Petinggi Negara Tersangkut Rasuah, Apa Kata Istana?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 2 Desember 2023 18:37 WIB
Gedung Istana Negara Jakarta (Foto: MI/Net/Ist)
Gedung Istana Negara Jakarta (Foto: MI/Net/Ist)
BARU-BARU ini mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo, melayangkan tuduhan yang serius di media. Ketua KPK 2015 - 2019 itu mengaku bertemu dan mendapat perintah Presiden Joko Widodo atau Jokowi agar menghentikan kasus korupsi e-KTP yang melibatkan Ketua DPR saat itu, Setya Novanto.

Namun, tuduhan ini dibantah pihak Istana. "Setelah dicek, tidak ada pertemuan yang disebut-sebut dalam agenda presiden," kata Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, Jum'at (1/12).

Jauh sebelum ini, berdasarkan catatan Monitorindonesia.com, Sabtu (2/12), bahwa menteri/wakil menteri yang terjerat kasus korupsi di era Presiden Jokowi lebih banyak dibandingkan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri.

Sejumlah menteri di era pemerintahan Jokowi terseret kasus korupsi, seperti Menteri Kominfo Jhonny G. Plate (Korupsi BTS 4G bakti Kominfo), Menteri Sosial Juliari Batubara (Suap bansos Covid-19), Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (Suap terkait izin budidaya dan ekspor benih lobster), Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi (Suap dan hibah KONI) dan Menteri Sosial Idrus Marham (Korupsi Proyek PLTU Riau).

Bersama mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang berstatus tersangka, total terdapat enam menteri yang tersandung kasus korupsi di era Presiden Jokowi. Jumlah itu belum mencakup Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej. Tak lupa juga pimpinan lembaga antrasuah, Ketua KPK nonaktif, Firli Bahuri turut terseret kasus dugaan rasuah yakni pemerasan terhadap SYL itu, proses hukumnya masih berlangung di kepolisian.

Di era Susilo Bambang Yudhoyono sebanyak 5 orang yakni Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah (Korupsi terkait pengadaan sekitar 6.000 unit mesin jahit sekaligus impor sapi), Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (Korupsi pengadaan alat kesehatan), Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng (Korupsi olarga Hambalang), Menteri SDM/Pariwisata Jero Wacik (Korupsi dana operasional menteri), dan Menteri Agama Suryadharma Ali (Korupsi dana haji dan dana operasional menter).

Untuk era Megawati Soekarnoputri sebanyak 3 orang. Yaitu, Menteri Kelautan dan Perikanan Rohmin Dahuri (Korupsi dana nonbudgeter KKP), Menteri Kesehatan Ahmad Sujudi (Korupsi pengadaan Alat Kesehatan) dan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno (Korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran (damkar).

Selain itu, perlu diketahui juga bahwa, era Jokowi juga mencatat sejarah karena dua hakim agung terjerat kasus korupsi. Ditambah lagi dengan pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yakni Anggota III BPK Achsanul Qosasi (AQ) terseret kasus dugaan korupsi BTS Kominfo. Dan juga Kepala Basarnas Henri Alfiandi.

Dengan tegas Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan HAM, Rumadi Ahmad, mengatakan rentetan kasus petinggi negara yang terungkap belakangan ini “bukan politisasi kasus”.

“Bagi kami di pemerintah yang diperlukan adalah dukungan penguatan komitmen politik dalam pemberantasan korupsi,” kata Rumadi dalam keterangan tertulis, Jum'at (1/12).

Menurutnya saat ini baik KPK, Polri dan Kejaksaan Agung sedang dalam proses mengungkap banyak kasus korupsi besar bahkan di level elit, tanpa pandang bulu.

Namun, Rumadi mengakui kalau proyeksi IPK Indonesia 2023 “cukup berat”. Hal ini karena persepsi dan integritas penegak hukum yang kurang baik saat ini akan berpengaruh terhadap IPK.

"Skor kita di indikator penegakan hukum yang dinilai oleh World Justice Project hampir selalu rendah, bahkan di bawah rerata dunia,” katanya.

Rumadi menambahkan, hal lain yang perlu dicermati adalah terjadinya penurunan tren IPK yang terjadi sejak tahun 2020, pascarevisi UU KPK.

“Korelasi antara penurunan skor IPK, dan revisi UU KPK dapat dipahami sebagai persepsi negatif yang terbangun di publik, karena DPR dan pemerintah dianggap memperlemah KPK,” katanya.

Untuk memperbaiki persepsi publik terhadap korupsi di Indonesia, dalam sisa waktu Pemerintahan Jokowi satu tahun ke depan, akan mendorong percepatan pembahasan hingga penerbitan RUU Perampasan Aset.

“Salah satu isu yang mengemuka, adalah bagaimana kita mengejar dan merampas aset pada koruptor dan pelaku tindak pidana pencucian uang agar sepenuhnya kembali kepada negara,” kata Rumadi.

Ia melanjutkan, bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh FATF (Financial Action Task Force) bulan Oktober 2023 lalu adalah bukti nyata komitmen pemerintah melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai koordinatornya, untuk mewujudkan sistem keuangan yang lebih terpercaya dan akuntabel dalam rangka pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang, Korupsi, dan Terorisme.

“Hal ini adalah kepercayaan sekaligus tanggung jawab yang harus dijaga dan dipastikan pemenuhan komitmennya, tidak hanya oleh eksekutif, tetapi juga legislatif dan yudikatif,” tambah Rumadi.

Kata dia, selain penindakan dan penguatan regulasi, pencegahan korupsi juga akan terus dilakukan melalui Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) dengan menyasar sektor strategis seperti reformasi pelabuhan, digitalisasi pengadaan barang jasa, penguatan kapasitas dan kelembagaan inspektorat, serta akuntabilitas keuangan partai politik.

“Pemerintah pun sudah menyediakan kanal pelaporan melalui kanal LAPOR.go.id SMS ke 1708, atau juga lewat email [email protected], dengan terbukanya kanal aduan ini kami harapkan agar masyarakat semakin berani melapor, terlibat secara aktif, dengan kerahasiaan dan keamanan terjamin,” demikian Rumadi.

Extraordinary Crime

Salah satu indikasi mengapa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) adalah hukuman berat bagi pelakunya. Akibat penyebutan itu, maka ditemukan sejumlah penyimpangan dari regulasi umum, satu diantaranya adalah pengaturan sanksi pidana minimum-maksimum di dalam UU Tipikor. 

Sayangnya, ketentuan itu dihilangkan dari KUHP baru, misalnya, Pasal 610 ayat (2) terkait tindak pidana suap. Atas kondisi substansi aturan semacam ini, bukan tidak mungkin hakim dapat memanfaatkan diskresinya secara berlebihan guna menghukum ringan para pelaku.

Poses persidangan perkara korupsi belum banyak memberikan efek jera maksimal kepada pelaku. Alih-alih menghukum berat, rata-rata hukuman pelaku pada tahun 2021 hanya 3 tahun 5 bulan penjara. 

Belum lagi ditambah dengan sejumlah putusan ganjil, mulai dari Juliari P Batubara, Pinangki Sirna Malasari, Nurhadi, hingga Edhy Prabowo. Kondisi itu tentu memantik kritik masif dari masyarakat yang menginginkan adanya hukuman yang menjerakan pelaku.

Sayangnya, KUHP baru justru ingin mereduksi kritik masyarakat dengan turut menyertakan ancaman pidana. Poin ini tertuang secara jelas dalam Pasal 280 huruf b.

Maka dari itu, jika ketentuan ini diundangkan, bukan tidak mungkin masyarakat yang kemudian melancarkan kritik dapat diproses secara hukum. Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa substansi KUHP baru bernuansa anti terhadap kritik dan melemahkan aspek partisipasi masyarakat.

Maka dari itu, pemerintah dan DPR  didesak agar segera mengeluarkan delik-delik korupsi dari RKUHP kemudian merevisi UU Tipikor. (Wan)