Novum Jalan Pembebasan Jessica Kumala Wongso

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 6 Desember 2023 23:53 WIB
Jessica Kumala Wongso (Foto: Dok MI)
Jessica Kumala Wongso (Foto: Dok MI)
SETELAH 7 tahun bergulir, di berbagai platform media sosial (Medsos), netizen merasa ragu atas kasus hukum yang menimpa Jessica Kumala Wongso. Netizen ingin kasus kematian Wayan Mirna Salihin diselidiki kembali usai menonton dokumenter Netflix Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso.

Bahkan, Otto Hasibuan selaku pengacara Jessica Wongso merasa kagum dengan kepintaran netizen yang dianggap hebat mencari bukti.

“Saya juga kagum lah sama netizen, betul-betul kagum banget, dan pintar-pintar banget, umpamanya ada pernyataan A yang salah, dia bisa cari bukti dari mana ditempel langsung ini balas,” kata Otto Hasibuan.

Otto yang juga Ketua Umum Peradi mengaku heran dengan kepintaran netizen yang punya banyak data. Otto Hasibuan kemudian berterima kasih untuk netizen yang sudah membeberkan bukti, pasalnya, ia merasa banyak terbantu.

Kasus yang terjadi pada tahun 2016 ini berakhir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan di putus dengan Nomor Putusan 777/Pid.B/2016/Jkt.Pst.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 777/Pid.B/2016/PN.Jkt.Pst Adalah Putusan atas nama terdakwa Jessica Kumala Wongso yang telah divonis hakim dengan pidana penjara 20 (dua puluh) tahun atas tindak pidana pembunuhan sengaja dan berencana.

Kasus ini menjadi tugas berat majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengadili dan memutus kasus pembunuhan berencana Wayan Mirna Salihin. Saat itu majelis memutuskan terdakwa, Jessica Wongso, bersalah atas kematian Mirna, sahabatnya setelah melewati 32 kali persidangan dan puluhan saksi dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) guna membuktikan dakwaannya.

Berawal dari Reuni

Kasus ini berawal dari reuni bersama teman kuliah Mirna saat menempuh pendidikan di Billy Blue College, Australia. Reuni tersebut rencananya dihadiri oleh empat orang yaitu Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso, Hani Boon Juwita, dan Vera. 

Namun, reuni hanya dihadiri oleh tiga orang, Vera batal hadir. Mereka sepakat pertemuan reuni tersebut diadakan di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta Pusat, pada 6 Januari 2016, pukul 17.00 WIB. 

Jessica Wongso datang lebih dulu sekitar pukul 15.32 WIB, dengan alasan menghindari 3 in 1 atau aturan lalu lintas yang mewajibkan minimal 3 orang dalam satu mobil. 

Jessica Wongso memesan es kopi Vietnam dan dua cocktail karena ia datang terlebih dahulu. Setelah pesanan datang, Mirna Salihin dan Hani sampai di Kafe menghampiri Jessica yang duduk di meja nomor 54. 

Kedatangan mereka berdua disambut oleh Jessica Wongso, mereka bertegur sapa dan menanyakan kabar. Setelah basa-basi selesai, Mirna dan Hani duduk. 

Setelah duduk, Mirna meminum kopi vietnam yang telah dipesan oleh Jessica Wongso. Selang beberapa menit, Mirna kejang-kejang, mulutnya mengeluarkan buih dan tidak sadarkan diri. 

Mirna pun dibawa ke klinik di Grand Indonesia. Karena butuh penanganan medis lebih lanjut, Mirna Salihin dirujuk ke Rumah Sakit Abdi Waluyo

Namun, di tengah perjalanan sebelum sampai di rumah sakit, Mirna Salihin menghembuskan napas terakhir. Ayah Mirna, Edi Dharmawan merasa ada kejanggalan dari kematian anaknya. 

Dia pun memutuskan melaporkan hal ini ke Polsek Metro Tanah Abang. Pada 16 Januari 2016, tim Puslabfor Polri menemukan ada 3,75 miligram zat sianida di dalam kopi yang diminum Mirna Salihin

Racun itu terdeteksi sudah berada dalam lambung Mirna Salihin. Kepolisian pun meningkatkan status penyelidikan kasus ini menjadi penyidikan. 

Usai gelar perkara dan hasil pemeriksaan mulai dari CCTV cafe, keluarga, dan pegawai kafe, akhirnya Polisi lantas menetapkan Jessica Wongso menjadi tersangka pada 29 Januari 2016. 

Pihak pengacara Jessica Wongso dengan mengajukan praperadilan di Pengadilan negeri Jakarta Pusat. Hasilnya, pengajuan praperadilan itu ditolak oleh Hakim. 

Setelah lima bulan kemudian, Jessica Wongso baru menjalani sidang pertama sebagai terdakwa tepatnya 15 Juni 2016.  Pada 27 Oktober 2016, majelis hakim menyatakan terdakwa Jessica Wongso dinyatakan bersalah atas pembunuhan berencana kepada Mirna Salihin, motifnya sakit hati karena dinasihati soal asmara. 

Jessica pun divonis dengan hukuman penjara selama 20 tahun. Vonis Pengadilan negeri itu langsung dijawab pihak Jesicca Wongso dengan pengajuan banding dan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). 

Namun upaya itu gagal, Hakim Pengadilan Tinggi dan MA justru menguatkan putusan hakim Pengadilan Negeri. Pihak Jessica Wongso pun sempat mengajukan upaya lagi ke MA untuk peninjauan kembali (PK), tapi hasilnya tetap sama. Jessica Wongso tetap dinyatakan bersalah dalam kasus ini.

Majelis hakim dipimpin Kisworo menjatuhkan hukuman selama 20 tahun penjara kepada terdakwa. Hukuman ini sesuai dengan tuntutan dari Jaksa Penuntut. 

Fakta Persidangan

Majelis menyebutkan hal-hal yang memberatkan Jessica Wongso yakni akibat perbuatan terdakwa mengakibatkan korban meninggal, perbuatan Jessica Wongso adalah keji dan sadis karena dilakukan kepada teman sendiri, terdakwa tidak pernah menyesal, dan tidak mengakui perbuatan sendiri. 

Sementara hal yang meringankan adalah Jessica Wongso masih muda dan memiliki kesempatan untuk memperbaiki perbuatannya di masa mendatang.

Majelis mulai membacakan putusan sejak pukul 13.00 WIB hingga pukul 17.10 WIB. Dalam membacakan pertimbangan, majelis menyatakan bahwa tiga bukti yang ada diatur di dalam KUHAP adalah sah. 

Bukti CCTV yang dipersoalkan oleh tim penasihat hukum dibantah oleh majelis. Hakim menilai CCTV bisa mejadi alat bukti yang sah selama berkesesuaian dengan keterangan saksi dan dapat dijadikan alat bukti yang sah. 

Apalagi, penggunaan CCTV untuk mengungkap suatu tindak pidana sudah sering dilakukan oleh para penegak hukum dan diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Majelis mengesampingkan keterangan ahli hukum Prof Mudzakir tentang otopsi yang terdapat di dalam Peraturan Kapolri. Majelis menilai, bahwa kewajiban otopsi tersebut berada di dalam Peraturan Kapolri yang secara hierarkis posisinya berada jauh di bawah KUHAP.  

“Walaupun tidak dilakukan otopsi di dalam tubuh korban bukan berarti penyebab kematian tidak bisa ditemukan,” kata hakim anggota, Partahi Tulus Hutapea.

Dalam pertimbangannya majelis menegaskan tak harus ada saksi mata yang melihat seseorang melakukan perbuatan pidana. Hakim bisa memperoleh dari bukti tidak langsung.  Kecurigaan terhadap pihak kafe Olivier yang mungkin melakukan pembunuhan juga dijelaskan oleh hakim dengan logika. 

Bagi majelis, jika benar pihak kafe Olivier yang merencanakan pembunuhan maka pasti es kopi vietnam sudah dibuang. Artinya, sianida sudah ada di dalam es kopi vietnam tersebut sebelum penyidik melakukan pemeriksaan.

Terkait kecilnya jumlah sianida yang ditemukan di dalam tubuh Mirna Salihin, majelis mengutip penjelasan dari ahli toksikologi forensik, Nursamran Subandi. 

Jumlah sianida yang masuk ke dalam tubuh Mirna Salihin melewati lethal dosis mematikan, namun yang ditemukan sedikit karena sudah mengalami penyerapan oleh usus dan menguap  di dalam lambung saat sianida bertemu asam lambung.

Kapan Jessica Memasukkan Racun?

Hal yang paling menjadi sorotan dari tim kuasa hukum Jessica Wongso adalah kapan Jessica Wongso memasukkan racun itu ke dalam es kopi vietnam milik yang akhirnya diminum korban?

Bagi majelis, kapan tepatnya racun sianida tersebut dimasukkan sesungguhnya Jessica Wongso pasti mengetahui. Tetapi saat melihat aktivitas Jessica Wongso di dalam CCTV, menurut majelis adalah tak lama setelah Jessica meletakkan paperbag di meja.

Majelis juga merasa heran mengapa Jessica Wongso membeli hadiah sabun cuci kepada para sahabatnya. Hadiah sabun cuci tangan itu dianggap tak lazim bagi orang seusia Jessica Wongso dan teman-temannya. 

Selain itu, majelis juga mempertanyakan alasan Jessica Wongso memesan kopi untuk Mirna Salihin terlalu cepat, padahal yang bersangkutan belum sampai di lokasi. Majelis menilai jika agenda pertemuan adalah makan malam, maka biasanya makanan dan minuman baru dipesan setelah para sahabatnya datang.

“Jessicalah yang mengetahui siapa yang memindahkan (gelas es kopi vietnam), hingga lalat yang hinggap pun Jessica tahu. Saat Mirna datang Jessica gelisah karena jika datang bersamaan dengan saksi Hany rencananya bisa gagal. Saat Mirna mengaduk terlihat terdakwa tidak fokus dan menutup mulut, berarti terdakwa kaget karena Hany ikut datang bersama Mirna,” kata Binsar.

Hakim juga membantah argumentasi dari kuasa hukum Jessica Wongso yang mengatakan bahwa kematian Mirna Salihin disebabkan oleh penyakit kronis yang tidak terdeteksi. 

Majelis pun mengutip keterangan dari ahli dokter forensik Slamet Purnomo bahwa suatu penyakit akan menunjukkan gejala-gejala sendiri. 

Gejala tersebut tidak terlihat dari Mirna Salihin, dan berkesesuaian dengan keterangan saksi Arief Sumarko dan saksi Darmawan Salihin yang menyatakan bahwa Mirna tidak memiliki riwayat penyakit apapun.

Majelis menilai beberapa tindakan Jessica Wongso tak lazim. Pembayaran bill yang dilakukan di awal, misalnya, dianggap majelis hakim bertujuan agar Jessica Wongso bisa meninggalkan lokasi dengan cepat. 

Majelis menyayangkan isi pledoi Jessica Wongso yang justru menimpakan kesalahan kepada Arief dan Hany yang memutuskan membawa Mirna Salihin ke RS Abdi Waluyo dengan mobil pribadi.

Unsur Kesengajaan

Unsur sengaja di dalam Pasal 340 KUHP juga dinyatakan terpenuhi. Syarat kesengajaan adalah mengetahui dan menghendaki, dalam hal ini majelis memastikan bahwa Jessica Wongso benar-benar memahami apa yang akan terjadi dengan korban atas tindakannya, ada jeda waktu antara niat dan perbuatan, serta perbuatan dilakukan dengan tenang. 

Jessica Wongso membangun skenario reuni untuk melancarkan niat tersebut. Kemudian datang terlebih dahulu dengan alasan takut terjebak macet, mencari posisi tempat duduk yang jauh dari jangkauan CCTV dan berpindah tempat duduk yang tertutup oleh tanaman.

Terkait motif, majelis menilai meskipun motif tidak masuk ke dalam unsur delik dalam Pasal 340 KUHP, namun perlu juga untuk mengetahui penyebab terjadinya suatu tindak pidana. Sebab, tanpa adanya motif sangat sulit seseorang melakukan perbuatan pidana kepada seseorang, terutama dalam pembunuhan berencana. 

“Jessica pulang ke Jakarta dalam kondisi banyak permasalahan, dan pertemuan pada 8 Desember 2015 lalu dengan Mirna dan Arief membuat hati Jessica merasa teriris-iris melihat rumah tangga Mirna yang bahagia. Jessica iri,” ungkap Binsar.

Meskipun Jessica Wongso membantah telah membunuh sahabatnya, Mirna Salihin, namun dari alat bukti yang saling berkesesuaian sudah dapat membantah keterangan terdakwa. 

Keterangan terdakwa hanya berlaku bagi dirinya sendiri dan kemudian pengakuan tersebut akan dikorelasikan dengan alat bukti lain. Hal tersebut diatur di dalam KUHP.

“Pengakuan terdakwa secara arif dan bijaksana ditambah dengan keyakinan hakim, berpedoman dan mencermati alat bukti yang ada ternyata telah ada alat bukti yang sah untuk memenuhi unsure-unsur kesengajaan. Bukti unsur kesengajaan yang dikehendaki dan diketahui secara sadar akibatnya,” jelas Binsar.

Mengingat dalam replik Penuntut Umum menyebutkan sianida bisa didapatkan di pasar gelap, maka majelis menilai bahwa sianida bisa diperoleh dengan cara tersebut. Hakim juga dengan tegas menolak seluruh isi pembelaan Jessica dan kuasa hukum. 

Air mata Jessica Wongso, kata anggota majelis Binsar, hanya menggambarkan kesedihan atas apa yang menimpa dirinya sendiri. Air mata tersebut tidaklah murni dan jujur.

Bahkan hakim menegaskan memperhatikan secara detail air mata Jessica yang tidak jatuh hingga ke hidung. Air mata Jessica dinilai hakim sebagai sandiwara, sesuai kepribadian Jessica Wongso yang diungkapkan di persidangan. “Pemahaman yang digunakan majelis untuk memutus perkara ini perkara ini, menggunakan hati nurani, fakta hukum, dan keterangan ahli,” katanya.

Novum 

Otto Hasibuan berniat peninjauan kembali (PK) atas putusan hakim terhadap Jessica. Saat ini Otto mengaku sedang mempersiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk mengajukan PK, khususnya soal novum dan bukti-bukti lain pada kasus kopi sianida.

Menurut Otto, kasus Jessica Wongso seharusnya dapat dijadikan momentum perubahan di bidang penegakan hukum. Banyaknya dukungan pada kasus Jesica, lanjut Otto harusnya dijadikan pertimbangan bagi para penegak hukum.

Dengan kasus ini, diharapkan ada perubahan yang signifikan di bidang penegakan hukum, supaya semua pimpinan-pimpinan penegak hukum yang ada baik Kejaksaan, Kepolisian, Mahkamah Agung, bisa melihat bahwa ada sesuatu hal yang salah di dalam penegakan hukum selama ini. 

Bakal mengajukan PK baru, tetapi Otto terlebih dahulu akan melakukan upaya hukum lainnya sehingga didapatkan novum atau bukti baru yang mendukung PK-nya.

Kasus ini harus dibuka kembali, karena Otto menduga ada pihak yang melakukan kejahatan dalam kasus ini

"Kami akan mengajukan PK setelah terlebih dahulu membongkar pelaku yang diduga melakukan kejahatan dalam kasus ini," tegas Otto saat dihubungi Monitorindonesia.com, Minggu (26/11) dini hari.

Otto menegaskan, bahwa dugaan pihak yang merekayasa dan menyembunyikan CCTV-lah yang membuat kliennya itu dihukum.

"Aparat penegak hukum harus membongkar pelaku yang diduga melakukan rekayasa cctv dan yang menyembunyikan cctv sehingga membuat Jessica dihukum," katanya.

Atas hal ini lah, Otto juga berencana membuat laporan polisi perihal barang bukti yang berkaitan dengan kasus tersebut. “Betul [mau buat laporan]”.
Rencana pelaporan itu berkaitan dugaan barang bukti rekaman kamera CCTV disembunyikan, sehingga rekaman yang ditampilkan di persidangan disebut tidak utuh.

Pembuatan laporan polisi itu rencananya akan dilakukan di Bareskrim Polri meski belum diketahui siapa yang akan dilaporkan.

“Jadi ada bagian-bagian dari CCTV itu yang diambil dihilangkan sehingga rekaman CCTV yang dipertontonkan di sidang itu jadi tidak sempurna, tidak lengkap. Nah dan ada dugaan juga itu yang ada rekayasa,” jelas Otto.

Tudingan tersebut muncul setelah adanya sebuah acara talk show yang dibawakan oleh Karni Ilyas menghadirkan tamu yaitu ayah Mirna Salihin, Edi Darmawan.

Dalam acara tersebut Edi sempat memperlihatkan sebuah rekaman CCTV dari handphone-nya yang diklaimnya belum pernah dikeluarkan dan berpendapat mengenai momen racun sianida ditaruh.

Oknum Hakim dan Ayah Mirna Dilaporkan

Tim advokat melaporkan oknum-oknum yang diduga merekayasa kasus yang menjerat kliennya itu. Adalah oknum hakim bernama Binsar Gultom (BG) yang diduga melanggar kode etik karena memberikan pernyataan mengenai kasus Jessica Wongso di televisi.

BG dilaporkan ke Bawas MA dan KY pada akhir November lalu atas dugaan melanggar pasal 7 ayat 3 huruf F dan huruf G peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial nomor 2bb/MA/09/2012.

Kemudian, Darmawan Salihin (DS), ayah kandung dari Mirna Salihin dilaporkan karena diduga menyembunyikan barang bukti CCTV. Pelaporan DS ke bareskrim dilakukan pada hari Jumat 1 Desember 2023 atas dugaan melanggar pasal Pasal 221 ayat (1) angka 2 KUHP dan Pasal 32 Ayat (1) UU ITE.

Alasannya, DS memamerkan rekaman CCTV yang tidak ditayangkan di persidangan namun ia perlihatkan di suatu acara yang dipandu oleh Karni Ilyas.

Didukung Calon Hakim Agung dan DPR

Langkah peninjauan kembali (PK) yang baru diperkuat oleh keberanian calon Hakim Agung Achmad Setyo Pudjoharsoyo. Setyo yang telah disahkan DPR berani mengesampingkan Pasal 24 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali."

Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil, meminta Achmad Setyo Pudjoharsoyo sebagai calon Hakim Agung pada kamar pidana untuk tidak menolak setiap perkara kasus yang mengajukan peninjauan kembali (PK). 

"Hakim tidak boleh menolak perkara kemudian apabila ada peninjauan kembali tentu sebagai seorang hakim ya harus siap. Siap dalam arti membaca dan menelaah," kata Nasir kepada Monitorindonesia.com di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/12) kemarin.

Adanya permintaan PK yang diajukan oleh Otto Hasibuan, kata dia, karena adanya novum tidak dapat ditemukan saat sidang perkara. "Apa yang diusulkan itu artinya, apakah ada novum baru sehingga kemudian perkara itu diajukan dalam bentuk peninjau kembali," bebernya. 

Nasir pun memuji dan mendukung Achmad Setyo Pudjoharsoyo, berani dan menyatakan kesiapannya apabila PK diajukan oleh pihak Jessica. 

"Pada prinsipnya apa yang disampaikan oleh hakim agung terpilih tersebut ya sesuatu positif, karena dia berani mengatakan siap," katanya. 

Novum Jalan Pembebasan Jessica

Putusan penjara 20 tahun untuk Jessica Kumala Wongso sudah berkekuatan hukum tetap (inkracth). Semua upaya hukum sudah dilakukan oleh Jessica Wongso, baik itu melalui banding, kasasi, sampai pada peninjauan kembali (PK).

Memang pada tahun 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mencabut pasal 268 ayat 3 KUHAP, yang artinya PK bisa dilakukan lebih dari sekali.
 
Namun, tahun 2014, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran nomor 07/2014 yang menyatakan PK hanya bisa dilakukan sekali, berdasarkan UU Kehakiman dan UU MA yang tidak pernah diutak-atik oleh MK. 

Dan, kenyataan yang terjadi di lapangan adalah, bahwa hakim-hakim sangat tunduk terhadap setiap produk hukum dan kebijakan MA, sekalipun putusan MK seharusnya bersifat final dan mengikat. 

Maka praktis upaya hukum luar biasa melalui PK hanya bisa dilakukan sekali, dan itu sudah dilakukan oleh pihak Jessica Wongso dengan hasil PK ditolak.

Hanya dua hal yang bisa menjadi novum sebagai jalan pembebasan bagi Jessica Wongso

Pertama, ada orang lain yang mengakui dan membuktikan bahwa dirinyalah yang membunuh Mirna (seperti Gunel dalam kasus Sengkon Karta).

Kedua, Jessica Wongso bisa menyatakan dan membuktikan dengan jelas dan terang penyebab kematian Mirna Salihin (bukan sekedar berkelit bahwa tidak ada jejak sianida di jasad Mirna Salihin).

"Injustice anywhere is a threat to justice everywhere (Ketidakadilan di suatu tempat merupakan ancaman terhadap keadilan di setiap tempat.” —Martin Luther King Jr.

Pihak Jessica Wongso dapat meminta kepada pihak berwenang kembali membuka kasus tersebut karena adanya kejanggalan-kejanggalan. Barulah peninjauan kembali dapat diajukan dengan syarat terdapat bukti baru (novum) yang belum terungkap pada persidangan sebelumnya. 

Jadi harus terdapat hal baru yang sebelumnya memang belum ada dalam persidangan hingga terpidana tersebut diputus dan dieksekusi dalam hukumannya.

Pengaturan soal upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 263 hingga 269. 

Dalam Pasal 263 Ayat (2) huruf a-c disebutkan peninjauan kembali dapat dilakukan dengan apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan yang lebih ringan dari yang telah diterimanya.

Kemudian peninjauan kembali dapat dilakukan dengan dasar apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain serta terakhir putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Adapun jangka waktu dalam peninjauan kembali tidak dibatasi sebagaimana diatur dalam Pasal 264 Ayat (3) KUHAP “Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu”.
 
Kemudian dalam peninjaun kembali pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. 

Kemudian putusan tersebut dapat berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum, serta putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

Soal asas tersebut juga tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 18 Ayat (5) menyatakan bahwa “Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.

Melalui asas tersebut maka setiap orang akan memperoleh kepastian hukum dengan tidak diproses pada perkara yang sama. (Wan)