DPD: Terkait UU KUHP, Mengapa Soal Kumpul Kebo yang Dihebohkan

John Oktaveri
John Oktaveri
Diperbarui 8 Desember 2022 11:44 WIB
Jakarta, MI - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Hilmy Muhammad menyayangkan dari ratusan pasal pada Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya soal kumpul kebo yang menjadi titik keberatan dari banyak kalangan termasuk dari luar negeri. Sebelumnya DPR dan pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) sebagai Undang-Undang (UU) pada Selasa (6/12). Pemerintah Indonesia kemudian menuai kritik dari berbagai kalangan, baik dari dalam negeri maupun berbagai media luar negeri. Di antara kritik itu dilontarkan oleh Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat untuk Indonesia, Sung Yong Kim terkait pasal 412 yang mengatur tindak pidana perzinaan dan kohabitasi karena dapat mengganggu iklim investasi di Indonesia. Menurut Hilmy, apa yang disebutkan bahwa produk legislasi itu akan mengganggu iklim investasi di Indonesia sangat tidak berdasar. Dia menyayangkan, dari ratusan pasal, mengapa hanya soal kumpul kebo yang menjadi titik keberatannya. Namun demikian, apa pun bentuk kritiknya, Hilmy menyatakan sah-sah saja. “Sah-sah aja siapa pun mengkritik produk hukum kita, tapi dari semua pasal, masa ya hanya soal kumpul kebo yang diperhatikan," ujarnya kepada wartawan, Rabu (8/12). Justru dengan pasal itu, Indonesia ingin melindungi warga yang dirugikan karena masuknya adalah lewat delik aduan. "Jadi alasan kenapa itu jadi kasus kriminal. Jika pasangan Anda selingkuh, Anda berhak melaporkannya. Di negara mana pun, dari sisi apa pun, perselingkuhan tentu tidak dibenarkan," ujarnya. Dengan mengkritik pasal ini, apakah kita akan memperbolehkan perselingkuhan dan perzinahan?” ujar Senator asal Yogyakarta tersebut mempertanyakan. Sebaliknya, pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut mengajak untuk mendiskusikan pasal-pasal yang jauh lebih penting. Menurutnya, pasal-pasal yang dikritisi para demonstran tentang kebebasan pers, berita bohong, penghinaan pemimpin dan lembaga negara yang lebih substansial untuk dibahas. “Isu-isu yang dibawa demonstran ini lebih menarik untuk kita diskusikan daripada pernyataan Kim. Dia tidak paham dengan tradisi dan norma yang berlaku di masyarakat kita. Kita berharap, sesama bangsa jangan menunjukkan sikap superior seolah-olah lebih beradab hanya karena melegalkan seks sebelum menikah," katanya. Apalagi sebagai duta besar, Kim mestinya lebih bisa menempatkan diri ketika berada di tempat orang lain,” ujar aggota Komite I DPD tersebut. Lebih lanjut, Gus Hilmy menjelaskan bahwa KUHP ini telah berusaha mengharmonisasi hukum modern, hukum agama, dan norma-norma. Tidak akan dapat memuaskan semua orang karena basis multikultural yang dimiliki Bangsa Indonesia, apalagi orang luar. Namun jika yang dimaksud Kim adalah melegalkan perzinaan dan LGBT, tentu itu tidak sesuai dengan norma, adat, dan agama, katanya. “Kalau mau legal, ya menikah. Sudah diatur dalam UU Perkawinan. Sementara kalau harus melegalkan LGBT, jelas akan kita tolak. Tidak sesuai dengan ajaran yang kita anut,” katanya. Terkait investasi di Indonesia, Gus Hilmy menyangkal jika pasal dalam KUHP ini mencampuri urusan privat dan dapat mengganggu masuknya investasi di Indonesia. “Kalau tujuannya investasi, ya akan tetap jalan karena niatnya memang investasi. Tetapi kalau investasinya itu ada kaitannya dengan LGBT, kita sarankan agar tidak berjualan sesuatu di tempat yang jelas-jelas sudah melarangnya," ujarnya. Gus Hilmy menyatakan bahwa Indonesia masih sangat aman untuk para investor dan wisatawan. Ruang privat masyarakat akan tetap terjamin tanpa mengurangi nilai-nilai ke-Indonesia yang telah dipegang selama ini, katanya.