Sikap Kritis Kampus Digembosi?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 8 Februari 2024 23:50 WIB
Civitas akademika dan alumni UIN Syarif Hidayatullah Ciputat membentangkan spanduk Tolak Dinasti Politik, Senin (5/2) (Foto: MI/Repro ANTARA)
Civitas akademika dan alumni UIN Syarif Hidayatullah Ciputat membentangkan spanduk Tolak Dinasti Politik, Senin (5/2) (Foto: MI/Repro ANTARA)

Jakarta, MI - Puluhan civitas akademika telah menyuarakan peringatan keras terhadap pemerintahan Presdien Joko Widodo alais Jokowi yang disebut telah melanggar etika dan merusak demokrasi. Pun demikian, beberapa rektor dan akademisi dari sejumlah universitas di Jawa Tengah (Jateng) belakangan mengeluhkan secara terbuka tentang adanya dugaan intimidasi dan pemaksaan dari pihak-pihak kepolisian untuk menyampaikan tentang keberhasilan pemerintahan Jokowi.

Rektor Universitas Soegijapranata di Kota Semarang, Ferdinandus Hindarto misalnya. Pada pekan lalu menyampaikan dirinya dihubungi oleh kepolisian Polrestabes Semarang untuk membuat video yang berisikan testimoni tentang keberhasilan Jokowi selama memimpin pemerintahan. 

Tak hanya dia, Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang Masrukhi juga menyampaikan hal yang serupa. 

Keluhan ini telah sampai di telinga Mahfud Md yang merupakan mantan Menteri Koordinator (Menko) Bidan Politik Hukum dan Keamana (Polhukam) sekaligus calon wakil presiden mendampingi Ganjar Pranowo dengan nomor urut 03.

Kapolrestabes Semarang Kombes Pol Irwan Anwar telah mengatakan bahwa kepolisian merangkul kalangan sivitas akademika dalam rangka mewujudkan cooling system untuk menjaga suasana kondusif pada masa Pemilu 2024. 

"Kami sebagai penanggung jawab pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat Kota Semarang wajib mewujudkan situasi kondusif dalam rangkaian pelaksanaan Pemilu 2024," kata Kapolrestabes dalam siaran pers di Semarang, Jawa Tengah, Rabu (7/2).

Beberapa langkah cooling system tersebut, kata Irwan, antara lain dengan mengajak tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama, dan sivitas akademika. Menurut dia, ajakan sivitas akademika bertujuan untuk mendukung terciptanya pemilu damai, tanpa maksud lainnya.

Irwan menjelaskan, bahwa video sivitas akademika yang dimintai komentarnya itu merupakan hasil wawancara yang telah memperoleh persetujuan untuk dipublikasikan. "Tidak ada paksaan bagi yang bersedia memberikan testimoni maupun pesan kamtibmas," ungkapnya.

Meski begitu, di tengah kencangnya seruan dan kritikan itu, pakar politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Devi Darmawan, menyebut tindakan polisi tersebut jelas ingin menggembosi sikap kritis sivitas akademia.

Devi pun mendesak agar anggota polisi yang melakukan itu ditindak tegas. Sebab sebagai pengayom masyarakat, katanya, aparat penegak hukum 

"Tidak boleh melayani kepentingan pemerintah apalagi Jokowi secara personal," tegas Devi dikutip pada Kamis (8/2).

Akan tetapi Karopenmas Divisi Humas Polri, Trunoyudo Wisnu Andiko, beralasan permintaan membuat video testimoni itu sebagai bentuk pemeliharaan keamanan agar masyarakat tidak terprovokasi atau terpecah belah jelang pemilu.

Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol. Satake Bayu Setianto juga menyatakan bahwa seluruh komponen masyarakat diajak untuk bersama berperan menjaga situasi agar tetap kondusif. "Kami imbau seluruh tokoh, baik tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun tokoh berkompeten lainnya untuk bisa membantu menjaga situasi kamtibmas agar berjalan aman dan tertib," katanya, kemarin.

Satake menjamin Polri tetap netral dalam melaksanakan pengamanan Pemilu 2024. "Tidak ada arahan untuk mendukung salah satu paslon, kehadiran Polri merupakan representasi kehadiran negara," katanya lagi.

Sudah Keterlaluan?

Profesor Franz Magnis-Suseno, yang juga guru besar di STF Driyarkara menilai fenomena polisi minta agar kampus memberikan apresiasi pada kinerja pemerintahan Jokowi sebagai "sudah keterlaluan".

"Sekarang dipakai tekanan dan intimidasi untuk membungkamkan kritik. Kritik yang disuarakan dunia akademisi adalah pantas dan seharusnya ditanggapi secara politis dari pada mencoba menekan apalagi mengintimidasi," kata Romo Magnis sapaannya.

Dia menilai apa yang terjadi di Semarang tidak sesuai dengan hak kebebasan berpendapat. Romo Magnis juga melihat posisi kepolisian "sedikit kejepit" karena adanya tekanan. "Saya kira intervensi di Semarang sekurang-kurangnya terjadi secara sopan, jadi itu harus diakui, tetapi harusnya polisi menolak hal seperti itu," katanya.

Lebih jauh, Romo Magnis menilai cara tersebut sangat lazim digunakan di negara-negara otoriter, ketika penguasa sulit melepaskan kekuasaannya. Namun, Presiden Joko Widodo masih punya waktu untuk menghentikan kejadian di Semarang, yang mungkin juga bisa terjadi di daerah lainnya.

"Polisi tidak akan membuat itu atas inisiatif sendiri. Mereka merasa ditekan, yang bertanggung jawab akhirnya presiden. Kalau presiden membiarkannya berarti dia mendukung," kata Romo Magnis.

Dalam tekanan civitas akademika yang semakin luas pada umumnya mengkritisi pelanggaran etika dalam pencalonan Gibran. Hal lainnya, mendesak Presiden Jokowi mengambil sikap netral, serta menjamin pemilu tanpa kecurangan. Setidaknya, masih ada satu pekan sebelum pemilu berlangsung Presiden Jokowi merespons seruan dari puluhan perguruan tinggi di Indonesia ini.

"Jadi itu tergantung dari beliau. Tapi kalau tekanan terus terjadi, sayang sekali dia akan masuk ke dalam sejarah, seperti presiden yang mengakhiri mencekik hasil-hasil ide bagus perjuangan reformasi," kata Romo Magnis.

Apakah Menggembosi?

Devi Darmawan  menilai apa yang disampaikan sivitas akademika terhadap ketidaknetralan pemerintahan Jokowi atas pelaksanaan Pemilu 2024 merupakan sebuah kebenaran sekaligus keprihatinan.

Pasalnya, penyimpangan yang dilakukan Presiden dengan menunjukkan keberpihakan pada paslon Prabowo-Gibran telah merusak kualitas pemilu dan demokrasi di Indonesia. Karena itulah mereka, kata Devi, bersedia 'turun gunung' demi menyuarakan ketimpangan tersebut meskipun taruhannya karier dan posisi mereka di universitas.

"Kita tahu tidak mudah dalam situasi politik saat ini ketika menyuarakan kebenaran karena ada hal-hal yang dikorbankan. Misalnya posisi mereka atau bagaimana aturan-aturan kampus yang tidak memperbolehkan itu dilakukan oleh para akademisi. Tapi mereka memilih menyuarakan meski tahu ada dampak nantinya pada mereka secara personal dan karier mereka," katanya.

https://monitorindonesia.com/storage/media/photos/caricature/6456ea88-6868-4727-92f2-2987106e5019.jpg

Foto: Karikatur - Ilustrasi - Ancaman Bikin Video Puja-puji/Gatot Eko Cahyono

Dugaan meminta sejumlah petinggi kampus membuat video yang bertujuan mengapresiasi kinerja Presiden Jokowi. Bagi Devi, tindakan ingin menggembosi sikap kritis sivitas akademika.

"Tidak boleh loyalitas terhadap kepemimpinan membuat polisi yang punya kewenangan melindungi dan mengayomi masyarakat malah melayani pemerintah dan Jokowi secara person," tegasnya.

"Kita punya batas-batas bernegara tapi karena adanya [kepentingan] Jokowi seolah-olah semuanya harus men-service apa yang dimaui Jokowi... kan mestinya tidak begitu."

Sementara Dosen di STF Driyarkara, A. Setyo Wibowo, menilai kejadian itu merupakan bukti "ketidaknetralan" kepolisian dalam pemilu. "Ini bukti bukan lagi rumor. Polisi terlalu mengambil insiatif, polisi terlalu proaktif untuk meng-counter suara-suara dari akademisi yang minggu-minggu ini memang masif," katanya.

Fenomena polisi minta kampus membuat video apresiasi kinerja presiden di kampus Unika yang terkuak di media, semestinya menjadi cermin bagi polisi untuk tidak berpihak. "Saya kira ini masukan kepada polisi, bahwa mereka harus netral. Sungguh-sungguh harus netral," kata Setyo Wibowo.

Tapi lebih dari itu, Devi Darmawan juga mengatakan demokrasi di Indonesia mundur dan mulai merosot ke arah otokrasi elektoral -yakni kondisi di mana proses demokrasi seperti pemilihan umum (pemilu) masih berjalan namun tidak berlangsung secara bebas dan adil.

"Dengan pemerintah mengintervensi pelaksanaan pemilu, sudah menunjukkan bahwa kita sudah tidak punya demokrasi. Apa bedanya demokrasi yang kita punya sekarang dengan era Orde Baru? Tidak ada. Karena pemilu betul-betul sudah dirusak dan diintervensi oleh eksekutif tertinggi," bebernya.

Sebagaimana diberitakan dan diketahui pula, bahwa beberap kampus diminta membuat video apresiasi Presiden Jokowi. Yaitu, Rektor Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Ferdinandus Hindiarto, mengaku menolak permintaan itu karena dinilai tidak sesuai dengan sikap universitas.

Sebelumnya Unika bersama 26 anggota Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia (APTKI) telah membuat pernyataan sikap keprihatinan atas kondisi demokrasi Indonesia.

Ada enam poin yang disuarakan yang intinya meminta Presiden dan jajarannya menjalankan tugas sesuai prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan memegang teguh sumpah jabatan.

"Saya menjawab bahwa pilihan kami, sikap kami tidak bisa memenuhi permintaan itu. Kenapa? Karena kami punya dasar yang kuat yaitu Konstitusi Apostolik bahwa universitas katolik mencari, menemukan dan menyebarluaskan kebenaran," ucapnya seperti dilansir Antara.

Tapi selain Unika, permintaan serupa rupanya ditujukan ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus, Jawa Tengah. Rektor IAIN Kudus, Prof. Dr. H. Adurrohman Kasdi, mengiyakan bahwa dirinya telah membuat video yang isinya mengapresiasi kinerja Presiden Jokowi seperti yang diminta pihak kepolisian.

Adapun Wakil Rektor 1 UIN Walisongo Semarang, Dr. H. M. Mukhsin Jamil juga mengakui telah membuat video serupa. Kata dia, hal itu ditujukan agar proses pembangunan demokrasi terjaga dan tumbuh dengan baik.

"Untuk itu semua elemen bangsa harus bekerja keras menyokong tegaknya demokrasi, kebebasan yang kita perjuangkan melalui reformasi 1998," imbuhnya.

Dia juga menilai adanya seruan moral dari puluhan perguruan tinggi merupakan bentuk kebebasan berekspresi. Begitu pula dengan Rektor Universitas Semarang (USM), Supari.

Dalam video yang tersebar di media sosial, dia menuturkan bahwa "Bapak Joko Widodo memimpin Indonesia dengan sepenuh hati. Beliau negarawan yang selama sepuluh tahun ini memimpin Indonesia melakukan lompatan kemajuan..."

Kampus lain yang membuat 'video apresiasi' antara lain Rektor Universitas Ma’arif Nahdlatul Ulama Kebumen Imam Satibi, Rektor Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Ahmad Sodiq, dan Rektor Universitas Muhammadiyah Purwekorto Jebul Suroso. (wan)

Berita Terkait