pertanian pada 12 Agustus 2023. 

Meski demikian, kasus ini baru naik ke permukaan usai KPK dikabarkan menetapkan SYL sebagai tersangka pada awal Oktober lalu. Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak menjelaskan, ketika menerima dumas terkait dugaan pemerasan oleh pimpinan KPK itu, pihaknya masih menelaah dan memverifikasinya. 

Barulah pada 15 Agustus 2023 atau tiga hari setelah dumas itu masuk, Polda Metro menerbitkan surat perintah pengumpulan bahan keterangan sebagai dasar pengumpulan keterangan atas informasi ataupun pengaduan masyarakat dimaksud. 

"Selanjutnya pada tanggal 21 Agustus 2023 telah diterbitkan surat perintah penyelidikan sehingga kemudian tim penyelidik subdit tipikor Dirreskrimsus PMJ melakukan serangkaian penyelidikan," jelas Ade, Kamis (5/10).

Penyidik kemudian melakukan klarifikasi atau permintaan keterangan ke beberapa pihak pada 24 Agustus 2023 hingga 3 Oktober 2023. Dalam hal ini, SYL telah diperiksa sebanyak tiga kali untuk memberikan klarifikasi. 

"Perlu disampaikan di sini bahwa 6 orang telah dimintai keterangan ataupun klarifikasi oleh tim penyelidik subdit Tipikor Direskrimsus PMJ termasuk salah satunya adalah bapak mentan [SYL]," pungkasnya. 

Di tengah tahap penyelidikan, beredar foto Ketua KPK Firli Bahuri duduk bersebelahan dengan SYL. Mereka tampak sedang mengobrol santai. Meski demikian, Firli sempat membantah melakukan pemerasan kepada SYL seperti isu yang beredar. 

Mantan Kabaharkam Polri itu juga membantah kabar dugaan penyerahan sejumlah uang kepadanya. "Saya kira enggak ada orang-orang menemui saya apalagi ada isu sejumlah US$1 miliar, saya pastikan enggak ada. Bawanya berat itu, kedua, siapa yang mau kasih itu," ujar Firli dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (5/10). 

Pada 7 Oktober 2023, dugaan pemerasan oleh pimpinan KPK ini resmi naik ke tahap penyidikan usai dilakukan gelar perkara. Polda Metro menduga adanya pemerasan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain oleh pegawai negeri, menyalahgunakan kekuasaan, memaksa seseorang memberikan sesuatu, menerima pembayaran dengan potongan, serta gratifikasi. 

Oleh sebab itu, diduga adanya pelanggaran terhadap pasal 12 huruf e atau pasal 12 huruf B atau Pasal 11 UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Polda Metro pun membuka potensi untuk memeriksa Firli sebagai saksi atas dugaan pemerasan ini. 

Firli kemudian dipanggil Polda Metro tidak kurang dari dua kali. Pertama, pada Selasa 24 Oktober 2023. Kepolisian memeriksa Firli selama tujuh jam. Kedua, masuk ke pemeriksaan tambahan namun Firli mangkir dua kali karena tidak menghadiri panggilan Bareskrim. Alasannya, pada 7 November 2023 dia tidak hadir karena perjalanan dinas ke Aceh.

Pada 13 November 2023 dia absen karena sudah agenda memenuhi panggilan Dewas KPK. Uniknya, pada kesempatan yang sama Dewas KPK juga mengumumkan tidak bisa melakukan pemeriksaan ke Firli karena ada agenda rapat di luar kota. Akhirnya, Firli menghadiri pemeriksaan pada 16 November 2023. Dalam pemeriksaan keduanya di Bareskrim, Firli dicecar sebanyak 15 pertanyaan selama hampir 4 jam. 

Pemeriksaan itu juga membuahkan penyitaan dokumen ikhtisar LHKPN Firli Bahuri. Terakhir, pada 22 November 2023, Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Ade Safri Simanjuntak mengumumkan penetapan tersangka Firli usai dilakukan gelar perkara kasus pada hari yang sama. 

"Berdasarkan fakta Penyidikan maka pada hari Rabu [22/11/2023] sekira pukul 19.00 bertempat di Ruang Gelar Perkara Direktorat Reserse Kriminal Khusus, telah dilaksanakan gelar perkara dengan hasil ditemukannya bukti yang cukup untuk menetapkan saudara FB selaku ketua KPK RI sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi atau pemerasan," kata Ade Safri di Polda Metro Jaya pada Rabu (22/11).

Rekam Jejak
 
Eddy merupakan Wamenkumham yang dilantik Presiden Joko Widodo saat perombakan menteri pada 23 Desember 2020 untuk bergabung di Kabinet Indonesia Maju Periode 2020-2024.

Eddy Hiariej merupakan Professor atau Guru Besar Ilmu Hukum Pidana di almamaternya, Universitas Gadjah Mada. Pendidikan sarjana hingga doktoralnya ia selesaikan di UGM.

Eddy pernah menjadi perbincangan saat menjadi ahli dalam sidang perselisian hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi. Saat itu, Eddy menjadi ahli yang dihadirkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin.

Kasus kopi sianida atau kematian Wayan Mirna Salihin juga pernah menghadirkan Eddy sebagai ahli.

Eddy pun pernah mengritik UU Cipta Kerja. . Ia mengatakan bahwa UU Cipta Kerja nantinya berpotensi menjadi “macan kertas” karena tidak dilengkapi sanksi yang efektif.

Sementara itu, Firli Bahuri adalah pensiunan Polri yang menjabat sebagai Ketua KPK sejak 20 Desember 2019, sebelum menjadi ketua, Firli pernah menjadi deputi penindakan KPK. 

Firli pernah menempuh pendidikan umum, Kepolisian hingga kejuruan. Pendidikan umum yang dia tempuh antara lain, SDN Lontar Muara Jaya OKU, SMP Bhakti Pengadonan OKU, SMAN 3 Palembang dan KIK Universitas Indonesia. 

Pendidikan kepolisian Firli Bahuri antara lain Akpol, PTIK, Sespim dan Lemhanas PPSA.  

Adapun pendidikan kejuruannya, yakni Sebasa Hankam, LAN Resum, Sebasa Polri, Hostage Negotiation dan Assessment Reskrim. Pria kelahiran Sumatera Selatan, 8 November 1963 ini pernah menjabat sebagai Kapolda NTB (2017), setelah itu kariernya makin moncer dengan menjabat sebagai kapolda Sumatera Selatan (2019). 

Kemudian, Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Polri (2019), hingga menjadi Analisis Kebijakan Utama Baharkam Polri (2019).

Jabatan tersebut menjadi jabatan terakhir Firli di institusi Polri. Ia kemudian pensiun dengan mengemban pangkat Komisaris Jenderal Kepolisian atau Jenderal Bintang Tiga. 

Tetapi sebelum itu, di awal perjalanan kariernya, Firli pernah menjadi ajudan Wakil Presiden Boediono pada tahun 2012. Selama menjabat sebagai Ketua KPK, berbagai polemik pernah menghampirinya. 

Firli pernah diduga ingin menaikkan status Formula E ke penyidikan tanpa status tersangka dan adanya pemberhentian Brigjen Endar Priantoro dari jabatan Direktur Penyelidikan oleh pihaknya yang dianggap tidak wajar. 

Lalu, Firli Bahuri juga disebut terima diskon sewa helikopter dan adanya keberadaan spanduk dukungan untuknya supaya maju sebagai calon Presiden (Capres) pada Pilpres 2024. 

Meski begitu, dia mengaku tidak tahu soal asal-muasal soal spanduk tersebut, Firli menegaskan spanduk itu bukan inisiatif darinya.

Hingga saat ini, publik menantikan status hukum Eddy dan Firli, apakah nantinya akan berujung pada penahanan atau tidak. Semua ada pada kewenangan pihak penyidik. Baik itu KPK maupun Polda Metro Jaya. (Wan)