Panggung Pilpres Indonesia 2024

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 26 November 2023 16:35 WIB
Yudi Syamhudi Suyuti (Foto: Dok MI)
Yudi Syamhudi Suyuti (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Pemilihan presiden (Pilpres) 2024  hanya tinggal menunggu waktunya tiba.

Yaitu sebuah hari ketika kita dihadapkan pilihan 3 calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) di tempat pemungutan suara (TPS).

Menurut Ketua Umim Front Pembangunan Persatuan Rakyat (FPPR) Yudi Syamhudi Suyuti, tidak ada yang terlalu dikhawatirkan dalam Pilpres 2024, selain dari terjadinya suksesi kepemimpinan Joko Widodo dan Mar'uf Amin.

"Karena ketiga paslon yang ada, pun kesemuanya beririsan dengan Jokowi-Maruf," ujar Yudi, Minggu (26/11).

"Baik itu paslon nomor 1, 2 dan 3. Sehingga potensi bersatunya kembali seluruh kubu pasangan calon (Paslon) setelah pilpres begitu besar," tambah politikus PPP ini. 

Apalagi, lanjut dia, tingkat kesemarakan pemilu kali ini juga bisa dirasakan tidak se-semarak pemilu-pemilu sebelumnya terhitung sejak era pemilu reformasi 99. 

Dimana, ungkap dia, di era itu demokratisasi menjadi gairah politik kedaulatan rakyat yang digotong rakyat. 

Sehingga gotong royong dalam memenangkan capres-cawapres (meskipun pencitraan politik tetap menjadi andalan), akan tetapi harapan-harapan besar akan majunya rakyat dan negara menjadi semangat patriotik dalam memilih capres-cawapres di TPS. 

"Berbeda pada saat sekarang, sebagian besar rakyat warga dihadapkan pada problem kehidupannya, kesulitan hidupnya dan berbagai kekhawatiran. 

Sebenarnya, lanjut Koordinator Eksekutif Jaringan Aktivis Kemanusiaan Internasional (JAKI) ini, keadaan ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja, akan tetapi terjadi hampir di seluruh dunia. 

"Hal ini, karena kita berada di dalam masa transisi perubahan global yang sedang terjadi. Keadaan situasi global yang defisit dari sebagaian besar sektor fundamental berimbas ke Indonesia," katanya.

Bahkan isu pilpres hampir diseluruh dunia juga bisa dibilang sama atau paling tidak mirip-mirip.

"Yaitu isu tentang demokrasi vs otokrasi. Isu ini seolah menjadi desain politik dunia sekarang. Ditambah lagi satu isu yang di Indonesia tidak terlalu populer. Yaitu isu nasionalis vs globalis," tutur Yudi.

Namun di Indonesia, lanjut dia, isu yang hadir adalah keberlanjutan vs perubahan, sehingga masih berada dalam kerangka umum nasional, global dan demokrasi. 

Isu tentang nasionalis vs globalis ini adalah tantangan Indonesia untuk menunjukkan posisinya, dimana dalam manifestonya.

Yaitu pembukaan UUD 45 yang Pancasila ada di dalamnya, Indonesia telah diamanatkan untuk menempatkan strategi nasional dan globalnya. 

"Yaitu dibentuknya negara nasional berkedaulatan rakyat dan terlibat dalam perdamaian serta ketertiban dunia," bebernya.

Sebuah amanat yang tidak serta-merta muncul begitu saja dari alam lamunan atau utopia dari para pendiri negara Indonesia. 

"Melainkan realita itulah yang dipetakan dan dikonstruksi menjafi posisi strategis pembentukan negara Indonesia yang ditulis sebagai arsitektur oleh para pendiri dan para arsitek negara Indonesia yang terdiri dari para tokoh cerdik pandai dan paham tentang posisi nasional dan geopolitik Indonesia," jelas Yudi.

Kembali pada realita pilpres 2024, seolah semua gambaran arah petunjuk dari Pembukaan UUD 45 menjadi terdistorsi, ketika persoalan sekarang Indonesia jauh berbeda.

"Gagasan tentang keberlanjutan vs perubahan ditambah isu demokrasi vs otokrasi yang memiliki argumentasinya masing-masingpun telah runtuh. Diruntuhkan oleh kenyataan," ungkap Yudi.

Gagasan-gagasan tersebut, urai Yudi, prinsipnya selama untuk kepentingan rakyat warga, tidak ada salahnya. 

"Toh, itu akan diuji setiap 5 tahun sekali. Karena alas demokrasi masih tetap menjadi instrumen politik Indonesia. Setidaknya dalam 5 tahunan," katanya.

"Akan tetapi pada akhirnya, kita dihadapkan pada 1 ideologi, yaitu ideologi wani piro (Berani Berapa). Itulah kenyataan yang tidak terbantahkan," timpalnya.

Lebih lanjut, Yudi menjelaskan, bahwa para pengusung yang dipandang membawa isu politik demokrasi maupun otokrasi, pada akhirnya, menempatkan posisi para politisi dan para pemilih antara pembawa pipa air yang super kuat dan ember penampung yang besar. 

"Kembali lagi, wani piro," tegasnya.

Namun, Yudi sebagai rakyat warga yang juga aktivis dan politisi demokratik, dimana demokrasi menjadi pilihannya, tentu masih punya harapan. 

"Dan ini masih bisa menjadi celah untuk memenangkan politik pilpres dengan capres-cawapres kami, meskipun tidak mudah," cetusnya.

Akan tetapi celah inilah yang mampu masuk ke dalam rumah kemenangan politik dan membawa berkah untuk rakyat warga. 

Yaitu trust. Ini satu-satunya yang dapat membawa cita-cita pembukaan UUD 45 mencapai tujuannya. 

"Sekali lagi trust atau kepercayaan yang terikat antara pemilih dan yang dipilih beserta para ahli kampanye dan penggeraknya. Hanya itu saja," katanya.

"Dan ini terpaksa menjadi ujian, karena bersifat abstrak. Belum terjadi dan tidak bisa dibuktikan sehingga sulit dipastikan. Apalagi ini soal politik. Dimana, politik dinilai dan dikenal publik dengan aksi tipu-tipu," sambungnya.

Tapi itulah tantangan semua pihak. Siapa yang mampu dan kuat memberikan trust kepada takyat, maka merekalah yang memimpin.

"Untuk itu, partai, dimana saya sebagai kader barunya tidak mau banyak-banyak memberikan janji. Cukup dengan kerja mudah, harga-harga murah, hidup berkah," ungkapnya.

"Dan itu yang kami bawa untuk menanamkan trust ke rakyat warga sebagai prinsip saling percaya memilih paslon capres-vawapres kami, Ganjar-Mahfud," lanjutnya.

Karena itu adalah ringkasan dari isi program Ganjar-Mahfud sekaligus misi saat ini partainya yaitu partai Persatuan Pembangunan (PPP). 

"Perjuangan kenegaraan saat ini sangat-sangat mahal, melebihi mahalnya ideologi wani piro. Yaitu trust," demikian Yudi. (LA)